Meet and Greet : IFF Melbourne 2013

Sebagai salah satu rangkaian dari acaranya, Indonesian Film Festival (IFF) Melbourne kembali mengadakan acara Meet and Greet yang dilaksanakan di Ramen Ya pada tanggal 25 April 2013.

 

Bintang tamu yang dihadirkan oleh IFF Melbourne kali ini adalah orang-orang di balik film thriller Indonesia yang sudah dikenal secara internasional, yakni Modus Anomali. Joko Anwar sebagai sutradara, Sheila Timothy sebagai produser, dan Tia Hasibuan sebagai co-producer, hadir untuk melakukan diskusi singkat dengan tema Indonesia and the Shifting Film Industry towards Asia. Arsisto Ambyo, Acting Executive Producer dari program Indonesia Radio Australia, turut hadir sebagai moderator.

 

Going worldwide

Diskusi dibuka dengan penjelasan mengenai perkembangan industri film di Indonesia. Sheila Timothy, atau yang akrab dipanggil Lala, menjelaskan mengenai China yang menguasai kebanyakan industri di dunia – termasuk salah satunya industri perfilman di Asia. Namun demikian, akhirnya industri tersebut mulai bergerak ke seluruh Asia.

 

Film-film Asia berhasil menapaki industri film dunia. Untuk Indonesia, contohnya, film The Raid berhasil membuka perfilman Indonesia secara internasional. Selain itu ada juga Postcards from the Zoo yang disutradarai oleh Edwin dengan salah satu aktornya Nicholas Saputra, yang berhasil masuk ke kompetisi Berlin International Film Festival (Berlinale) Februari tahun lalu. Film ini juga turut hadir dalam Melbourne International Film Festival tahun lalu bersama dengan The Mirror Never Lies yang disutradarai oleh Kamila Andini yang sempat mengecap pendidikan di Deakin University.

 

Satu lagi film anak bangsa yang membawa nama Indonesia adalah What They Don’t Talk About When They Talk About Love  karya Mouly Surya, yang bercerita tentang kisah cinta dua pelajar tunanetra di Sekolah Luar Biasa. Karya sineas lulusan Swinburne University ini adalah film Indonesia pertama yang memasuki Sundance Film Festival di Utah, Amerika Serikat, salah satu festival film internasional yang paling bergengsi.

 

Accepted globally, rejected domestically

Meskipun sambutan internasional terhadap film Indonesia sudah cukup terbuka, menurut Lala, filmmaker Indonesia masih mengalami kesulitan untuk memproduksi film. Salah satu alasannya adalah karena kurangnya dukungan dari pemerintah yang masih film illiterate. Untuk Indonesia yang termasuk sebagai negara berkembang, film masih merupakan kebutuhan tersier dan tidak menjadi kepentingan utama Indonesia.

 

Bukan hanya itu saja, pada kenyataannya film Indonesia juga seringkali masih kalah dari film Hollywood. Bayangkan saja, rata-rata film Indonesia hanya ‘kebagian’ tayang paling lama 2 minggu di bioskop sedangkan film Hollywood masa tayangnya dapat mencapai satu bulan. Belum lagi rasio jumlah layar (screen) dengan jumlah penduduk di Indonesia yang masih sangat sedikit dibanding dengan negara lain. Indonesia memiliki 162 bioskop dengan 721 buah layar untuk sekitar 245 juta penduduknya. Bandingkan dengan Malaysia yang memiliki sekitar 600 layar bioskop untuk 28 juta penduduknya.

 

Sineas-sineas Indonesia harus berusaha keras untuk memproduksi film karena mereka bergerak secara independen. Hingga sekarang, belum ada institusi yang menaungi filmmakers Indonesia. Padahal dengan adanya sebuah institusi, maka jalan produksi film dapat dipermudah. Pembentukan Badan Perfilman Indonesia (Indonesian Film Council) sedang hangat dibicarakan di Indonesia, namun keputusannya masih belum dapat diprediksi.

 

For the time being, industri film Indonesia berada di bawah tanggung jawab Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Untuk film pendek, film dokumenter, serta badan sensor, berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Lala, kedua kementerian tersebut memiliki dana yang cukup, hanya saja mereka belum mempersiapkan strategi penggunaannya.

 

“We need to educate the government,” demikian pendapat Joko Anwar mengenai solusi untuk memajukan perfilman Indonesia.

 

More stories from outside Java

Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang audience lokal adalah mengenai keprihatinan yang ia miliki terhadap kurangnya variasi latar cerita film Indonesia. Selama ini, yang menonjol adalah film-film yang berpusat di pulau Jawa, terutama di Jakarta.

 

Menanggapi pertanyaan ini, Joko Anwar mengumpamakan Jakarta layaknya Mekkah; dimana semua orang, dalam konteks ini filmmakers, berfokus kepada kehidupan serta lifestyle di kota metropolitan ini. Menurut Joko, film yang terpusat di luar pulau Jawa tidak akan menarik banyak penonton.

 

Lala kemudian menambahkan bahwa 89% dari jumlah bioskop berpusat di Jakarta. Hal ini yang semakin membuat penonton lebih tertarik untuk menonton film yang ada relevansinya dengan kota Jakarta. Ditambah lagi dengan segmentasi penikmat film yang menurut Lala kebanyakan adalah mall-goers (karena kebanyakan bioskop terletak di dalam mall), membuat film Indonesia semakin terbatas untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas.

 

The future of Indonesian films

Memang, ada beberapa hambatan yang harus dihadapi oleh penikmat film di Indonesia. Salah satunya adalah JIFFEST (Jakarta International Film Festival) yang terakhir kali diadakan pada 2010, namun terpaksa ditiadakan karena kekurangan dana. Hal ini menutup mata masyarakat Indonesia terhadap film-film Indonesia serta internasional yang seringkali mengangkat isu yang berbobot. Pengetahuan penonton pun menjadi terkungkung sebatas film-film blockbuster saja.

 

Meskipun demikian, hal ini bisa ditepis dengan apa yang baru saja terjadi di perfilman Indonesia pada akhir tahun 2012. Tercatat pada akhir tahun lalu bahwa jumlah penonton membludak untuk tiga film Indonesia, yakni Habibie & Ainun, 5cm, dan The Raid.

 

Seperti kata Joko, di masa kini makin banyak progressive thinkers, terutama anak-anak muda. Semoga saja ke depannya perfilman Indonesia dapat berharap kepada anak-anak bangsa ini, dan dapat membawa film Indonesia untuk dikenal baik secara lokal maupun internasional.