Kolom Andrie Wongso
Saat seseorang ditanya ke mana ia akan melangkah, dan ia menjawab, “Yang penting jalan saja,” hal apa yang menurut Anda akan terjadi? Bisa saja ia akan sampai pada sebuah tujuan. Atau, bisa jadi ia tersesat entah di mana. Atau, bisa pula, karena bingung, ia kembali ke titik asalnya. Dari sekian banyak itu, yang dianggap sukses—atau kerap malah disebut beruntung—hanya kecil persentasenya. Yang sampai pada sebuah tujuan yang kemudian dianggap ideal untuk disebut sebuah kesuksesan, mungkin jumlahnya hanya bisa dalam hitungan jari. Artinya, sebuah arahan sangat penting untuk menentukan standar kesuksesan.
Intinya, kita harus tahu ke mana hendak melangkah. Bahkan, meski itu terkesan kecil, sederhana, atau bahkan dipandang remeh. Bukan semata yang penting itu jalan, tapi dengan tahu ke mana arah tujuan, kita bisa mengukur tingkat keberhasilan atau kegagalan seperti apa yang masih perlu kita perbaiki.
Dulu, saat masih kecil, kalau hendak pergi bermain-main, saya kerap ditanya oleh orangtua, “Dolan nengdi, Le?” atau “Mau main ke mana, Nak?” Pertanyaan ini menjadi sebuah “syarat” untuk diizinkan atau tidaknya saya bermain-main dengan teman-teman. Mengapa? Dengan tahu tujuan saya bermain, orangtua akan lebih mudah mengontrol. Kalau pulang kesorean, mereka bisa segera tahu ke mana harus mencari. Atau, minimal dengan tahu ke mana tujuan, mereka akan dapat memastikan apakah arena permainan saya mengandung risiko—misalnya dekat jalan raya—atau tidak.
Begitu juga dengan apa yang kita jalani sepanjang hidup ini. Banyak orang mengatakan hidupnya sederhana, laksana air mengalir. Tahu-tahu sudah sampai pada tujuan yang dicari dalam hidup. Nikmat rasanya. Tapi sebenarnya, jika ditinjau lebih jauh, air mengalir pun ada arahnya. Dari hulu ke hilir, dari tempat tinggi ke tempat rendah, dari sungai ke lautan. Artinya, mengalir seperti air pun sebenarnya sudah ada kepastian arahnya.
Inilah pentingnya kita untuk mengetahui ke mana hendak melangkah. Sebuah pepatah bijak menyebut, tidak penting dari mana dan bagaimana kamu melangkah, sepanjang kamu tahu tujuan. Ungkapan ini mengajarkan bahwa unsur nengdi yang berarti ke mana ini menjadi semacam “kompas” yang dapat mengarahkan kehidupan. Hanya saja, memang banyak orang sepertinya sudah ketakutan untuk membuat perencanaan yang dianggap terlalu tinggi. Pilihannya memang ada dua, kalau terlalu tinggi dan tidak tercapai bakal jatuh dan kesakitan. Atau bisa jadi, karena terlalu tinggi jadi over confident sehingga lupa melongok ke bawah dan malah terpeleset.
Padahal sejatinya, menentukan tujuan bisa kita lakukan bertahap. Seperti ajaran filosofi Konfusius, jarak seribu mil pasti dimulai dari satu langkah. Tidak mungkin juga orang sampai ke bulan tanpa ia belajar bagaimana membuat pesawat terbang. Tidak mungkin pula pesawat terbang diciptakan tanpa ada upaya untuk mempelajari bagaimana agar sebuah benda bisa terbang. Dan, sangat tidak mungkin pula membuat benda bisa terbang tanpa mengalami kegagalan.
Maka, jika kita telah sampai pada titik di mana kita saat ini berada, patut kita pertanyakan kembali di dalam diri. Sudah sesuaikah apa yang kita lakukan selama ini dengan apa yang sedang, telah, dan akan kita tuju? Dan, setelah kita sampai pada tujuan yang hendak diraih, ke mana lagi kita akan melangkah? Jangan sampai setelah sampai pada sebuah tujuan kita lupa dan akhirnya terlena dalam zona kenyamanan. Sebab, jika itu terjadi, hampir bisa dipastikan, kita hanya akan berada pada titik yang itu-itu saja, alias tak lagi bisa berkembang. Boleh jadi saat itu kita masih bisa merasa nyaman. Namun ketika hukum perubahan terjadi—jika kita tak tahu arah tujuan—boleh jadi kita akan segera jadi sejarah kelam.
Jadi, mau ke mana Anda saat ini? Pastikan, sadari, dan segera eksekusi! Langkah yang pasti tujuannya, biarpun perlahan, bakal lebih pasti pula dalam mendekatkan kita pada cita-cita.
Salam sukses, luar biasa!