Bila membahas topik perdamaian di dunia, rasanya tidak pas bila melewatkan penghargaan Nobel Peace Prize atau Hadiah Nobel Perdamaian. Penghargaan bergengsi ini diberikan setiap tahun sejak tahun 1901 kepada individu atau kelompok yang memiliki kontribusi besar terhadap perdamaian di dunia, baik dalam bentuk mengurangi konflik bersenjata maupun memperjuangkan hak asasi manusia.
Banyak tokoh dunia yang sudah menerima penghargaan ini, antara lain Barack Obama (2009), Nelson Mandela (1993), dan Dalai Lama (1989). Namun untuk kali ini, OZIP akan membahas empat individu terakhir yang memenangkan penghargaan ini. Selamat membaca!
Abiy Ahmed (Etiopia, 2019)
Lahir dengan nama lengkap Abiy Ahmed Ali tanggal 15 Agustus 1976, politisi asal Etiopia ini kini menjabat sebagai Perdana Menteri Etiopia yang keempat sejak 2 April 2018. Ahmed juga sempat menjabat sebagai ketua dari Front Demokratik Revolusioner Rakyat Etiopia (EPRDF) dan merupakan orang dengan etnis Oromo (kelompok etnis terbesar di Etiopia) pertama yang menduduki jabatan tersebut. Ahmed juga membentuk partai politik Prosperity Party dari penggabungan berbagai partai politik yang berada di bawah naungan EPRDF.
Ahmed memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2019 atas kontribusinya menghentikan Perang Eritrea-Etiopia akibat sengketa wilayah yang terjadi antara kedua negara tersebut dari tahun 1998-2002. Meskipun perang berakhir pada tahun 2002, sengketa wilayah Badme terus berlanjut hingga tahun 2018, dimana pemerintahan Etiopia di bawah Ahmed mengumumkan untuk menerima sepenuhnya syarat perdamaian dari perang, termasuk penyerahan kota Badme ke Eritrea.
Nadia Murad (Irak, 2018)
Nadia Murad Basee Taha adalah seorang aktivis kemanusiaan asal Irak. Lahir dari keluarga orang Yazidi (bagian dari kelompok etnis Kurdi) pada tahun 1993, Murad diculik oleh ISIS dan dijadikan budak ketika ia berusia 19 tahun. Beberapa bulan setelah ia diculik, ia melarikan diri dan menjadi pengungsi di Baden-Württemberg, Jerman, tempat di mana ia tinggal sampai sekarang.
Murad kerap berbicara di depan publik mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan perdagangan manusia. Pada tahun 2016, Murad mendirikan organisasi kemanusiaan bernama Nadia’s Initiative yang berdedikasi untuk memberikan bantuan dan suara untuk korban genosida. Dalam mewujudkan tujuannya, Murad sudah berdialog dengan berbagai tokoh pemimpin dunia, antara lain Paus Fransiskus dan Donald Trump. Untuk kegiatannya mengadvokasikan golongan yang tersakiti akibat kejahatan kemanusiaan, Nadia meraih Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2018.
Denis Mukwege (Congo, 2018)
Denis berprofesi sebagai dokter ahli penyakit wanita di Bukavu, Kongo. Di sana, ia mendirikan Rumah Sakit Panzi pada tahun 1999 sebagai rumah sakit spesialis pengobatan dan perawatan terhadap luka-luka alat reproduksi wanita, terutama luka yang berasal dari kekerasan seksual. Kebanyakan kejahatan seksual ini terjadi dalam zona perang, dimana kejahatan seksual digunakan sebagai senjata perang di akhir tahun 1990-an, khususnya Perang Kongo Kedua yang terjadi tahun 1998.
Sejak Rumah Sakit Panzi didirikan, Denis sudah merawat lebih dari 82,000 pasien yang mengalami luka alat reproduksi wanita parah. Berkat kontribusi luar biasanya dalam merawat dan mengobati wanita korban kekerasan seksual, Denis dianggap sebagai ahli terkemuka dunia dalam bidang perawatan luka kekerasan seksual. Selain itu, Denis juga menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2018 bersama Nadia Murad. Selain merawat wanita korban kekerasan seksual, Denis juga giat mengadvokasikan hak asasi manusia dan kesetaraan gender.
Juan Manuel Santos (Kolombia, 2016)
Juan Manuel Santos adalah politisi yang menjabat sebagai Presiden Kolombia yang ke-40 dari tahun 2010 hingga 2018. Sempat berprofesi sebagai wartawan, karir politik Santos bermula pada tahun 1991 ketika ia ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan Luar Negeri Kolombia yang pertama oleh Presiden César Gaviria Trujillo. Pada tahun 2010, ia naik sebagai Presiden Kolombia menggantikan Álvaro Uribe Vélez,
Santos menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2016 atas usahanya menghentikan perang saudara di Kolombia yang sudah berlangsung selama lebih dari 50 tahun. Perang yang melibatkan pemerintah Kolombia dan berbagai kelompok gerilya Kolombia ini merupakan konflik terlama di wilayah Amerika Selatan. Sayangnya, pemerintahan Santos kalah suara dalam meratifikasi pasal terakhir dalam persetujuan damai perang saudara tersebut lima hari sebelum ia diumumkan sebagai pemenang penghargaan. Meskipun begitu, komite Penghargaan Nobel menilai usaha Santos dalam mencapai perdamaian membuatnya tetap layak menerima Hadiah Nobel.
Teks: Jason Ngagianto
Foto: Berbagai sumber