“Kepercayaan itu Sebagai Pelayanan”

Keluarga Katolik Indonesia (KKI) Melbourne pada awalnya dirintis oleh Marcus Soema dan Rufinus Kedang pada tahun 1984 dengan ide menyelenggarakan Misa Natal yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di paroki St. Colman’s Balaclava. Dengan pertumbuhan jumlah umat Katolik Indonesia yang hadir dalam setiap perayaan misa, muncullah gagasan untuk membentuk suatu wadah umat Katolik Indonesia di Melbourne. Maka lahirlah KKI Melbourne pada 5 September 1987.

Dalam perjalanannya selama 27 tahun lebih, KKI telah berkembang menjadi organisasi awam yang keberadaannya diakui oleh Keuskupan Agung Melbourne dan menjadi induk dari beberapa kelompok kategorial Orang Muda Katolik (OMK) seperti MUDIKA, Persekutuan Doa Karismatik (PDKKI), Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM), dan Anak Indonesia Katolik Australia (AIKA) Melbourne. Selain itu, dengan pesatnya pertumbuhan jumlah umat, mendorong KKI untuk membentuk kelompok wilayah yang kegiatan-kegiatannya tersebar sesuai dengan letak geografis suburb-nya. Misa dalam bahasa Indonesia diadakan secara reguler setiap bulan di Boxhill, Port Melbourne, St Francis CBD, dan Laverton. Pelayanan liturgi diberikan oleh Pastor yang bisa berbahasa Indonesia. Saat ini KKI dibimbing oleh Pastor Bonifasius Buahendri SVD.

Dalam rangka HUT ke-27 KKI Melbourne, OZIP mewawancarai Prabudi Darmawan (Ketua KKI) mengenai perjalanan hidupnya bersama KKI.

Sejak kapan Anda bergabung dengan KKI?

prabudiSaya bergabung dengan KKI sejak awal pindah ke Melbourne 12 tahun lalu. Saya mulai menghadiri misa KKI di Boxhill. Pada waktu itu misa KKI masih diadakan sebulan sekali dan di satu tempat saja karena umatnya belum sebanyak saat ini. Kami sekeluarga pindah ke Melbourne tanpa mengenal siapa-siapa dan juga tidak ada keluarga, Jadi secara naluri,, kami menganggap KKI sebagai keluarga. Proses awal hidup kami di Melbourne banyak dibantu dan disemangati oleh teman teman di KKI. Lantas sesudahnya, mulai banyak teman teman Indonesia lain yang menjadi bagian dari kehidupan saya dan keluarga di Melbourne.

 

Bagaimana pengalaman Anda mengemban tugas sebagai Ketua KKI

Saya tidak menganggap kepercayaan ini sebagai tugas, melainkan pelayanan semata. Karena saya dan juga semua pelayan dan yang aktif di KKI tidak dibayar dalam bentuk materi. Dan ini yang memberikan pengalaman indah namun penuh dengan paradoks. Seperti motto KKI, “Dia harus semakin besar, namun aku harus semakin kecil”.

Awalnya, saya merasa kecil hati diberi kesempatan untuk melayani, khawatir rasanya. Namun, dengan jalan ini, saya mengenal lebih banyak pribadi, baik mereka yang Katolik ataupun yang bukan. Mereka yang baru memulai hidup di Australia ataupun yang sudah puluhan tahun tinggal. Yang masih belajar ataupun yang sedang menjalani hari tuanya. Saya hanya bisa berharap bahwa pengalaman ini bisa semakin membuka hati saya. Proses yang tidak mudah mengingat banyaknya kepribadian dan aspirasi beragam dalam komunitas ini.

Kadang kadang ada hal hal baru yang muncul, misalnya saya dapatkan dari acara KOMKIA (Konferensi Orang Muda Katolik Indonesia di Australia). Salah satu pembicara dalam konferensi itu menyebutkan bahwa cara untuk mengenal Tuhan itu kadang tidak gratis. Tuhan tidak hadir dalam hidup kita dengan serta merta, namun ada cara yang mudah diikuti. Lebih jauh tentang hal ini dijelaskan dalam buku Romo Thomas Tjaya S.J yang berjudul “Peziarahan Hati”.

Apa harapan Anda setelah melewati usia 27 tahun?

Umat Katolik Indonesia yang berdomisili di Melbourne itu ribuan. Sekarang ini misa KKI diadakan di 4 gereja yang tersebar mengikuti tempat di mana umat tinggal. Juga ada misa reguler untuk persekutuan doa karismatik dan juga misa untuk orang muda. Di masing masing gereja ini sudah ada pengurusnya. Aktifitas orang muda dan mahasiswa katolik di Melbourne sangat bergairah. Dengan jumlah umat yang semakin besar, saya memimpikan akan ada seorang Pastor yang berasal dari keturunan Indonesia yang lahir di Australia suatu waktu nanti.

Saya hanya berharap bahwa dengan semakin meluasnya pelayanan gereja Katolik untuk umat Indonesia, mereka tidak menjadi semakin eksklusif. Namun menjadi pelayan bagi semua orang, bukan hanya untuk melayani yang beragama Katolik saja, namun untuk tempat dimana dia tinggal dan bekerja. Menjadi garam bagi makanan yang hambar, menjadi lilin di tempat yang gelap. Larut namun tidak hanyut.

Ivan Ciputra Halim