KARTINI JAMAN NOW IRONIC COMEDY OLEH SAKDIYAH MA’RUF SEGERA MENGHIBUR MASYARAKAT DI MELBOURNE !!!

Dengan tema “ Kartini Jaman Now“, Komika Tunggal Sakdiyah Ma’ruf  tampil dalam rangka memperingati Hari Kartini 2019 yang diadakan pada  hari Sabtu 4 Mei 2019.  Kartini adalah salah satu pahlawan nasional yang memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia.  Perjuangan ini bukanlah komedi, tetapi kita dapat menggunakan komedi untuk melihat masih banyak ironi yang dihadapi oleh perempuan Indonesia.

Sakdiyah Ma‘ruf, perempuan yang dilahirkan dalam sebuah keluarga keturunan Hadrami-Arab di PekalonganJawa Tengah. Dia menggambarkan masyarakat di mana dia dibesarkan sebagai masyarakat yang sibuk dengan identitasnya sebagai keturunan Arab dan merasa memiliki pandangan akan ajaran Islam yang paling benar dan paling murni dari masyarakat lain di Indonesia. Sakdiyah mengeluh selama hampir satu dekade setelah pengenalan demokrasi, Indonesia telah menyaksikan pertumbuhan yang signifikan dari kaum Muslim ekstremis yang tidak mentolerir wanita dan minoritas untuk berbicara.

Sakdiyah menggunakan komedi sebagai cara untuk menantang ekstremisme Islam dan kekerasan terhadap perempuan. Melalui panggung komedi, Sakdiyah sering menyuarakan kegelisahannya terhadap sikap radikal yang ditunjukkan sebagian warga keturunan Arab di Indonesia.

Terjun di dunia stand-up comedy  bukanlah mimpi dan cita-cita  Sakdiyah,  apalagi sebagai perempuan yang lahir dari komunitas keturunan Arab dan berjilbab. Tetapi, ia meyakini, kebanyakan Arab peranakan itu memiliki DNA sebagai komedian karena ketika mereka berkumpul santai, bisa berkelakar berjam-jam terutama kaum prianya. Menurut Sakdiyah mereka itu humoris yang berbakat, walaupun materi kelakarnya terkadang sangat arogan dan terkesan ingin menunjukkan superioritas mereka.

Sebagai perempuan keturunan Arab, dia diharapkan untuk menikah muda dan bukannya menyuarakan pemikiran dan suaranya dipanggung. Pada awal karirnya sebagai komika, Sakdiyah sering menutupi aktivitasnya itu. Kepada orang tuanya, Sakdiyah mengatakan kalau sedang mengerjakan tugas sebagai penerjemah.

Gelar sarjana jurusan Bahasa Inggris  diraihnya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta pada tahun 2009 dengan skripsi tentang komedi tunggal dan  memperoleh gelar master di UGM di tahun 2014. Sejak 2009, Sakdiyah bekerja sebagai seorang interpreter profesional dan penerjemah. Di waktu luangnya, dia melakukan kegiatan berkomedi, muncul di saluran televisi swasta, di tempat-tempat lokal di Jakarta, dan ikut ambil bagian dalam acara panggung dengan komedian lainnya. Selama beberapa penampilannya di TV, produser telah memintanya untuk menyensor materinya sendiri, mengatakan bahwa materinya terlalu konseptual, teoretis, sarat dengan pesan. Tapi ini mendorongnya untuk bertahan hidup  didunia panggung komedi tunggal, karena komedi dapat menjadi medium yang efektif untik berthan dan melawan.

Baginya, menjadi seorang pelawak tunggal atau komika bukan tentang ketenaran atau uang melainkan tentang memberi audiens pengalaman yang tak terlupakan dan membuat mereka berpikir tentang isu-isu sosial dan orang-orang yang mempengaruhi mereka secara pribadi, bahkan setelah turun panggung.

Beberapa tokoh yang berpengaruh terhadap kiprah dirinya antara lain Sarah Silverman, Tina Fey, Margaret Cho, Roseanne, Ellen, Kathy Griffin, Robin Williams, Stephen Colbert, Chris Rock, Ricky Gervais, dan Jerry Seinfeild. Komika favoritnya adalah Louis CK.

Selain sebagai finalis Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV pertama pada tahun 2011, Diyah juga memperoleh penghargaan prestisius: Vaclav Havel International Prize for Creative Dissent 2015. Acara tersebut diadakan di OsloNorwegia di mana Diyah meraih penghargaan untuk kategori stand up comedy. Pada tahun 2018, nama Diyah ikut masuk ke dalam daftar 100 wanita inspirartif dunia versi BBC atau “BBC 100 Women”, di mana Diyah menduduki peringkat ke-54 dari 100 wanita terpilih.

FMIA dan Semangat  Kebangsaan

FMIA adalah sebuah forum yang peduli pada Kebangsaan dan Kebhinekaan Indonesia; yang bukan hanya mengakui perbedaan melainkan juga melihat keberagaman sebagi suatu aset atau nilai tambah  serta menjaga nasionalisme Indonesia.

Sejak berdiri FMIA telah mengadakan acara-acara yang membuka ruang-ruang untuk mengemukakan pendapat  dan berdiskusi dengan mengabaikan sekat-sekat kesukuan, budaya dan orientasi keagamaan.

FMIA sudah menyelengarakan  berbagai  diskusi dan pemutaran film.   Diskusi tentang terorisme bersama Noor Huda Ismail;  diskusi soal korupsi dengan mantan director ICW Danang  Widoyoko  dan diskusi panel  Mencegah Radikalisasi dan Phobia Islam  dengan panelis  termasuk Prof Vedi Hadiz; Peringatan Dua Dekade Tragedi Mei 1998 bekerja sama dengan Monash University dan #2018TetapCakLontong Komedi Kebangsaan.  Dalam rangka hari Kartini 2018 kami mengadakan penayangan film dan diskusi Diana Sendiri Diana  yang mendorong pemberdayaan perempuan dalam menolak poligami.

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang FMIA dan acara ini, silakan menghubungi : Aya Permatasari di +61 426 298 848 dan Diana  Pratiwi di  +61 407 506 243