Emma’ (Athirah): Potret Nyata Keluarga Indonesia di Sulawesi Selatan Tahun 60-an

Emma_Mira-Lesmana,-Sutradara-film-Emma'-(Athirah)Indonesian Film Festival resmi dibuka tanggal 8 April 2017 kemarin. Kali ini, film yang mendapat kehormatan menjadi film pembuka adalah Emma’ (Athirah) karya sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana. Sudah menjadi rahasia umum bahwa duo sineas ini ahli dalam menghadirkan  film-film drama sarat budaya Indonesia. Tidak jarang film-film mereka berkontribusi mempromosikan budaya dan pariwisata negeri tercinta. Kali ini, lewat film yang merupakan kisah hidup ibu dari wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla, keahlian Mira Lesmana dan Riri Riza tersebut kembali dibuktikan. Kini dengan destinasi Indonesia bagian timur: Makassar!

Hadir memberikan sambutan usai pemutaran film, Mira Lesmana bercerita tentang bagaimana mulanya ide untuk membuat film ini muncul. “Riri Riza mendatangi saya sambil membawa manuscript bukunya yang merupakan karya Alberthiene Endah. Waktu itu, sudah ada yang mau memfilmkan novel ini. Tapi kemudian Jusuf Kalla hanya mau film ini disutradarai oleh orang yang juga berasal dari Bugis, Makassar. So the film came back to us because Riri is from Makassar,” ceritanya.

Filmnya sendiri mengisahkan tentang Athirah (Cut Mini Theo), seorang ibu yang terpaksa merelakan suaminya untuk menikah lagi. Berbagai upaya Athirah lakukan untuk mempertahankan rumah tangganya. Ia membesarkan keempat anaknya sendiri ketika sang suami seringkali meninggalkan rumah. Athirah juga mencari nafkah tambahan dengan berjualan sutra untuk mengalihkan pikirannya dari cibiran orang-orang sekitar akan kondisi rumah tangganya.

Siapa sangka semua usaha Athirah berbuah manis. Selain hubungannya dengan anak-anaknya semakin erat, Athirah juga mampu mengumpulkan cukup banyak uang dari bisnis sutranya. Ia bahkan berniat untuk mendirikan sekolah. Ketika krisis ekonomi Indonesia melanda di tahun 60-an, bisnis sang suami menuju bankrut.

Athirah mengambil alih situasi dan menolong suaminya dengan uang yang dimilikinya dengan satu syarat: bisnis tersebut harus diteruskan oleh Ucu (Christoffer Nelwan), sang anak laki-laki satu-satunya.

Ketegaran Athirah merupakan cerminan dari apa yang harus dihadapi banyak wanita Indonesia baik di masa lalu maupun masa kini. Fenomena poligami masih sering terjadi. Budaya patriarki yang masih sering terjadi di Indonesia membuat wanita-wanita Indonesia yang menjadi korban poligami tidak bisa bicara banyak tentang apa yang mereka rasakan atau lalui. Mira Lesmana berharap  film yang shooting-nya dilakukan di Sengkang, Makassar ini bisa menumbuhkan awareness masyarakat akan isu ini.

Emma_Suasana-penonton-di-pemutaran-film--Emma'-(Athirah)-(1)Keunggulan film ini antara lain terletak di sinematografi dan dialognya. Untuk mendapatkan suasana tradisional tahun 60-an di Makassar, Miles Films me-recreate segala visualnya dengan detil, misalnya pada adegan pernikahan, ritual keagamaan hingga tata ruang dalam rumah serta kehidupan sehari-hari di rumah keluarga Bugis. Selain itu, bahasa yang digunakan di seluruh dialog adalah bahasa Bugis, dengan logat kental. Musik juga digunakan dengan maksimal untuk merefleksikan periode 60-an di Makassar.

Ibu Dewi S. Wahab selaku Konsulat Jenderal RI di Melbourne yang ikut menonton pemutaran film ini menyatakan kekagumannya setelah acara. “Saya personally merasa film ini sangat relatable, karena suami saya asli Bugis dan budaya poligami sangat familiar dalam keluarga dan lingkungannya. Film ini merupakan potret yang sangat real akan fenomena poligami di Indonesia. Hampir semua adegannya menggambarkan budaya Bugis dengan detil, misalnya pada adegan makan bersama yang menyajikan makanan khas Bugis sup ikan dan ikan bakar. Benar-benar bisa memperkenalkan betapa kayanya budaya Indonesia kesiapapun yang menontonnya,” ujarnya.

Mayseeta.

Photo: Maseta Pratama