Berbincang tentang Islam, Pancasila dan NKRI dalam Bedah Buku Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah

Mengusung tema besar NKRI dan Pancasila dalam Perspektif Muhammadiyah, acara ini diprakarsai oleh tiga organisasi: JIB (Jaringan Intelektual Berkemajuan), IDN (Indonesia Diaspora Network) Australia, dan AUTO (Aliansi UI Toleran) pada Sabtu, 28 November silam melalui platform Zoom dan disiarkan di kanal Youtube Aliansi UI Toleran. 

Dimoderatori Diana Pratiwi, acara ini mengundang banyak tokoh-tokoh penting, tidak hanya dari internal Muhammadiyah saja. Nama-nama seperti Prof. Anita Lie, Prof. Amelia Fauzia, dan Menteri Agama kabinet sebelumnya, Lukman Hakim Saifuddin ditunjuk sebagai pembedah buku.

Hasnan Bachtiar

Hasnan Bachtiar, selaku penulis mengaku tidak menyangka dengan animo yang diterima buku besutannya yang berjudul lengkap “Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah Dar al-’ahd wa al-Shahadah: Elaborasi Siyar dan Pancasila” ini. 

Lukman Hakim Saifuddin

Menteri Agama 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin menilai bahwa kemunculan buku ini di momentum yang tepat. “Meskipun bukan isu baru, sekali lagi saya merasa bersyukur karena bertemu dengan momentum yang tepat karena saat ini terus saja menggeliat pemikiran bahwa Indonesia harus berdasar Islam secara formal, kelembagaan. Jadi apa yang disebut ijtihad kontemporer Muhammadiyah terkait dengan dar al-’ahd wa al-shahadah itu akan terus memiliki relevansi dan urgensi yang tinggi sekarang dan ke depan,” paparnya.

Acara dimulai dengan sambutan dari Hamim Jufri selaku ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Australia dan New Zealand. Menurut Hamim, ada hubungan erat antara Indonesia, Islam dan Muhammadiyah. “… kontribusi Muhammadiyah di dalam pencapaian kemerdekaan kemudian upaya untuk mempertahankan kemerdekaan dan bahkan sekarang mengisi kemerdekaan dalam rentang 108 tahun sungguh tidak kecil,” ungkap Hamim yang kini menetap di Melbourne ini. Nilai yang sama juga diamini oleh Hasnan Bachtiar dalam pemaparannya tentang argumentasi historis Muhammadiyah. 

Alumnus Australian National University ini juga menjabarkan tujuan bukunya secara umum yakni hendak menilai konsep siyar yang mengatur bagaimana territory Islam berhubungan dengan territory komunitas non-Islam. “Konsep siyar yang saya tekuni adalah yang dibangun dan dikembangkan oleh Muhammadiyah dalam berbagai konteks yang ada yakni konteks negara bangsa, globalisasi, dan setelah tragedi 9/11, dan pasca era otoritarianisme di Indonesia.”

Berangkat dari konseptualisasi yang digagas Muhammadiyah pada 2015, tentang negara Pancasila sebagai dar al-’ahd wa al-shahadah, negara pancasila sebagai negara perjanjian dan persaksian, Hasnan yang juga seorang dosen dan peneliti dari Universitas Muhammadiyah Malang ini kemudian membuat buku yang secara spesifik bertujuan untuk memenuhi gaps of study.

“Buku ini hendak mengeksplorasi upaya Muhammadiyah merekonsiliasikan dasar-dasar negara Pancasila dan siyar, doktrin hukum perang, dan hubungan internasional dalam Islam. Sementara itu, buku ini ingin membahas bagaimana Muhammadiyah menghubungkan gagasan dar al-’ahd wa al-shahadah dengan pandangannya mengenai demokrasi di Indonesia,” jelas intelektual muda Muhammadiyah ini lagi. Karena itu, Hasnan membeberkan dua pertanyaan penting: apa pemikiran yang diproduksi oleh Muhammadiyah dan bagaimana Muhammadiyah mengkonstruksi pemikirannya. 

Menurut Hasnan, melalui ijtihad berkemajuan yang dipresentasikan oleh dar al-’ahd wa al-shahadah ini, Muhammadiyah ingin mewujudkan cita-cita Indonesia berkemajuan benar-benar nyata. “Disamping itu, terkait erat dengan jalan ijtihad yang dilakukannya, Muhammadiyah berusaha membangun koneksi antara konsep negara Pancasila sebagai dar al-’ahd wa al-shahadah dan gagasannya mengenai demokrasi. Dalam hal ini Muhammadiyah melakukan hal tersebut melalui pendekatan teologisasi demokrasi. Pendekatan ini menegaskan bahwa membangun demokrasi sebagai sebuah paradigma harus berdiri di atas pemikiran teologis di dalam Islam yang menekankan pentingnya nilai-nilai demokrasi seperti syuro, kedaulatan rakyat atau musyawarah adalah keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, dan sebagainya.”

Hasnan menunjuk pada dua jalan yang dilakukan Muhammadiyah guna menggenapi tugas di atas yaitu objektifikasi dan substansialisasi Islam. Objektifikasi di sini merujuk pada mentransformasikan Pancasila menjadi sebuah bahasa yang objektif mengenai Islam melampaui latar keagamaan, etnisitas dan lain sebagainya. Sedangkan substansialisasi dianggap sebagai reintrepretasi Pancasila sebagai sebuah manifestasi nilai-nilai substansial di di dalam Islam. “Muhammadiyah mengupayakan objektifikasi dan substansialisasi berdarsarkan kepada argumentasi historis, politis, sosiologis dan teologis,” ungkap Hasnan. 

Hasnan berargumentasi bahwa, “Muhammadiyah meyatakan bahwa ketika Pancasila dipandang bukan sebagai ideologi islamis, maka sebenarnya nilai-nilainya mengenai pluralisme yang demokratis sepenuhnya konsisten dengan berbagai kemuliaan ajaran Islam. Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara ideologi Pancasila dengan islam yang berkemajuan.”

Meski demikian, Hasnan menyadari tantangan yang dihadapi pada tataran implementasi. “Muhammadiyah benar-benar berjuang dalam menteologisasikan demokrasi dan mengimplementasikan produk ijtihadnya. Dalam rangka menteologisasikan demokrasi, tantangan utama yang harus diselesaikan adalah formalisasi syariah, pemikiran politik yang menganggap agama dan negara adalah satu paket, satu kesatuan, yang menuntut untuk mengislamisasikan politik, dan ideologi yang sangat eksklusif dan mudah sekali menghakimi perbedaan pendapat.” 

Buah pemikiran Hasnan pada buku ini pada akhirnya mampu mentransmisikan pesan yang ingin disampaikan dalam ijtihad Muhammadiyah: dar al-’ahd wa al-shahadah. Prof. Anita Lie sebagai pembedah buku, mengungkapkan bahwa buku ini merupakan buku yang luar biasa. Secara spesifik, dosen di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya ini menunjuk pada halaman ketiga dari buku tentang dar al-shahadah (negara persaksian), “Ini meneduhkan, menyejukkan bahwa ada ruang yang disediakan. It means a lot to me, sangat terasa bermakna buat saya,” ungkapnya. 

Seirama dengan Prof. Anita Lie, Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Prof. Amelia Fauzia juga mengutarakan, “Saya menikmati membaca di bagian-bagian awal tentang bagaimana konsep dar al-’ahd wa al-shahadah itu dituliskan Mas Hasnan dengan baik.”

Sebelum menutup, Hasnan berharap, “Pencapaian Muhammadiyah ini barangkali sangatlah memungkinkan untuk dipertimbangkan sebagai teladan mengenai kebangkitan reformasi hukum Islam bagi negara-negara muslim lain di dunia. Negara Pancasila sebagai dar al-’ahd wa al-shahadah merupakan usulan yang menarik sebagai upaya untuk merekonsiliasi pemahaman islam dengan konsep politik modern,” ungkapnya. 

Teks dan foto: Mutia Putri