Kunjungan ke Rumah Tan Malaka – Episode 1
Pulang ke tanah air setelah COVID-19 kami menyempatkan diri ke rumah Tan Malaka di Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Nama Tan Malaka sering kita dengar sejak Sekolah Rakyat/Sekolah Dasar dalam pelajaran Sejarah Indonesia. Beliau kelahiran Pandam Gadang, Suliki, Kabupaten Payakumbuh di Sumatera Barat. Suliki letaknya kira-kira 29.4 km dari ibukota Kabupaten Payakumbuh.
Yang menarik dari kunjungan ke rumah Tan Malaka pada waktu mendapatkan kunci rumah untuk masuk ke rumah Tan Malaka hanya berjarak 2 – 3 menit jalan kaki; rumah Tan Malaka terletak lebih agak ke dalam dari jalan raya, sedangkan rumah pemegang kunci terletak di pinggir jalan. Penulis ke rumah Tan Malaka bersama adik perempuan dan keponakan laki-laki.
Waktu diajak untuk ikut masuk ke rumah Tan Malaka bersama penulis, kelihatan sekali anak perempuan yg memberikan kunci ketakutan. Penulis terpaksa pergi sendiri, dan terus terang pada waktu memasukkan kunci ke lubang kunci, penulis juga ikut takut! Setelah membuka pintu, kelihatan ada lubang yg cukup besar di dapur sebelum memasuki ruang utama di Rumah Gadang. Memang, rumah Tan Malaka tersebut sudah lama tidak dihuni. Selain itu, ada suatu kepercayaan di Indonesia bahwa rumah yang sudah lama tidak dihuni memiliki mahluk halus.
Nama Tan Malaka lebih dikenal sebagai salah seorang tokoh Komintern (Komunis Internasional) daripada sebagai tokoh PKI (Partai Komunis Indonesia) sebelum 1965. Tapi setelah G30S/PKI (?) 1965 sosok Tan Malaka seperti sosok yang enggan didiskusikan secara terbuka di masa pemerintahan Orde Baru. Kemungkinan besar karena Tan Malaka dianggap salah seorang pemimpin PKI sebelum Aidit. Padahal, Tan Malaka diakui secara resmi berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963 sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional di zaman pemerintahan Sukarno. Setelah tumbangnya Orde Baru, Tan Malaka mulai kembali dibicarakan dan didiskusikan secara bebas di forum-forum resmi dan media sosial. Bahkan banyak beredar konten Tiktok & Youtube mengenai sosok yang luar biasa ini.
Sejatinya, para dermawan sudah mendonasikan tanah seluas 10 hektar untuk pembangunan Universitas Tan Malaka di Kabupaten Lima Puluh Kota, Payakumbuh. Tapi menurut Hengki Tan Malaka VII (jadi yang kita kenal selama ini ternyata adalah Tan Malaka IV) yang berhasil penulis wawancarai di Jakarta, beliau mengatakan pembangunan tidak bisa lebih dari itu. Artinya pemerintah daerah tidak berani berbuat apa-apa karena stigma G30S/PKI begitu melekat di diri sosok bapak bangsa yang sering dikenal misterius dan kontroversial ini.
Penulis sempat mengadakan wawancara dengan salah seorang mantan Kepala Sekolah Dasar di Payakumbuh. Memang betul, Tan Malaka adalah seorang pahlawan bangsa dan bahkan diakui sebagai salah seorang bapak bangsa Indonesia; tapi ironisnya, di tanah kelahirannya sendiri beliau tidak begitu dikenal. Tan Malaka lebih dikenal dan namanya begitu besar di luar Minangkabau. Bahkan di negeri Belanda pun, nama Tan Malaka diabadikan sebagai nama jalan di Haarlem. Mungkin betul dalam istilah asingnya, ‘he is larger than life’.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menghargai Tan Malaka, salah seorang Bapak Bangsa yang tragis mati ditembak atau tertembak di Kediri oleh peluru dari bangsa yang turut ia dirikan?
Yang terlintas di pikiran waktu itu adalah kalimat Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai para pahlawannya”. Apakah kalimat ini hanya sebatas slogan yang tak punya makna?
Datuk Tan Malaka
Kau seperti lampu lilin di malam hari
Terang benderang di perantauan
Tapi kau pernah tak dikenal di negerimu sendiri
Kau berikan seluruh hidupmu untuk negerimu
Tapi hidupmu berakhir tragis di ujung peluru
Dari anak-anak negeri di mana kau perjuangkan merdeka
Teks: Anton Alimin | ghazellapublisher@gmail.com
Foto: Berbagai sumber