Nuim Khaiyath
Namanya memang sederhana. Bahkan sangat sederhana – Taman Nusa. Tanpa embel-embel “indah”, misalnya. Mungkin pendiri dan pemilik Taman Nusa, keluarga Santoso, terpengaruh oleh kalimat mashur yang dinukilkan pujangga Inggris William Shakespeare dalam karyanya mengenai salah satu kisah cinta paling mashur “Romeo and Juliet”. What’s in a name, that which we call a rose smells as sweet by any other name (Apalah artinya nama. Bukankah mawar itu akan tetap harum biarpun diberi nama lain).
Begitulah dengan Taman Nusa, suatu bentuk pengorbanan dana dan daya oleh Keluarga Santoso, untuk mewujudkan impian yang telah lama dipupuk untuk menciptakan sebuah miniature Indonesia yang penuh otentisitas dan indah.
Taman Nusa terletak sekitar 30 menit dari Denpasar, Bali atau sekitar 1 jam dari Kuta.
Sampai di gerbang masuk Taman Nusa, pandangan akan tertumbuk dan terpukau oleh atap gedung terdepan berbentuk daun sirih, seakan menyongsong pengunjung dengan ucapan selamat datang yang mesra. Maklum dalam budaya Melayu (konon sejak 3000 tahun silam) sirih punya makna tersendiri, semuanya yang bagus-bagus.
Begitu memasuki kawasan Taman Nusa, kita akan terperangah dibuat sebuah “Candi Borobudur” mini, hasil karya para pandai batu yang dikerahkan dengan beaya yang tidak sedikit untuk menghadirkan candi mashur ini dalam skala yang lebih mungil dari yang asli. Namun, biar disorot dari sisi mana pun, bangunan ini adalah “anak” Candi Borobudur. Segala ukiran, segala lekuk tidak sedikitpun beda dari yang aslinya. Kesahihan, itulah tujuan Keluarga Santoso dalam mengadakan Indonesia mikro ini.
Pak Santoso yang mendambakan sebuah Tim Indonesia – yakni Indonesia yang begitu beraneka ragam, namun tetap satu dalam cita-cita dan tujuan– mengungkapkan impian yang telah dipupuk begitu lama, yakni membangun sebuah “Indonesia” yang dapat dilirik dan dinikmati dalam satu hari, bahkan setengah hari.
Ia ingin, bukan saja orang/wisatawan asing, melainkan juga warga Indonesia sendiri dapat mengenal bagaimana keanekaan peri kehidupan bangsa Indonesia yang lainnya, terutama dari segi arsitektur kediaman adat/asli dari berbagai suku. Bukankah tak kenal maka tak sayang? Bung Karno secara romantis pernah mengatakan, “Di mana nyiur melambai dan kerbau berkubang, di situlah Tanah Airku”. Keluarga Santoso ingin menambahkan bahwa Indonesia bukanlah hanya gedung-gedung berpilar besar di Pondok Indah atau Pantai Indah Kapuk, melainkan lebih artistik dari itu, lebih nyaman, lebih asri, dan ramah lingkungan.
Untuk membangun sebuah Rumah Gadang Minangkabau, misalnya, keluarga Santoso tidak hanya dengan menyodorkan gambar sebuah Rumah Gadang kepada seorang pengembang lalu memintanya untuk membangunnya. Yang seperti ini asli tapi palsu. Yang ia lakukan ialah membeli Rumah Gadang dari Minangkabau, membongkar broti, papan keping demi keping, atap, dan tangganya dan mengangkutnya ke Bali, kemudian memasangnya kembali. Yang berbeda hanya tanah tempat di mana Rumah Gadang itu mendapatkan “fondasi baru”-nya. Seperti orang membeli perabotan di Ikea saja.
Begitulah dengan berbagai rumah adat lainnya dari aneka daerah di Indonesia, seperti rumah Kudus dan sarana pemakaman Toraja. Inilah yang namanya “labour of love” karya kasih, bukan mengharapkan imbalan atau pun keuntungan atau balas jasa atau bahkan pujian, melainkan agar setiap pengunjung dapat menyimpan dalam ingatan dan kenangannya tentang keanekaan Indonesia di bidang arsitektur. Dan semua perencanaan dan pengawasan dilakukan oleh keluarga secara bergotong royong. Seakan putra-putrinya dahulu di sekolahkan di Melbourne hanya untuk mempersiapkan mereka agar setelah tamat, dapat dikerahkan untuk menerapkan segala ilmu yang telah diserap untuk menjadikan Taman Nusa sesuatu yang bermanfaat.
Memang tidak selamanya kesahihan dapat dipertahankan seratus persen. Namun penyimpangan yang terjadi biasanya sangat sepele. Rumah Papua misalnya, terpaksa disusun kembali dengan menggunakan paku, sementara auranya tetap mengesankan sebuah pemukiman sebagian rakyat Indonesia di ujung timur Indonesia.
Tidak cukup dengan hanya menyuguhkan berbagai rumah adat yang fungsional di lahan aslinya, setiap akhir pekan, band-band pemusik juga menggemakan kemerduan dari sejumlah daerah Nusantara. Bukan hanya telinga yang dihibur, mata pun dapat menyaksikan jaipongan atau pekerjaan menenun dari bagian Timur Indonesia. Bukan hanya sarana perumahan, melainkan warga berbagai daerah juga ditampung di Taman Nusa demi memberikan otentisitas yang lebih afdal.
Sementara untuk melepas dahaga atau bahkan perut yang keroncongan, di tempat-tempat strategis tersedia warung.
Semua ini masih dalam tahap awal, karena cita-cita keluarga Santoso memang untuk mengembangkan Taman Nusa lebih lanjut.
Bali atau Pulau Dewata yang sudah mashur ke seantero dunia kini mendapat nilai tambah dalam bentuk Taman Nusa. Sekiranya anda ke Bali dan tidak menyaksikan berbagai atraksi lainnya, kecuali Taman Nusa, maka itu pun sudah cukup memadai. Biayanya? Sebagaimana dalam hal-hal lain Pak Santoso hanya tersenyum ketika ditanya, namun sekali lintas saja kita sudah dapat menebak betapa “gendut”-nya dana yang telah dan akan dihabiskan.
Tidak percaya? Silakan periksa langsung di Jalan. Taman Bali, Br. Blahpane Kelod, Desa Sidan, Sidan, Gianyar, Bali.
Foto: dok. Nuim Khaiyath & Taman Nusa