SURGANYA PENGGILA BELANJA MINIM DANA

Satu hal paling saya rindukan dari Australia sejak kembali ke Indonesia dua tahun silam adalah…Op Shop!

Masa tinggal saya selama menjalani setahun berlibur dan bekerja di Australia 2015-2016 silam telah mengenalkan saya pada Opportunity Shop atawa Op Shop, yang menjadi pendongkrak semangat saya, si gila belanja.

Op Shop sejatinya sama dengan thrift shop alias toko barang bekas. Ia adalah upaya amal sekaligus perlambatan laju penimbunan sampah. Di sana, kita bisa menyumbangkan benda apa saja yang sudah tidak kita inginkan, lalu para petugas Op Shop akan menyortirnya dan memajangnya untuk dijual dengan harga murah. Sangat.

Sependek pengetahuan saya, Op Shop selalu dikelola oleh yayasan atau komunitas lokal, lalu dananya akan disalurkan kembali untuk yang memerlukan, misalnya para tunawisma, veteran militer, kaum muda, dan sebagainya. Beberapa Op Shop yang selalu ada di kota-kota besar antara lain: Salvation Army alias Salvos, St. Vincent de Paul alias Vinnies, Red Cross, dan Save The Children.

Sehingga, menggila belanja di Op Shop juga bisa meminimalkan rasa bersalah saya yang mengeluarkan uang untuk belanja barang. “Ah, ini kan amal juga,” begitu alasan saya. Karena murah-murah, saya tetap saja kalap dan berakhir menghabiskan sekian dollar untuk belanja barang-barang yang menurut saya “lucu” dan murah (ketimbang harga baru barang itu). Selain itu, saya pikir belanja di Op Shop setidaknya juga merupakan u[aya recycling barang-barang, jadi lebih ramah lingkungan.

Selama menjejalajah empat Negara bagian Australia, mata saya selalu jelalatan memindai Op Shop yang bisa saya temukan. Di manapun saya singgah. Makanya, saat di Melbourne, dengan senang hati saya menyanggupi permintaan membersihkan rumah orang ke suburb yang jauh-jauh (Bentleigh, misalnya) meskipun ongkos jalan dan jumlah jamnya tidak sebanding. Bayaran setelah bersih-bersih dua jam itu biasanya langsung berpindah ke Op Shop terdekat yang masih buka. Ha ha ha!

Beberapa Op Shop favorit saya selama di Melbourne adalah Brotherhood of St. Laurence di Royal Arcade (kecil tapi kadang ada barang lucu!), Op Shop sepanjang Brunswick Rd (Don Bosco, Savers, Vinnies, Salvos), Bourke Street (Salvos, tapi cukup mahal), Footscray (Salvos, Savers super besar), dan di Moone Ponds.

Konsep penataan barang di Op Shop jadi daya pemikat para pembeli. Berbeda dengan konsep “awul-awul” semasa saya sekolah di Yogyakarta yang main tumpuk saja baju di meja, konsep Op Shop yang rapi, tertata, bahkan kadang tematik sesuai momen, mampu meningkatkan ketertarikan membeli. Siapa yang tidak suka memilah-milah baju yang sudah tergantung rapi di rak berdasarkan warna, jenis, atau ukuran?

Saya bahkan sempat memiliki kartu anggota Salvation Army alias Salvos dan sudah mendapat sekian dollar bonus untuk digunakan membeli barang lagi. Saat saya memutuskan mengambil pekerjaan di South Australia (yang pada saat itu musim dingin sementara posisi saya di NT), saya langsung menuju Vinnies Darwin untuk membeli keperluan. Di sana saya menemukan jaket, beberapa sweater, syal, celana panjang, hingga boots!

Mata saya pun cukup awas dengan merek-merek tertentu, meskipun akhirnya tetap yang dibeli adalah yang paling nyantol di hati. Saya mendapatkan dress elegan Riki Nathan, celana Country Road, dompet kulit Hugo Boss, kemeja Columbia, raincoat Kathmandu, blazer Burberry, ransel Nike, boots Teva dan Hush Puppies, mesin kopi 10 dollar, koper 4 dollar, rok vintage, hingga tas kulit Italia yang masih baru. Tidak malu memakai barang bekas? Oh well, sensasi menemukan barang yang cuma satu-satunya di Op Shop dengan fungsi yang masih amat baik mengalahkan gengsi sih.

Belajar dari ibu asuh Australia saya, barang-barang Op Shop juga bisa menjadi hadiah yang thoughtful untuk diberikan pada orang-orang kesayangan. Ia kerap memberi hadiah anaknya masing-masing alokasi 5 dollar untuk digunakan membeli mainan atau buku cerita yang mereka mau di Op Shop. Dan anak-anak itu senang-senang saja!

Andai memiliki uang lebih pun, mungkin saya akan tetap menyukai Op Shop yang menawarkan romantika barang lawas atau keseruan berburu sesuatu.

Teks: Elga Ayudi