Refleksi Pariwisata Indonesia 2020

Pembaca Ozip yang budiman.

Tak terasa kita telah memasuki tahun 2020. Di sepanjang tahun 2019 yang lalu, pariwisata Indonesia memberikan kabar baik bagi perekonomian Indonesia. Tercatat pemasukan dari sektor pariwisata berada di urutan keempat dalam hal penghasil devisa nasional,mencatatkan keuntungan sebesar 16,1 miliar dollar US mendekati pemasukan dari migas, batu bara dan kelapa sawit. Bappenas bahkan memperkirakan bahwa peningkatan jumlah wisatawan di tahun 2020 akan mencapai 21,6 juta pengunjung dengan asumsi pendapatan ekonomi mencapai 21 miliar dollar US.

Membaca data di atas memang menggembirakan. Namun Indonesia sendiri harus terus berbenah diri mengingat negara-negara kawasan sekitar Indonesia juga menyadari urgensi pariwisata di masa depan. Artinya, target capaian Indonesia yang tinggi di tahun-tahun mendatang belum menjamin perubahan signifikan dalam skala internasional. Bila mengacu pada data Asia-Pasific TTCI 2019, peringkat kompetitif Indonesia masih berada di peringkat ke-40, jauh di bawah indeks kompetitif pariwisata Singapore (peringkat 17), Malaysia (peringkat 29) dan Thailand (peringkat 31). Lebih fokus lagi, data Pariwisata kawasan ASEAN menunjukkan kunjungan wisatawan ke Indonesia mulai dari 2008-2018 konsisten berada di urutan keempat selama sepuluh tahun berturut-turut jauh di bawah Thailand, Malaysia dan Singapura. Dalam falsafah Tionghoa, angka empat sedapat mungkin dihindari karena dalam bahasa Mandarin, “si”, seringkali identik dengan hal yang tidak baik. 

Terlepas dari mitos angka tersebut, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis yang sangat patut diapresiasi. Melalui program 10 (sepuluh) destinasi unggulan baru yang dinamai “10 Bali Baru”.  Presiden Jokowi menajamkan lagi akselerasi destinasi 10 Bali Baru tersebut dengan lebih berfokus pada 5 (lima) Destinasi Super Prioritas, yakni: Borobodur, Toba, Mandalika Lombok, Labuan Bajo dan Likupang.

Dalam rangkaian Seminar Internasional HoBauw 2019 di Indonesia, penulis memberikan sumbangsih saran dalam pengelolaan kepariwisataan Indonesia. Pertama, mengingat kembali falsafah untuk hidup jangan sampai “memakan tulang teman”, maka memang jauh lebih baik pengembangan destinasi-destinasi baru tidak lagi terus-terusan mengandalkan Bali yang kini sedang mengalami penurunan daya dukung lingkungan dan budaya akibat terlalu tingginya angka kunjungan wisatawan.

Destinasi-destinasi “Bali Baru” harus ditujukan sebagai ujung tombak kompetitor destinasi negara tertentu. Sebagai contoh, pariwisata Jakarta, Pulau Seribu seklaster dengan Batam sebagai ujung tombak untuk bersaing dengan Singapura. Borobodur dan Manado sebagai ujung tombak untuk bersaing dengan Thailand dan Vietnam. Kalimantan sebagai ujung tombak bersaing dengan Malaysia. Labuan Bajo, Manado dan Papua sebagai ujung tombak bersaing dengan Australia, dan seterusnya. Dipadukan dengan sistem clustering, destinasi unggulan pun diharapkan agar bersinergi dengan destinasi lokal yang sudah berkembang.

Kedua, isu global warming maka pariwisata yang berkelanjutan dan terbaharui adalah keniscayaan sebagai jembatan utama bagi perbaikan dan perawatan lingkungan. Dan ketiga, mengantisipasi isu sektarianisme dan radikalisme, maka pariwisata adalah sarana efektif membangun manusia Indonesia yang berbudaya dalam ikatan Bhineka Tunggal Ika. 

Warga perantauan diaspora Indonesia dapat berbagi resolusi pariwisata 2020, sebagai duta wisata internasional, memperkenalkan melalui teknologi digital dan media sosial bahkan berwisata mengunjungi Bali Baru: Danau Toba, Candi Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Pulau Seribu, Likupang, Gunung Bromo hingga Morotai sebagai dukungan konkrit bagi kemajuan Indonesia.

Ayo berwisata ke Wonderful Indonesia dan Selamat Natal 2019 dan Tahun Baru 2020 !