Kematian George Floyd dan gerakan protes Black Lives Matter di berbagai kota di penjuru dunia, menandakan isu racism masih menjadi ‘pe-er’ bagi kita masyarakat global. Bukan hanya ada di zaman sekarang, racism sudah ada sejak dulu. Bukan ranah saya membicarakan racism di lingkup global, saya hanya akan menceritakan pengalaman saya yang saya alami bertahun-tahun dan belakangan baru saya sadari bahwa sebenarnya saya juga adalah seorang korban dari racism.
Saya lahir dan besar di Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Waktu kecil daerah saya masih termasuk Manggarai. Sepanjang yang saya tahu, kakek dan nenek dari kedua orang tua saya pun dari daerah yang sama. Saya seorang muslim, sampai kakek dan nenek pun muslim, warna kulit saya lumayan bright, keluarga besar saya banyak yang berkulit cerah dan ada juga yang gelap.
Sebagai sebuah provinsi dengan mayoritas penganut agama Kristen/Katolik dan berkulit gelap, saya sejak dulu mendapati komentar-komentar seperti:
“Masa sih kamu dari Flores?”
“Serius kamu asli sana? Pasti ortu mu dari daerah lain ya?”
“Kok kamu muslim?”
“Kok kulitmu putih banget?”
Komentar-komentar seperti ini susah untuk direspon. Saya bingung harus merespon dengan cara apa. Salah respon, saya bisa jatuhnya meng-insult suku saya sendiri. Padahal saya sangat bangga lahir dan besar di daerah ini. Biasanya saya hanya berkomentar, “Oh iya kamu orang kesekian yang ngomong begitu”.
Sampai kadang saya merasa insecure mengenalkan diri saya ketika beberapa kali saya mengikuti acara/kegiatan berskala nasional, dimana pesertanya dari berbagai daerah di Indonesia. Bukan karena saya tidak bangga berasal dari NTT, tapi karena saya yakin akan meninggalkan banyak tanya dikepala peserta yang lain, yang juga saya tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Mendapatkan pertanyaan seperti itu sudah sangat membosankan bagi saya. Sampai kadang saya berpikir bahwa visual saya memang tidak cukup merepresentasikan bahwa saya berasal dari tanah Timor.
Menurut saya hal-hal seperti itu tidak untuk dikomentari. Manusiawi jika seseorang akan berkomentar ketika melihat sesuatu yang di luar dari biasanya. Misalnya ketika seorang berkulit cerah ternyata berasal dari suku yang mayoritas berkulit gelap. Tapi kadang nada rasis tidak terelakkan dari komentar yang terlontar. Sangat halus tapi itu ada. Apa sebenarnya jawaban yang dicari dari berkomentar atau bertanya seperti itu? Entah antara membutuhkan jawaban atau memang hanya sekadar ingin melontarkan komentar.
Bagi saya, rasisme adalah segala bentuk disrespectful reaction terhadap perbedaan ras. Perbedaan fisik berdasarkan ras itu akan selalu ada karena memang manusia berasal dari ras yang berbeda. Manusia tampil dengan keunikan masing-masing. Ada yang pendek, ada yang tinggi. Ada yang kulitnya cerah, ada yang gelap. Ada yang warna rambutnya hitam, ada yang kuning, dan masih banyak perbedaan lainnya. Keyakinan, budaya dan tradisi juga adalah hal-hal yang hadir dalam berbagai rupa di muka bumi ini.
Memberantas rasisme bukan berarti kita menghilangkan semua perbedaan itu, karena itu hal yang mustahil. Yang harus dihilangkan adalah segala stereotype/behaviour atau reaction yang disrespectful terhadap suatu perbedaan.
Disrespectful way ini bisa dalam bentuk apa saja. Mulai dari yang tersirat dalam hati, komentar, sampai perlakuan kasar. Apalagi jika sudah sampai pada menghilangkan nyawa orang. Bebeapa waktu lalu, sebuah postingan bernada rasis menjadi sorotan di Instagram. Kurang lebih tentang keengganan seseorang untuk memiliki “hubungan” dengan orang lain dari suku yang punya ciri khusus dalam nada bicara. Konon katanya, yang bersangkutan akan merasa malu untuk mengenalkan pasangannya kepada teman-temannya. Stereotype ini tentu saja sangat disrespectful apalagi jika sudah mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil dalam hidup seseorang.
Sekali lagi, mungkin bukan kapasitas saya membicarakan rasisme di ranah global, tapi yang ingin saya suarakan adalah isu rasisme tidak hanya jauh di Amerika sana. Di Indonesia atau di mana pun sekarang, kita belum luput dari menjadi korban rasisme. Meski tinggal di Australia sekalipun, saya pernah mendapatkan perlakuan rasis. Kawan saya juga. Tidak sering memang, tapi pernah. Bedanya, bentuk rasisme yang kami dapat berbeda-beda. Rasisme ada di mana-mana dan sepertinya itu sudah menjadi bagian dari culture yang secara tidak sadar kita rawat.
Sometimes, saya masih khawatir dengan tanggapan atau pendapat orang di suatu daerah ketika ingin bepergian ke tempat yang penduduknya berbeda suku karena penampilan, keyakinan, warna kulit, tinggi badan, dan beberapa hal lain yang lumrah menjadi bahan untuk dikomentari. Menghakimi seseorang dari bentuk fisik dengan stereotype jelek tentang suku mereka adalah bentuk rasisme. Saya yakin banyak dari kita yang pernah menjadi korbannya.
Beberapa kisah saya yang mengalami perlakuan rasis di mana-mana adalah bukti kecil bahwa masih ada saja yang rasis walaupun bentuknya tidak seperti yang terjadi Negeri Paman Sam sana. Racism yang sampai level membunuh orang itu tentu saja mengerikan. Di Indonesia sendiri menurut saya bentuk penerimaan dan rasa menghargai perbedaan terhadap orang suku lain di lingkup kecil kita pun masih sangat minim.
Sebagai bangsa yang besar dan mengaku berbeda tapi satu, penerimaan akan suku lain di lingkungan kita mestinya adalah suatu penerimaan tanpa tanda tanya dan tanpa ragu dan tanpa bisik-bisik di belakang. Nah penerimaan ini masih belum terlihat populer di Indonesia. Beberapa pengalaman di atas masih menandakan bahwa banyak tempat di Indonesia belumlah senyaman itu bagi setiap orang. Pandangan atau stereotype terhadap suatu suku di Indonesia sangatlah kuat, boleh jadi hal ini berasal dari kuatnya perbedaan budaya antar suku. Cerita tentang menjadi korban rasisme masih ada di mana-mana dan kisah ini bisa kita dengarkan dari siapa saja ketika mereka berkunjung ke suatu tempat.
Semoga suatu saat kita semua menjadi dewasa dan mampu melihat, berdamai, serta menghargai berbagai perbedaan dan menempatkan manusia pada posisi yang sama apapun latar belakang suku dan bentuk rupanya. Dengan kata lain, merayakan perbedaan sebagai suatu kekayaan bersama sebagai makhluk Tuhan bernama manusia.
Rahma Hidayah Shaliha, lahir 5 April 1993 di Manggarai Barat, NTT. Sejak SMP merantau di kota Makassar sampai menamatkan kuliah S1 di tahun 2015. Merintis Labuan English Course (LBC), sebuah kursus Bahasa Inggris di Labuan Bajo sejak 2016. Sekarang sedang merantau (lagi) di Melbourne sebagai mahasiswa master di Monash University.