Kegiatan Nusansastra 2024 berlangsung di Kathleen Syme Library and Community Centre, Carlton pada hari Sabtu (5/10/2024). Selama lebih dari dua jam, kegiatan ini menjadi sebuah wadah yang memperkenalkan beragan budaya Indonesia di Melbourne, Australia. Acara ini diselenggarakan oleh PPIA Victoria dan AIYA Victoria melalui program Ikatan Australia Nusantara (IKAN).
Nusansastra 2024 menghadirkan tiga sesi utama: Folklore, Proverbs/Sayings, dan Movies, dengan mengundang empat pembicara ahli dalam masing-masing sesi. “Saya bersyukur acara sudah selesai secara memuaskan. Dari sisi audiens, sebagian besar bisa hadir dan berinteraksi dengan acara sesuai yang kita harapkan,” ujar Ivan W., Project Officer Nusansastra.
Ia menambahkan bahwa Nusansastra tahun ini berbeda dari Indonesia Literary Symposium tahun lalu yang lebih formal. “Tahun ini, kami buat acaranya lebih casual, interaktif, dan hanya on-site, dengan harapan pembicara bisa menampilkan karya sastra Indonesia dalam wujud yang memorable dan diskusi yang menarik dengan audiens,” jelasnya.
Adapun Tito Ambyo, dosen jurnalistik di RMIT dan kandidat PhD yang membahas cerita horor Indonesia, mengisi sesi Folklore. “Pengalaman beliau dalam dunia jurnalistik baik di Indonesia maupun Australia memberi perspektif unik dalam folklore,” ujar Ivan.
Sementara itu, sesi Proverbs/Sayings diisi oleh Kris Redden dan Agustina Sinta Erlina. Kris membahas peribahasa dalam sejarah Walisongo, sementara Sinta membawakan topik peribahasa dari perspektif Cut Nyak Dhien. “Mereka juga membawa beberapa permainan interaktif yang sukses menghidupkan sesi ini,” lanjut Ivan.
Bagi Kris yang berasal dari keluarga Jawa, seni tradisional wayang Jawa bukan hanya tentang hiburan atau kisah klasik budaya Indonesia. Di balik itu, wayang Jawa juga menjadi pesan dakwah dari Sunan Kalijaga, salah satu tokoh Walisongo. Sunan Kalijaga mengemas nilai-nilai Islam dalam balutan kebudayaan Jawa serta kisah Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata untuk mengajarkan nilai Islam kepada masyarakat Jawa. Pengaruh Walisongo dalam menyebarkan Islam dengan cara yang harmonis melalui kebudayaan lokal sangat menarik perhatian Kris, salah satunya setelah ia menonton pertunjukan Lengger di Wonosobo.
“Aku rasa orang nggak banyak yang tahu bahwa wayang Jawa itu sebenarnya salah satu bentuk seni Islam,” ujar Kris. “Kisah Walisongo itu ada campuran mistis, sejarah, dan filosofi yang relevan untuk siapa saja, tidak hanya umat Muslim,” tambahnya.
Terakhir adalah sesi Movies menampilkan Ratna Erika M. Suwarno, seorang mahasiswa PhD di University of Melbourne yang mempelajari tren Indonesian Web Series di YouTube. Ratna menampilkan showcase film-film Indonesia kontemporer dan cuplikan film pendek yang mengilustrasikan perkembangan perfilman Indonesia. Sesi Movies juga diisi dengan menonton sebuah film pendek buatan Indonesia-Jerman bertajuk Balik Jakarta.
Dengan suasana yang lebih santai dan interaktif, Nusansastra mempertemukan berbagai aspek budaya Indonesia dengan masyarakat internasional di Melbourne, baik dari segi agama, sastra, maupun tradisi.
Teks dan foto: Rivi Satrianegara