Noor Huda Ismail dan Yayasan Prasasti Perdamaian: “Because second chance matters”

Lima belas tahun lalu, Noor Huda Ismail memutuskan terjun menjadi aktivis dan pegiat perdamaian karena sebuah alasan personal. Salah seorang terdakwa aksi Bom Bali 2002, Fadlullah Hasan alias Mubarok, adalah teman sekamarnya waktu menuntut ilmu di Pondok Pesantren Ngruki dulu. Informasi ini ia ketahui tepat ketika tengah meliput kejadian tersebut.

Kala itu ia masih bekerja sebagai jurnalis dan menjadi koresponden untuk media Amerika, The Washington Post. Kejadian pengeboman yang menewaskan 202 korban itu tak hanya memukul Huda – demikian ia disapa – namun juga masyarakat Indonesia dan komunitas internasional. Di titik itulah, pria kelahiran Yogyakarta, 29 November 1972, ini memulai kampanye damai melawan aksi terorisme, radikalisme ekstrem, serta kekerasan transnasionalis lainnya.

Dalam perjalanannya, Huda yang kini telah menyelesaikan studi PhD di jurusan Politik dan Hubungan Internasional, Monash University, menemukan lubang besar dalam rangkaian upaya penanggulangan terorisme yang umum dilakukan. Sepanjang pengamatan dan pengalamannya, cara-cara ‘keras’ yang selama ini dilakukan terhadap tersangka kasus terorisme ternyata tidak membuat para pelaku jera, tidak pula efektif dalam memutus rantai kekerasan itu sendiri. Alih-alih berkurang, ancaman terorisme justru semakin tinggi baik pada skala nasional maupun global. Apalagi kini jejaring teroris internasional seperti ISIS telah amat piawai menggunakan media sosial sebagai salah satu platform untuk merekrut pelaku dan pendukung gerakan mereka. Karena itu, sebuah pendekatan baru harus dilakukan sebagai strategi untuk mengurangi ancaman terorisme dari kelompok-kelompok radikal.

Lahirnya Yayasan Prasasti Perdamaian

Kebutuhan atas strategi baru inilah yang mendorong Huda mendirikan Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP – atau Institute for International Peace Building) di tahun 2008. Dengan visi menciptakan lingkungan yang lebih aman dari ancaman terorisme bagi masyarakat Indonesia, Huda dan YPP berupaya melakukan integrasi sosial dan pendampingan mantan narapidana terorisme untuk kembali ke masyarakat. Dalam mewujudkan misinya, yayasan yang berkantor di Jakarta Selatan ini menggunakan pendekatan alternatif yang populer, humanis, dan berkelanjutan.

“Program-program YPP berfokus pada upaya kuratif dan preventif,” jelas Huda Upaya kuratif adalah menemukan aktor-aktor terorisme, yang meliputi para pelaku, korban, dan keluarga mereka. Kami berdialog dan mencoba melakukan pendekatan kepada mereka.”

Sementara itu, upaya preventifnya dilakukan bertingkat. Pertama, YPP membuatkan jaringan sosial baru bagi para mantan narapidana, salah satunya melalui unit usaha rumah makan bernama Dapoer Bistik di Solo. Melalui bisnis ini mereka bertemu dengan teman-teman baru. “Tujuannya adalah agar lingkungan pertemanan mereka meluas, bukan hanya 4L alias ‘lu lagi, lu lagi’. Kalau pergaulannya sama terus dengan para mantan teroris juga, ya tidak ada perubahan, dong.”

Level berikutnya, setelah menyentuh para aktor, program YPP menyasar lingkup yang lebih luas, yaitu society atau masyarakat. “Caranya adalah dengan membuat produk-produk budaya populer, seperti buku dan film. Produk populer lebih mudah diterima publik dan publik bisa take ownership of the issue,” ujarnya lagi.

Sebelumnya, Huda sudah pernah menerbitkan buku berjudul ‘Temanku, Teroris?’ (2008) dan film dokumenter ‘Jihad Selfie’ (2016). Buku ‘Temanku, Teroris?’ berisi kisah hidup Huda dan Fadlullah Hasan sebagai dua orang yang ‘satu guru, satu ilmu’ namun memilih jalan yang berbeda. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan dibedah dalam ajang bergengsi Frankfurt Book Fair tahun 2015.

Sementara itu, film ‘Jihad Selfie’ memotret kisah nyata seorang remaja asal Aceh yang hampir saja bergabung dalam ISIS karena terpesona oleh foto-foto di media sosial milik kawannya, yang telah lebih dahulu bergabung dengan jaringan radikal ekstrem ini. Dalam film yang telah diputar di berbagai belahan dunia ini, Huda menyoroti kerentanan remaja pengguna media sosial terhadap paham radikal yang beredar di dunia maya serta pentingnya kekuatan relasi dalam keluarga sebagai usaha awal pencegahan aksi terorisme.

Akhir Juni lalu, Huda baru saja meluncurkan film dokumenter terbarunya berjudul ‘Pengantin/The Bride’. Film ini mengisahkan pengalaman tiga orang pekerja migran wanita Indonesia yang berkenalan dengan laki-laki melalui media sosial. Dua di antara mereka bergabung dengan jaringan kelompok radikal melalui pernikahan dengan laki-laki tersebut. Dalam waktu dekat, film ini akan diputar di Singapura, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, dan tempat-tempat lain yang menjadi tujuan utama pekerja migran Indonesia.

Kemudian, level selanjutnya dari upaya preventif YPP adalah lingkup negara. Salah satu bentuk programnya adalah berbagai pelatihan yang diberikan oleh YPP bagi narapidana teroris di penjara. Hanya saja, saat membawa produk-produk populer YPP ke level ini, Huda sering tersandung urusan birokratis khas Indonesia. Sebagai contoh, untuk menyebarkan film dokumenter Huda lebih luas di dalam negeri, ia tersandung urusan politis. Padahal, di Singapura, film Jihad Selfie menjadi tontonan wajib di sekolah-sekolah. Menurut Huda, jika pemerintah Indonesia juga ingin begitu, sebenarnya mudah saja. Indonesia sudah punya sistem, jadi tinggal mengadopsi saja dari negara lain. Huda bahkan bersedia memberikan filmnya secara cuma-cuma agar dapat digunakan sebagai bagian dari upaya edukasi dan pencegahan aksi terorisme di negara kita. Namun, kembali lagi, ada perkara politis yang harus dihadapi. “It is beyond my reach, but it is okay,” ujarnya santai.

“Karena itulah,” sambungnya, “saya menggunakan narasi-narasi yang mudah menyebar luas, seperti pentingnya relasi dalam keluarga. Film-film saya, serta buku terbaru Escape from Raqqa yang sebentar lagi terbit, semua bicara tentang relasi keluarga, antara orang tua dan anak,” jelas bapak dari dua anak ini. “Saya tidak bisa mengontrol birokrasi, tapi setidaknya saya bisa mengendalikan narasi-narasi yang bebas birokrasi, seperti ‘cinta keluarga’ dan sebagainya.”

Pentingnya Kesempatan Kedua


Huda dan YPP memahami betul pentingnya kesempatan kedua bagi para mantan narapidana terorisme. Rumah makan Dapoer Bistik, misalnya, didirikan oleh Huda dan YPP sebagai wadah bagi para mantan narapidana untuk menemukan kembali tempat mereka di tengah masyarakat. Dapoer Bistik seluruhnya dikelola oleh para mantan pelaku terorisme.

Huda mendapat inspirasi atas pendirian rumah makan ini saat ia menjalani studi master di Inggris. Tahun 2005, ia berkunjung ke Irlandia Utara dan menemukan ada sebuah LSM kecil yang melakukan hal serupa untuk menerima kembali mantan pelaku perang saudara di Irlandia. Ia kemudian mengadaptasinya dalam bentuk Dapoer Bistik.

“Program-program yang ada ya banyak juga gagalnya, berhubung tidak ada yang namanya ‘Terrorism for Dummies’, tapi kami mencoba terus.”

Satu hal yang jelas, YPP selalu melakukan pendekatan langsung kepada aktor. Jadi bukan hanya berkutat pada metateori, melainkan lebih individual. Suara-suara aktor itulah yang kemudian digaungkan dalam kampanye YPP menciptakan perdamaian dan mencegah terorisme.

 

 

Hingga kini, respons publik baik sekali terhadap Dapoer Bistik. Rumah makan ini sudah memiliki franchise di beberapa daerah di Indonesia dan semua unit waralabanya dikelola oleh mantan narapidana terorisme. “Buat kami, program ini berhasil. Parameter keberhasilannya adalah ketika orang bisa memulai hidup baru, dan itulah yang terjadi,” tukas Huda.

Dapoer Bistik adalah salah satu jalan bagi para mantan narapidana untuk kembali ke masyarakat. “Sebab kami percaya, tak ada satupun manusia yang lahir sebagai terorisme. Selalu ada proses menjadi.  Tapi, ada juga titik di mana ia capek, ingin berhenti. Ketika ini terjadi, masyarakat tidak selalu mau menerima.” Karena itulah, YPP hadir dengan program-program pendampingan dan integrasi sosialnya.

Because second chance matters,” tandas Huda.

Teks: Pratiwi Utami

Foto: Aloysius Donny P./Dok. Noor Huda Ismail