Menjaga Iman di Tanah Seberang – Keeping Faith While Overseas

pendidikan-agama-untuk-anak-OZIP
Kegiata keagamaan untuk anak-anak di seputar Victoria.

Laporan Utama Edisi Maret 2015

Lain lubuk lain ikan, lain padang lain ilalang. Itulah peribahasa yang bermakna universal. Setiap wilayah di dunia ini memiliki ciri mandiri, yang membuat para pendatang harus menyesuaikan diri, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.  Sekalipun demikian, para pendatang itu, terutama dari generasi pertama, tak bisa sepenuhnya membuang begitu saja adat istiadat leluhur yang sudah mendarah daging dalam jiwanya. Kompromi antara pendatang dengan tanah dan negara baru itu akan berlangsung terus menerus sampai menemukan keseimbangan yang saling menguntungkan. Mereka diterima seutuhnya di tempat baru sementara akar dan jejak leluhur mereka juga tetap terpelihara.

Australia adalah tanah baru bagi lebih dari 200 suku bangsa dari seluruh dunia. Secara umum negeri Kangguru ini menerapkan sistem sekuler, mengikuti sistem Eropa sebagai pendatang terbanyak dan terkuat. Semakin sejahtera kondisi masyarakat di negeri ini, kian menjauh pula mereka dari kesibukan beragama. Jaminan pendidikan, kesehatan dan hari tua, membuat mereka tak lagi “membutuhkan” agama sebagai sandaran hidup. Kenyataan itu ditegaskan oleh hasil riset sebagaimana dikutip oleh pegiat dialog antariman Dr. Nadirsjah Hoesein, “Semakin makmur sebuah negara maka kian jauh penduduknya dari agama.”

Anak-anak belajar Alkitab-OZIP
Anak-anak belajar Alkitab. Dok. Pdt Kuncoro.

Namun, di tengah situasi demikian, pendatang Indonesia justru semakin terpacu untuk menemukan religiusitas mereka. Para pendatang yang Muslim berusaha keras agar di lokasi mereka tinggal dapat membangun masjid untuk jamaah Indonesia. Di Victoria mereka berhimpun dalam IMCV (Indonesian Muslim Community of Victoria). Pendatang beragama Hindu yang kebanyakan datang dari Bali, juga tengah berproses agar dapat memiliki pura sendiri.  Mereka terkumpul dalam MAHINDRA (Masyarakat Hindu Dharma). Bagi yang menganut Kristen dan Katolik, kondisinya lebih menguntungkan karena mereka bisa “memilih” gereja yang sangat banyak terdapat di seluruh wilayah Australia yang sesuai dengan kayakinannya. Mereka tinggal mengatur jadwal kebaktian atau misa yang dilaksanakan dalam bahasa Indonesia. Penganut Kristen yang terdiri dari lebih 20 gereja dan persekutuan, terhimpun dalam BKS (Badan Kerjasama umat Kristen). Sementara jemaat Katolik terkumpul dalam KKI (Keluarga Katolik Indonesia).

Mengapa mereka perlu membentuk kelompok ibadah sesama pendatang Indonesia dan tidak membaur saja dengan pendatang lain yang menganut keyakinan yang sama? Soal ibadah adalah soal yang sangat pribadi, menyatu dalam jiwa dan rasa percaya. Di situlah akar etnisitas dan keyakinan mengambil tempat yang mencengkeram kuat. Beribadah memerlukan rasa nyaman dan aman. Tak ada yang bisa mengalahkan kebersamaan dengan orang sekampung halaman dan seiman.

Fakta membuktikan, berada jauh di tanah seberang, para pendatang Indonesia tetap berusaha kuat untuk menjaga iman, agar tidak larut dalam berbagai godaan. Sungguh, ini sesuatu yang layak disyukuri.

Keeping Faith While Overseas

Don’t measure others by your own yardstick (lain lubuk, lain ikan, lain padang lain ilalang). This idiom has universal meaning. Every region of the world has its own independent characteristics, which means migrants have to adjust, where the Earth meets the sky. Nevertheless, migrants, especially first generation ones, cannot entirely throw away their ancestral customs ingrained in their soul. Compromise between newcomers to the land and the new state continue to be ongoing until finding a mutually beneficial balance. Newcomers receive a whole new place temporarily and ensure their ancestral roots are also maintained.

Cerita dari Injil-OZIP
Cerita dari Injil. Sekolah Minggu KKI Melbourne. Foto: Ineke Iswardojo.

Australia is a new land for more than 200 ethnic groups from all over the world. In general, the “Kangaroo” country applies a secular system, with the European migration system being the largest and the strongest. The increasing prosperity of people in this country, the further away they drift from religion. Garuntee of education, health and old age, mean they no longer “need” religion in their lives. Interfaith dialogue advocate Dr. Nadirsjah Hoesein emphasies this fact in her research stating, “The more prosperous a country the greater the distance between the people and religion.”

However, in the midst of this situation, Indonesian migrants have become increasingly more determined to discover their religiosity. Muslim migrants trying hard to find a location to build mosques for Indonesian pilgrims. In Victoria they gather in the IMCV (Indonesian Muslim Community of Victoria). Hindu migrants mostly from Bali, also wish to have their own temple. They gather in MAHINDRA (Masyarakat Hindu Dharma, Hindu Dharma Society). For those who embrace Christianity and Catholicisim,  the conditions are better as they can “choose” from churches that are very widely available across Australia in accordance with their beliefs. They can choose to organise sermons or Mass in Indonesian. Christianity is composed of over 20 churches and fellowships, assembled in the BKS (Badan Kerjasama umat Kristen, Christian Cooperation Body). While the Catholic Church is gathered in the KKI (Keluarga Katolik Indonesia, Indonesia Catholic Family).

Anak-anak di Surau Kita-OZIP
Kegiatan anak-anak di Surau Kita, IMCV. Foto: Ridho Perwiro

Why do they need to form groups of fellow Indonesian migrants and not just blend with other migrants that hold the same beliefs? Worship is a very personal matter, unites one’s spirit and faith. That’s where the roots of ethnicity and faith play such a powerful role. Worship requires a sense of comfort and safety. Nothing can beat the feeling of being together with your own sisters and brothers.

Facts prove, far from home, Indonesian migrants remain strong to their faith, and do not give into temptations. This truly is something to celebrate.

OZIP Main Report was written by Iip Yayha and translated by Tim Flicker. Photographs from Windu Kuntoro, Ineke Iswardojo, and a collection of other sources.