Neneng Yanti Khozanatu Lahpan
“Panggil aku Kartini saja–itulah namaku”, demikian penggalan kalimat dalam salah satu surat Kartini kepada sahabat penanya, Estelle Zeehandelaar, 25 Mei 1899. Kutipan itu kemudian diambil oleh Pramoedya Ananta Toer untuk judul bukunya, “Panggil Aku Kartini Saja” (Lentera Dipantara: 2007). Sebuah kalimat yang memiliki makna mendalam dengan pandangan yang luar biasa dari seorang gadis belia dalam menentang feodalisme ketika ia sendiri berada dalam belenggu yang sangat kuat di dalamnya.
Fenomena perayaan Kartini setiap tanggal 21 April selalu menarik perhatian di Indonesia. Berbagai kegiatan seremonial untuk memperingatinya selalu meriah dirayakan, sejak murid taman kanak-kanak hingga masyarakat umum. Mengenalkan sosok Kartini sejak kanak-kanak tentu sangat baik untuk mengenalkan kepada mereka tokoh-tokoh yang memberi inspirasi bagi kemajuan perempuan di Indonesia. Sayangnya, kita masih menempatkan Kartini sebagai mitos daripada sosok perempuan muda yang menuangkan kegelisahan-kegelisahannya atas berbagai hal melalui tulisan. Kita lebih sering memperingatinya secara simbolis bahkan artifisial. Anak-anak didandani kebaya plus sanggul dan make-upnya, ibu-ibu sibuk lomba memasak dan kaum remaja begitu antusias dalam berbagai ajang kontes kecantikan. Sebuah peran dan ajang yang justru berhubungan dengan domestifikasi perempuan. Sebuah paradoks yang justru berbeda dengan yang dicita-citakan Kartini. Anak-anak itu hanya diperkenalkan pada kebesaran mitos Kartini beserta kebayanya, pada sebait lagu yang memuliakannya, daripada pemikiran, kegelisahan, dan cita-citanya.

Berjuang dengan Tulisan
Apa jejak yang paling penting untuk diingat dari seorang Kartini? Tentu saja, gagasan-gagasan yang ia tuangkan dalam tulisan-tulisannya. Menulis telah menjadi pilihan Kartini sebagai alat perjuangan sejak ia masih sangat belia. Di tengah sulitnya pilihan yang bisa dilakukan seorang perempuan ketika itu, Kartini memilih pena sebagai alat perjuangan. Ia sadar betul bagaimana tulisan memiliki kekuatan yang luar biasa bagi sebuah perubahan meski butuh waktu lama untuk itu. Ia kerap tak mendapat restu sang Ayah ketika mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakatnya melalui tulisan-tulisan yang dipublikasikan.
Pram mencatat, berbagai talenta yang luar biasa pada diri gadis Kartini itu terekam dalam tulisannya: seorang pembatik, pelukis, dan penulis, disamping kegemarannya pada berbagai jenis kesenian. Akan tetapi, menjadi penulis adalah cita-cita yang telah dipilihnya. Kegemarannya membaca, ketekunannya belajar, kemahirannya berbahasa serta ketajaman intuisinya dalam memahami berbagai fenomena di sekelilingnya membawa Kartini muda pada sejumlah tulisan yang menarik, baik dalam bentuk surat, catatan harian, puisi maupun prosa, yang kemudian melambungkan namanya.
Pada usia 16 tahun, ia telah menulis sebuah karangan antropologis tentang adat perkawinan golongan Koja di Jepara, yang kemudian diterbitkan dalam Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Ned.-Indie. Keinginannya untuk berjuang melalui tulisan, terekam dalam sebuah suratnya tanggal 11 Oktober 1901 kepada Estelle, “Sebagai pengarang dapatlah aku secara besar-besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi pengangkatan derajat dan pengadaban rakyatku. Kau tahu sendiri akan kecintaanku pada sastra, bahkan menjadi satu angan-anganku untuk sekali waktu jadi sastrawan yang berarti” (Ananta-Toer, 2007).
Door Duisternis tot Licht yang diterbitkan beberapa tahun setelah wafatnya oleh Mr. J.H. Abendanon, tepatnya tahun 1911, yang kemudian diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi karya monumental yang membuat nama Kartini terus dikenang. Tidak hanya di Hindia Belanda tetapi juga di dunia internasional dengan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Inggris, Perancis, Rusia, dan Arab. Bahkan, menurut catatan Pram, tulisan Kartini itu turut menginspirasi emansipasi wanita di Syiria melalui terjemahan seorang gadis Syiria bernama Aleyech Thouk dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Arab yang mendapat antusiasme yang besar dari pembacanya.
Spirit Pembebasan
Mengingat Kartini adalah mengingat spiritnya, yakni spirit pembebasan yang selalu menjadi cita-citanya. Meski ia memiliki kehidupan yang lebih baik dari rakyat kebanyakan, ia tak sungguh-sungguh dapat menikmati kebebasan (kemerdekaan) hidupnya. Dalam tatanan feodalisme yang menjadi keprihatinan Kartini, seorang perempuan tak akan pernah merasakan kebebasan itu. Sebagai anak, ia berada dalam penguasaan ayahnya (orang tua) dan ketika dewasa ia akan berada di bawah naungan suaminya. Akan tetapi, kehidupannya yang bak dalam penjara itu justru semakin mengasah kepekaan dan ketajaman rasanya akan penderitaan rakyat di sekelilingnya.
Kini, terbentang jarak lebih dari seabad lamanya sejak pertama kali tulisan-tulisan Kartini pertama kali diterbitkan. Ini berarti sudah lebih seabad pula pemikiran-pemikirannya dibaca orang. Saat ini, tentu tantangan yang kita hadapi pun sudah jauh berbeda. Namun, sepertinya merayakan arti pembebasan seperti yang dimaknai Kartini itu masih menyisakan PR panjang. Kita masih dihadapkan pada banyak persoalan kemanusiaan: korupsi akut yang masih terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa, pembangunan yang masih timpang membuat jurang yang kaya dan miskin terus melebar dan mendalam, para TKW di luar negeri yang masih minim perlindungan hukum, peperangan di tingkat global dan lain-lain. Setiap masa memang memiliki keprihatinannya sendiri. Tepat di Hari Kartini ini, selayaknya kita merenungkan kembali apakah kebebasan dan keadilan itu hanya sebuah mimpi? Sepertinya, perjuangan masih panjang.
Selamat Hari Kartini!

Penulis adalah kandidat Ph.D di Monash University