Pada Juni 1943, digul-digul diwarnai kayu dan besi menemani para tahanan politik Indonesia dari Tanah Merah dan Tanah Tinggi di wilayah Boven Digul, Merauke, Papua ke Kamp Tawanan Perang Cowra di NSW, Australia. Gamelan ini dibawa oleh para tahanan politik sebagai simbol kelangsungan hidup mereka, perlawanan yang menantang terhadap kolonialisme.
Para tahanan politik Indonesia tersebut ditahan di kedalaman hutan di Papua oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1928 karena usaha mereka menuntut kemerdekaan. Karena letak penjara di kedalaman hutan Papua, setiap orang yang mencoba melarikan diri tidak akan bertahan hidup karena penyakit tropis yang mematikan atau sungai yang dipenuhi buaya.
Meskipun demikian, keadaan buruk ini tidak menghalangi penciptaan Gamelan Digul ini, sebuah orkestra gamelan Jawa, yang terdiri dari 19 instrumen. Gamelan ini dibuat oleh musisi dan aktivis politik kelahiran Surakarta Bapak Pontjopangrawit (1893-1965), salah satu narapidana di kamp penjara politik Tanah Merah. Pak Pontjopangrawit adalah musisi gamelan ulung di Kraton di Surakarta di bawah Sunan Paku Buwana X. Meskipun Gamelan Digul terbuat dari bahan-bahan dasar yang tersedia di kamp penjara seperti kotak kemasan kayu, kaleng sarden, dan wadah makanan logam, gamelan ini masih mampu menghasilkan suara gamelan seperti yang terdengar di Istana Kraton Surakarta. Alhasil, gamelan ini digunakan untuk menghibur penduduk penjara di Boven Digul termasuk pemimpin masa depan Indonesia, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Pada tahun 1943, otoritas Hindia Belanda memutuskan untuk memindahkan tahanan politik Indonesia mereka ke Australia, untuk mencegah para tahanan politik berkolaborasi dengan Jepang untuk menciptakan Indonesia Merdeka. Sekitar 500 tahanan termasuk wanita dan anak-anak dibawa oleh pesawat Catalina dari Boven Digul ke Pulau Horn di Selat Torres. Kemudian, para tahanan diangkut kapal ke Mackay dan Brisbane di Queensland. Kelompok ‘alien hutan aneh’ ini tiba pada tanggal 25 Juni 1943 di stasiun kereta api Cowra.
Sebelumnya di Queensland, para tahanan diberi beberapa pakaian dan perlengkapan tawanan perang, sebelum diangkut dengan kereta api ke Sydney. Akibatnya, sebagian besar tahanan yang masih mengenakan sarung tropis dan kemeja katun terkena cuaca musim dingin yang pahit di pedalaman Australia selatan. Selama enam bulan, tiga belas dari mereka meninggal karena pneumonia dan campak Jerman, termasuk empat anak kecil dan seorang bayi.
Selama perjalanan kereta api mereka ke Cowra, salah satu tahanan berhasil memperingatkan seorang karyawan kereta api Sydney bahwa mereka adalah tahanan politik Belanda. Karyawan kereta api ini membawa catatan itu ke serikat pekerjanya. Selanjutnya, Serikat Pekerja bersama dengan Ibu Laura Gapp dari Asosiasi Australia Indonesia menghubungi Menteri Luar Negeri Australia Herbert Evatt. Pemerintah Australia kemudian menyadari bahwa Digulist bukanlah tawanan perang; mereka pun memaksa Belanda untuk membebaskan tahanan politik Indonesia dengan alasan negara yang bebas bukanlah tindak kejahatan di bawah Hukum Australia. Faktanya, pemindahan tahanan politik Belanda ini ke Australia menjadi kesalahan besar bagi Belanda, karena para Digulist mampu membujuk Serikat Maritim Australia dan akhirnya Pemerintah Australia untuk mendukung tujuan mereka.
Setelah dibebaskan dari Cowra, para Digulist bekerja sama dengan pekerja tepi laut Australia untuk mendukung kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Digulist lainnya mendapatkan pekerjaan di NIGIS, Kantor Informasi Belanda di Melbourne. Meski tinggal di negara yang berbeda Digulist, tidak kehilangan semangat mereka untuk Indonesia Merdeka.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta. Ini adalah berita yang ditunggu-tunggu oleh para aktivis Digul. Mereka segera bertindak untuk mendukung Proklamasi Kemerdekaan negara mereka. Serikat Australia datang untuk mendukung mereka, memberikan Piagam Atlantik 1942, memberikan jaminan kemerdekaan bagi negara mana pun yang ingin merdeka.
Pada tahun 1946, Serikat Maritim Australia bersama dengan pelaut Indonesia, Cina, dan India memberlakukan larangan kapal Belanda di Pelabuhan Australia. Kapal-kapal ini akan membawa kembali Angkatan militer Belanda KNIL untuk menjajah kembali Indonesia. Sutradara film Belanda Joris Ivens memfilmkan larangan pengiriman ini di pelabuhan Sydney dalam film dokumenter Indonesia Calling. Salah satu adegan tari dalam film menampilkan Gamelan Digul yang ditutupi kain putih dan digunakan untuk menemani dua penari Jawa. Salah satu penari adalah Sardjono, salah satu pemimpin dalam gerakan Kemerdekaan 1928. Ini adalah satu-satunya catatan gamelan yang beroperasi sebelum beberapa instrumen hilang.
Menyusul pengumuman kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 semua orang Indonesia dikembalikan ke Indonesia untuk mematuhi Kebijakan Imigrasi Australia saat itu. Gamelan Digul pun disumbangkan ke Museum Victoria pada tahun 1946 dan kemudian datang ke Monash University pada tahun 1977.
Gamelan Digul, yang dibawa ke Australia oleh tahanan politik Indonesia, menjadi saksi bisu dukungan Australia untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun Gamelan dibuat menggunakan peralatan kasar dari kayu dan wadah makanan logam, Gamelan tetap menghidupkan semangat tahanan politik yang menginginkan kemerdekaan atau merdeka dari kolonialisme Belanda. Bersama dengan para tahanan politik, Gamelan Digul melambangkan semangat Indonesia yang merdeka.
Teks: Anthony Liem
Foto: Berbagai sumber