Radio kerap dianggap sebagai “masa lalu”. Namun benarkah demikian?
Tidak bisa dipungkiri, radio memainkan peranan penting di sejarah manusia, seperti misalnya dalam perang dunia. Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, munculnya televisi kemudian lahirnya internet membuat posisi radio kian terdesak.
Seolah menepis stigma “masa lalu” itu, UNESCO sebagai badan yang pertama kali mencetuskan ide World Radio Day, mengusung tema “New World, New Radio” sebagai tema utama dalam perayaan Hari Radio Sedunia yang jatuh pada 13 Februari nanti. Sejak ditetapkannya perayaan ini tahun 2011 silam oleh Majelis Dewan PBB, World Radio Day resmi genap berusia satu dekade. Kendati demikian, radio telah menemani pergantian masa selama lebih dari satu abad.
Perayaan Hari Radio Sedunia sendiri memiliki tema yang berbeda-beda setiap tahunnya. Seperti misalnya pada tahun 2014, dimana World Radio Day mengambil tema “Kesetaraan Gender” dan Pemberdayaan Perempuan di Radio, dan tahun berikutnya yang mengangkat tema “Muda dan Radio”. Sedangkan pada 2016, tema “Peran Radio dalam Keadaan Darurat dan Bencana” diusung. Begitupula dengan tahun-tahun berikutnya dengan tema baru berserta urgensinya masing-masing.
Pada ulang tahun spesial yang ke-10 ini, UNESCO memutuskan untuk mengambil tema “New World, New Radio”. Bukan tanpa alasan tema ini dicetuskan menjadi tajuk utama. Dilansir dari laman https://en.unesco.org/, tema ini dipilih atas dasar mengingat kembali bagaimana radio sebagai bagian dari sejarah kemanusiaan dimana radio mengikuti dan mengadaptasi layanannya dengan berbagai perkembangan di masyarakat. Menyusul dengan adanya pandemi COVID-19, radio memainkan peran salah satunya untuk melawan misinformasi.
“As the world changes, so does radio.”
Kata Mereka tentang Radio
Tidak lengkap rasanya membahas radio tanpa praktisi yang berkecimpung di bidang ini. Karena itu OZIP berkesempatan mewawancarai beberapa penyiar dan mantan penyiar radio dari berbagai tempat dan latar belakang, baik di Melbourne maupun di Indonesia. Mereka adalah Dessy, alumni Monash University sekaligus seorang mantan volunteer di Radio Kita Melbourne, Dinda, penyiar di Radio CNL Lombok dengan 4 tahun pengalaman; Ilham, penyiar aktif di radio kampus Universitas Hamzanwadi, Lombok; dan Weni, mantan penyiar radio kampus Universitas Negeri Padang, SIGMA FM.
Bagaimana kalian memandang radio?
Dessy: Radio itu klasik dan seru banget sebetulnya! Terus keren karena bisa dijangkau di daerah-daerah yang jauh.
Ilham: Radio buat saya (adalah) media hiburan paling simple, murah meriah, dan cukup membuat bahagia para pendengarnya.
Dinda: Selain sebagai tempat memutar musik dan penyalur informasi, radio (secara tidak langsung) menggambarkan diri pendengar dari tipe radio yang mereka dengar.
Weni: Radio sampai sekarang ini masih mempunyai posisi yang khusus di masyarakat walaupun sudah banyak aplikasi maupun platform untuk mendengarkan musik atau sekadar mencari informasi. Radio masih tetap eksis dengan cara klasiknya sendiri.
Mengapa memilih menjadi penyiar?
Dinda: Ingin menjadi penyiar radio karena aku suka banget ngomong. Jadi aku memutuskan daripada aku ngomong sendiri, lebih baik aku salurkan menjadi seorang penyiar radio. Sebagai penyiar, bisa membagikan informasi tanpa harus fokus dengan apa yang kita pakai, kita fokus memberikan informasi dan memutar lagu. Seru banyak pengalaman. Asyik. I enjoy and having fun.
Dessy: Sebenarnya tidak sengaja jadi volunteer di radio. Karena diajak ketika jadi narasumber untuk mempromosikan suatu acara. Jadi seperti ikutan klub gitu. Sekaligus ingin coba pengalaman baru dan latihan public speaking. Ternyata seru!
Ilham: Berangkat dari hobi cuap-cuap/ngoceh, inilah pondasi utamanya. Niat pribadi semata-mata untuk menghibur orang banyak yang memang membutuhkan hiburan walau pun sebatas audio saja.
Weni: Karena hobi dan suka aja. Sekadar mengasah bakat terpendam jadi announcer, terus radio sendiri itu juga adalah tempat belajar. Kita sekalian belajar jadi jurnalis, belajar olah vokal dan MC juga. (Selain itu) update pengetahuan dan menambah relasi. Terkadang juga bisa menjadi penghasilan dari hobi yang dibayar.
Bagaimana kalian melihat peluang radio untuk bertahan di era sekarang?
Weni: Iya memang agak sulit (bertahan) di era sekarang dan butuh ekstra tenaga karena harus bersaing juga dengan teknologi canggih dan sosial media. Tapi masih bisa bertahan dengan inovasi dan kreativitas atau disesuaikan dengan kebutuhan pendengar. Kebanyakan orang-orang juga butuh mendengarkan radio karena bisa komunikasi dua arah juga. Adanya interaksi langsung dengan pendengar ini yang membuatnya berbeda dari yang lainnya.
Ilham: Sekarang app radio sudah ada di platform android, artinya radio menolak punah dan (masih) menunjukkan eksistensinya hingga hari ini. Radio ke depannya tidak menutup kemungkinan akan mengikuti perkembangan teknologi, bahkan beberapa radio sudah mulai berinovasi dengan mengusung konsep live streaming.
Dessy: Peluangnya mungkin agak susah karena internet semakin mudah diakses, lalu sekarang YouTube dan podcast juga semakin nge-trend. Tapi aku yakin masih ada orang yang senang mendengarkan radio.
Dinda: Aku pun pribadi tidak pernah tiap hari mendengarkan radio pada awalnya. Handphone aku tidak ada aplikasi radio. Dan ternyata waktu aku masuk di radio, aku baru sadar ternyata masih banyak orang yang mendengarkan radio. Padahal menurut aku, sekarang memutar lagu tinggal setel YouTube atau Spotify dan Joox. Untuk mencari informasi tinggal Google. Tapi ternyata masih banyak orang yang mendengarkan radio, banyak peminatnya. Pun di era sekarang. Sampai saat ini, radio masih bisa bertahan dan masih ada pecinta dan penikmatnya.
Lalu bagaimana arti radio bagi sobat pembaca sekalian? Apakah sobat OZIP sudah siap bernostalgia dengan menyalakan radio atau pun aplikasi radio di gawai kalian di hari radio nanti? Semoga radio tetap eksis menemani perjalanan sejarah manusia sampai nanti. Selamat Hari Radio Sedunia untuk semua penikmat radio di mana pun berada.
Teks: Mutia Putri
Foto: Dokumentasi pribadi dan berbagai sumber