Dibesarkan dari keluarga pecinta seni, Ningsih Millane mempu- nyai darah dan semangat berkesenian yang tinggi sedari kecil. Fasih dalam menari, menyanyi, dan senang mengajar, meng- antarkan Ningsih membesarkan nama Sanggar Lestari di Melbourne, Victoria.
Dibentuk sejak lebih dari 20 tahun yang lalu, Sanggar Lestari yang diasuh oleh Ningsih Millane ini aktif dalam memperkenalkan tarian dan budaya Indonesia di berbagai kegiatan, baik kegiatan komunitas Indonesia, maupun kegiatan warga Australia, dalam acara-acara lokal maupun internasional.
Keseriusannya dalam berkesenian akhirnya mengantarkan Ningsih untuk membentuk Sanggar Lestari. “Sejak tinggal di Australia mulai tahun 1987, tadinya saya hanya iseng mengajak mahasiswa-maha- siswa Indonesia untuk bergabung menari. Tapi kemudian saya ingin ini berkembang tidak hanya sebagai hobby, melainkan sebagai misi, yaitu untuk lebih memperkenalkan budaya dan bahasa Indonesia ke mancanegara khususnya Australia. Dari situ saya membentuk sang- gar ini”, demikian Ningsih bertutur mengenai awal sepak terjangnya sebagai pekerja seni di Australia.
Seiring perkembangannya, Sanggat Lestari tidak hanya mempunyai aktifitas tari, tetapi juga Batik, Wayang, dan juga Angklung. Ningsih aktif memperkenalkan ragam kesenian Indonesia tersebut melalui workshop di sekolah-sekolah. “Sengaja saya memperkenalkan tarian- tarian friendship yang mudah dan menyenangkan untuk diikuti oleh murid-murid sekolah. Intinya saya ingin tarian kita dikenal lebih luas, dan agar orang di luar Indonesia mulai mengerti bahwa Indonesia bukan hanya Bali. Masih banyak kekayaan budaya yang bisa diperke- nalkan mulai dari Sabang hingga Marauke”, ungkap Ningsih.
“Mempunyai Sanggar bukannya tanpa tantangan. Sampai saat ini saya masih suka prihatin melihat kenyataan bahwa, 90% anggota Sanggar adalah orang Australia. Entah kenapa anak-anak muda Indonesia sepertinya enggan belajar menari tradisional. Padahal kalau bukan dari mereka, siapa lagi yang bisa diharapkan untuk dapat membuat budaya kita kekal”, ungkap Ningsih.
Bagi Ningsih mencintai kesenian negeri sendiri adalah salah satu bentuk cinta tanah air, atau yang biasa disebut sebagai nasionalisme. Upaya Ningsih dalam menularkan kecintaannya akan budaya Indone- sia tidak hanya membutuhkan tenaga, melainkan juga materi. Ningsih sangat rajin berburu baju-baju daerah, mendatangkan alat angklung, melengkapi koleksi wayang, dan peralatan membatik secara mandiri. Kepada kedua putrinya pun Ningsih telah mengajarkan menari sejak dini, agar kelak mereka dapat meneruskan kepada keturunannya, te- man, kerabat dan lingkungannya.
“Mencintai budaya sendiri bisa dimulai dari hal kecil. Misalnya dengan respect dan memberi perhatian kepada setiap sajian seni. Apresiasi terhadap pekerja seni, walaupun hanya berupa perhatian atau tepuk tangan, adalah penyemangat yang luar biasa”, papar Ningsih.
Sekalipun begitu, Ningsih selalu optimis bahwa tarian, nyanyian, dan berbagai macam seni Indonesia sangat dikagumi di mancanegara. Dengan penuh semangat Ningsih menghimbau, “Ayo generasi muda harus lebih semangat. Boleh saja menjadi modern, asal tidak lupa akan kulitnya. Memperkenalkan budaya dan bahasa Indonesia adalah tugas mulia kita semua sebagai bangsa Indonesia. Kalau bukan dari kita, lalu siapa lagi yang akan menjaga dan mewariskan keragaman budaya kita dari generasi ke generasi”.
Raised in a family of art lovers, Ningsih Millane had the blood and passion of high art from her childhood. Fluent in dancing, sing- ing, and a love of teaching, has given Ningsih prominence to the name Sanggar Lestari (Lestari Studio) in Melbourne, Victoria.
Formed over 20 years ago, Ningsih Millane developed Lestari Studio introducing the dances and culture of Indonesia through various activities, both Indonesian community activities, as well as activities of Australians, in both local as well as international events.
This seriousness in art eventually led Ningish to form Lestari Studio. “Since I began living in Australia in 1987, I would just for fun invite Indonesian students to join me in dancing. But later I wanted this to be not just a hobby, but rather as a mission, to introduce Indonesian language and culture to foreigners, particularly Australians. From there I formed this studio,” said Ningsih about her early exploits as an art worker in Australia.
As it grows, Lestari Studio will not only have dance activities, but also Batik, Wayang (shadow puppets) and Angklung (traditional bamboo instrument). Ningsih has actively introduced a variety of Indonesian arts through workshops in schools. “I intentionally introduced a va- riety of friendship dances that are easy and fun for school students to follow. The point is I want our dances to be more widely known, and so that people outside Indonesia begin to understand Indonesia is not only Bali. There are still many cultural treasurers that can be introduced from Sabang to Marauke,” said Ningsih.
“Having a Studio is not without its challenges. Until now I am still concerned by the fact that 90% of studio members are Australians. Somehow it seems young children in Indonesia are reluctant to learn (our) traditional dances. However, if it isn’t them, who else could be expected to make our culture eternal,” said Ningsih.
For Ningsih the love of art of our own country is one form of show- ing our love for the nation, or commonly referred to as nationalism. Ningsih’s effort in transferring her love of Indonesian culture does not only require energy, but also the material. Ningsih is very diligent in finding clothes from different regions, acquiring angklung instru- ments, getting a complete collection of wayang (puppets) and the materials to make her own batik. Ningsih has taught her two daugh- ters dance from an early age, so that later they can pass it down to their children, friends, relatives and those around them.
“The love of culture itself can start from small things. For example, in respecting and paying attention to different forms of art. Apprecia- tion of art workers, although only in the form of attention or applause, is incredible encouragement,” Ningsih said.
Nevertheless, Ningsih is always optimistic that dancing, singing and a wide variety of other Indonesian arts are greatly admired by foreign- ers. Ningsih vigorously urges, “C’mon young people, show your passion. It’s ok to be modern, just don’t forget where you come from. Introducing Indonesian language and culture is a noble task for us
all the nation of Indonesia. If not from us, then who else will maintain and pass on our cultural diversity from generation to generation.”