Forum Aktual Kekerabatan Tionghoa di Australia (FAKTA) membuka ruang dialog dengan sebuah seminar bertempat di Tosaria Restaurant Rowville pada hari Minggu (25/8/2024). Dikepalai oleh Siauw Tiong Djin dan Suhana Lim, seminar ini merupakan acara perdana FAKTA dan diselenggarakan untuk memperingati dengan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-79.
Adapun seminar ini bersifat terbuka bagi umum dan dihadiri oleh sejumlah tokoh diaspora Indonesia di Melbourne. Tidak hanya untuk seminar ini, tapi Bapak Tiong Djin juga berniat untuk mempertahankan sifat keterbukaan ini untuk acara selanjutnya. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan peran warga Tionghoa dalam sejarah Indonesia.
“Dari segi perspektif sejarah itu banyak sekali yang berhubungan dengan Tionghoa. Dari segi sejarah, dari segi keterlibatan dalam perang kemerdekaan, dari segi dunia pers, dalam dunia literatur; banyak bahasa Indonesia berkembang sedemikian besar karena komunitas Tionghoa,” jelas Bapak Tiong Djin, yang kerap disapa koh Djin.
Seiring dengan tujuan tersebut, topik seminar kali ini adalah peran warga Tionghoa dalam sejarah Indonesia termasuk dalam perjuangan kemerdekaan. Tidak hanya itu, pemaparan Pak Tiong Djin juga membahas mengenai sejarah diskriminasi dan rasisme terhadap warga Tionghoa di Indonesia seperti asal-usul istilah ‘warga pribumi’, sejarah politik asimilasi di Indonesia tahun 1950-an yang mendapat perlawanan dari tokoh politik Tionghoa, dan pembentukan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang memperjuangkan hak warga Tionghoa.
Meskipun demikian, pembicaraan dalam seminar juga membahas topik-topik lain yang seperti suasana politik Indonesia terkini dan generational trauma warga Tionghoa. Peristiwa kelam dalam benak warga Tionghoa seperti G30S/PKI, insiden Malari tahun 1974, dan Kerusuhan Mei 1998 tidak luput dari pembahasan.
Selain Bapak Tiong Djin, seminar ini juga mengundang Ismail Fahmi selaku kandidat PhD Monash University dalam bidang Media and Journalism serta Victoria Winata selaku mahasiswi Indonesian Studies University of Melbourne sebagai pembicara. Kedua berbagi pengalaman terkait sejarah warga Tionghoa di Indonesia, terutama mengenai 1998. Meskipun demikian, Victoria yang lahir setelah tahun 1998 lebih berfokus pada dampak peristiwa tersebut terhadap keluarganya yang menurun pada dirinya. Sementara itu, Ismail membahas ketakutan yang ada pada waktu itu meskipun dirinya tidak sedang berada dalam daerah rawan.
Namun terlepas dari pengalaman tersebut, Ismail mendorong untuk meruntuhkan ketakutan yang yang ada dalam komunitas Tionghoa maupun non-Tionghoa. Sementara itu, Victoria menutup pembicaraannya dengan mengimbau hadirin untuk terbuka, belajar, dan menghargahi keberagaman tidak hanya dari segi etnis, tapi juga dari segi usia dan generasi.
Di samping fokus acara perdana FAKTA terhadap sejarah warga Tionghoa di Indonesia, seminar juga tidak menghindar dari isu terkini dalam Indonesia, seperti misalnya gerakan massal di Indonesia menentang RUU Pilkada. Hal ini tercermin dari penyampaian sajak mengenai kebangkitan civil society di Indonesia dari Presiden Indonesia Diaspora Network (IDN) Victoria Diana Pratiwi, serta diskusi seru dalam seminar membahas topik tersebut.
FAKTA sendiri didirikan dengan tujuan menghimpun diaspora Tionghoa Indonesia terlepas dari latar belakang baik itu agama maupun daerah asal di Indonesia. Dengan didirikannya komunitas ini, FAKTA berharap dapat menjadi wadah dialog bagi warga Tionghoa Indonesia dalam berbagai bidang seperti kebudayaan, kuliner, sejarah, bisnis (lowongan maupun mitra kerja), dan lain-lain. Selain itu, nilai aktual juga diperjuangkan oleh FAKTA, dengan tujuan agar komunitas ini menjadi wadah yang berguna bagi diaspora Tionghoa Indonesia baik di Australia maupun di Indonesia.
Salah satu pendorong dibalik didirikannya FAKTA adalah kurangnya kekompakan antara komunitas diaspora Tionghoa dengan komunitas diaspora Indonesia lain, atau bahkan dengan sesama diaspora Tionghoa sendiri. Hal ini disampaikan oleh Bapak Suhana Lim selaku pendiri FAKTA dan juga komunitas Tionghoa Indonesia bernama WISE (Wise, Integrity, Smart, Education).
“Kebanyakan wadahnya itu adalah dilandasi oleh—biasanya—agama. Jadi kumpul karena kesamaan agama, atau kesamaan asal daerah,” jelas Bapak Suhana. “Nah, kita mencoba menawarkan sebuah, istilah kasarnya, food court atau all you can eat. Kita siapkan satu lahannya, jadi kita jangan lagi tersekat-sekat oleh agama atau asal daerah. Kita lihat sebagai sebuah kekerabatan dimana Tionghoa ya, Tionghoa. Tionghoa asal Indonesia ya, Indonesia.”
Sementara itu, koh Djin juga menyuarakan pesan aktualitas terhadap warga Tionghoa. “Kita sebagai Tionghoa baik di Indonesia maupun Australia sebaiknya tidak takut berpolitik dan berpartisipasi dalam mencapai perubahan dan perbaikan.”
Teks dan foto: Jason Ngagianto