Zannuba Ariffah Chafsoh adalah nama aslinya. Namun, perempuan kelahiran 29 Oktober 1974 ini lebih akrab disapa dengan nama Yenni Wahid. Putri kedua Presiden Republik Indonesia ke empat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan istrinya, Sinta Nuriyah Wahid ini dikenal sebagai politisi sekaligus aktivis. Ibarat buah jatuh tak jauh dari pohon, aktivitas dan pola pikir Yenny serupa dengan semangat yang selalu digelorakan oleh ayahnya: mengedepankan Islam yang moderat, menghargai keberagaman, dan mempromosikan perdamaian.
Sebelum dikenal sebagai politisi dan aktivis perdamaian, Yenny sempat menjadi jurnalis. Pada tahun 1997-1999, ia menjadi koresponden untuk Fairfax Media, perusahaan yang menerbitkan media The Sydney Morning Herald dan The Age di Australia. Liputan-liputan yang ia lakukan semasa menjadi jurnalis berfokus pada topik-topik tentang Timor Timur dan Aceh. Tulisan tentang Timor Timur pasca-referendum yang ia kerjakan bersama timnya bahkan diganjar penghargaan Walkley Award, sebuah ajang penghargaan bergengsi untuk pekerja jurnalistik di Australia.
Awal Juli lalu, Yenny datang ke Melbourne sebagai narasumber acara talkshow “Catatan Najwa”. Acara yang diselenggarakan atas kerja sama komunitas Awardee LPDP Monash University dan Indonesian Diaspora Network (IDN) itu mengangkat tema “Merawat Indonesia”. Tema ini dibahas sebagai bentuk kegelisahan masyarakat Indonesia atas runcingnya keterbelahan sosial-politik yang saat ini terjadi pada bangsa kita.
Politik dan Polarisasi Bangsa
Menanggapi polarisasi yang terjadi akibat praktik politik dewasa ini, Yenny menyatakan keprihatinannya. “Tidak ada lagi ruang untuk ‘kita’, kini yang ada hanya ‘aku’ dan ‘dia’,” ujarnya saat diwawancara OZIP usai talkshow. Karena itu, menurut Yenny, sekarang saatnya kita kembali mencari persamaan sebangsa dan senegara agar kita dapat kembali bersama sebagai sebuah masyarakat yang rukun dengan sesama.
Yenny menuturkan bahwa dulu ketika Indonesia tengah di bawah penjajahan bangsa asing, tidak sulit menemukan persamaan dalam derita dan kesulitan hidup bersama. Persamaan inilah yang kemudian membuat rakyat Indonesia bersatu melawan penjajah dan akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan. “Namun, setelah kita merdeka, persamaan itu rasanya semakin sulit ditemukan. Masyarakat pun terbagi satu sama lain berdasarkan paham politik, suku, dan agama yang berbeda,” ujar ibu dua anak ini. Padahal, bagi Yenny, perbedaan sebenarnya tidak harus menjadi sebuah faktor yang menghambat terwujudnya kehidupan yang rukun dan damai.
Menyikapi Polarisasi
Yenny menjelaskan beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk setidaknya menyikapi keterpecahbelahan yang ada. Pertama, sebagai individu kita harus dapat turut menciptakan narasi yang menunjukkan adanya keharmonisan dan kerukunan hidup bersama tanpa memandang posisi politik, ras maupun agama kita. “Di masyarakat, masih banyak cerita-cerita kebersamaan hidup yang belum diceritakan di layar TV. Cerita inilah yang perlu lebih dipaparkan kepada masyarakat agar dapat menciptakan kerukunan hidup bersama,” kata penerima penghargaan Young Global Leader (2009) dari World Economic Forum ini.
Kedua, sebagai anggota masyarakat, kita bisa membantu mendukung komunitas agar tetap tumbuh dan berkembang. Kelompok grassroot yang banyak tersebar baik di tingkat desa maupun kota dapat menggerakkan masyarakat dari berbagai belahan desa dan kota untuk bersama merekatkan masyarakat. Selain itu, pendekatan secara ekonomi maupun pelatihan untuk melakukan toleransi juga dapat dilakukan. “Dengan kerja-kerja yang sifatnya langsung seperti ini, dampak pun langsung terasa,” kata Yenny.
Peran Anak Muda
Polarisasi yang kita rasakan saat ini begitu nyata terlihat melalui media sosial. Harus diakui bahwa sentimen-sentimen laten yang dulu tersimpan dalam masyarakat semakin jelas terdengar ketika orang-orang memiliki platform untuk berekspresi dan bersuara. Menanggapi hal ini, menurut Yenny ada yang sebenarnya bisa kita lakukan agar freedom of speech di Indonesia tetap terjaga namun tidak sampai menginjak-injak kemanusiaan orang lain, yaitu dengan mengoptimalkan peran anak muda.
“Anak muda harus dapat melakukan intervensi aktif bila mereka melihat adanya polarisasi dan hate speech yang beredar di media sosial. Mereka harus dapat bersama-sama mencari solusi untuk menjaga kedamaian dan kerukunan bermasyarakat,” jelasnya.
Satu hal yang pasti, kata Yenny, kita tidak boleh lagi bersikap diam. Anak-anak muda Indonesia perlu didorong untuk mencari solusi aktif dalam menjembatani dialog kebersamaan di dalam masyarakat. Anak muda harus ikut aktif menangkal hoax dan fake news, mencari jalan keluar menanggapi kesenjangan ekonomi dan membantu masyarakat lain yang gagap teknologi. “Ingat bahwa lebih dari 40% penduduk Indonesia adalah kaum muda dan kita sangat berharap banyak kepada kalangan muda Indonesia,” pesannya.
Teks: Pratiwi Utami
Foto: Windu Kuntoro