The Story Behind International Women’s Day

Local activist group making a difference for women

Kenapa kita butuh International Women’s Day?

 

–       History

Sebelum ditetapkan adanya International Women’s Day, organisasi kemanusiaan dunia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations, mendeklarasikan 1975 sebagai International Women’s Year.

Dalam sejarah kontemporer, tentunya kita tahu bahwa akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an menjadi titik balik pengakuan hak-hak dan persamaan wanita untuk urusan publik dalam skala nasional dan internasional.

International Women’s Year adalah tindak lanjut sekaligus sebagai momentum untuk memastikan bahwa pengakuan hak-hak dan persamaan wanita untuk urusan publik tersebut bisa terus terjaga dan berlangsung.

Apa saja yang terjadi di tahun 1975 tersebut?

19 June 1975. United Nations World Conference of the International Women’s Year, Mexico City
19 June 1975. United Nations World Conference of the International Women’s Year, Mexico City

Di Mexico City tepatnya tanggal 19 Juni – 2 Juli, digelar Konferensi Dunia untuk Wanita (the World Conference on Women) yang pertama di dunia. Konferensi ini dihadari oleh ribuan delegasi, termasuk diantaranya Margaret Whitlam, istri Gough Whitlam yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Australia dan pemerhati hak-hak wanita Australia,  dan Elizabeth Anne Reid, staff professional PBB dari Australia.

Konferensi ini menjadi titik awal Dekade Wanita dari tahun 1976 – 1985, dimana ketika kedua kalinya konferensi ini diadakan, di tahun 1979, terbentuklah penulisan naskah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Lembar pedoman hak-hak wanita yang harus dijamin dengan hukum negara ini mulai dilaksanakan bulan September tahun 1981 dan sekitar 50 negara setuju untuk menandatanganinya dan meratifikasinya. Di konferensi pertama itu jugalah mulai ditetapkan 8 Maret untuk memperingati International Women’s Day secara global.

Bagaimana akhirnya bisa terpilih tanggal 8 Maret sebagai International Women’s Day? Sejarahnya perayaan hari ini sendiri sudah bisa dilacak semenjak abad-abad awal ke-20 di Amerika Utara dan Eropa. Aktivitas pergerakan buruhlah yang pertama kali menginisasikan hari ini.

Pada tahun 1909, National Woman’s Day dirayakan di AS tanggal 28 Februari. Hari ini dipilih untuk menghormati demonstrasi dan pemogokan dari pekerja pabrik garmen di AS tahun 1908, dimana para wanita memprotes kondisi kerja mereka.

Selanjutnya, pada tahun 1910, The Socialist International, lewat sebuah meeting di Kopenhagen, menetapkan perayaan Women’s Day yang dirayakan secara global. Keputusan ini dibuat untuk memberikan dukungan untuk meraih hak memilih secara politik untuk wanita di seluruh dunia.

Sebagai hasil dari inisiatif di Kopenhagen tersebut, International Women’s Day dilaksanakan pertamakalinya pada tanggal 19 Maret di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss. Demonstran wanita dan perempuan menuntut hak untuk memberikan suara dan ikut bertarung dalam pemilihan politik. Selain itu, mereka juga menyuarakan hak untuk bekerja, mendapatkan pelatihan kerja, dan dihapuskannya diskriminasi gender pada pekerjaan.

Tahun 1913 – 1914, 8 Maret lagi-lagi menjadi tanggal yang bersejarah. Wanita-wanita di Rusia turut merayakan International Women’s Day sebagai bagian dari protes mereka akan Perang Dunia I, begitu juga di tahun berikutnya, wanita-wanita lainnya di Eropa turut mengekspresikan keinginan mereka. Aksi-aksi tersebut terus berlanjut sampai tahun 1917 di Rusia, dimana 4 hari setelah para wanita berdemonstrasi, Tsar Rusia diturunkan dan Pemerintah sementara saat itu memberikan para wanita hak untuk memilih suara.

Local activist group making a difference for women
Local activist group making a difference for women

Sejak saat itulah, dukungan untuk perayaan International Women’s Day terus meluas secara global. Tanggal 8 Maret ini sering dijadikan tanggal patokan untuk melakukan aksi-aksi menyuarakan hak-hak wanita, menginspirasi perubahan pada situasi yang kurang menguntungkan untuk wanita, dan memanggil kaum wanita untuk berpartisipasi dan berjuang untuk haknya dalam arena politik dan ekonomi, dua arena yang biasanya dikuasai oleh kaum laki-laki. Hari ini juga biasanya diramaikan dengan munculnya kisah-kisah dan profil wanita-wanita biasa yang telah melakukan hal-hal luar biasa dalam sejarah komunitas dan negara mereka.

Kesimpulannya, International Women’s Day dibutuhkan untuk mengingatkan dunia bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan untuk memastikan bahwa hak-hak wanita akan terjamin di kancah politik dan ekonomi.

–       Themes

Tahun ini, PBB memperingati hari ini dengan tema “Equality for women, progress for all.” Dengan membicarakan bagaimana persamaan untuk wanita bisa lebih ditingkatkan, maka hal itu akan mendorong kepada kemajuan semua pihak, bukan hanya untuk wanita.

Tahun 2013, PBB memperingatinya dengan tema “A promise is a promise: Time for action to end violence against women”. Menggunakan tema ini, maka International Women’s Day ingin lebih mendorong lagi komitmen komunitas internasional untuk mengakhiri berbagai kekerasan terhadap wanita. Maka mereka yang telah menandatangani perjanjian CEDAW harus menunjukkan langkah-langkah yang sudah atau akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Bagaimana dengan di Australia tahun ini? Apakah ada event-event tertentu untuk hari tersebut? Di semua state di Australia, Australian National Committee for UN Women mengadakan breakfast event, fundraising, serta Melbourne Women’s Expo, Girls Only Festival – yang terakhir ini akan diadakan 15 Maret ini di Royal Exhibition Garden, Carlton, Victoria.

Australia pun mempunyai tema sendiri untuk tahun 2014. Dengan berfokus pada peran ekonomi wanita, perayaan International Women’s Day in 2014 di Australia mempunyai tema “Ending Poverty for Women and Girls through Economic Empowerment”.

Berangkat dari keprihatinan bahwa 70 % dari kaum miskin secara global adalah wanita, dan walaupun mereka melakukan 2/3 pekerjaan dunia ini, mereka menghasilkan kurang dari 10 % total gaji di seluruh dunia. Wanita akan jauh lebih mungkin daripada lelaki untuk hidup dalam kemiskinan karena diskriminasi dan kurangnya akses pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan keuangan. Melalui program-program UN Women, wanita-wanita di seluruh dunia bisa mengakses pendidikan, pelatihan, dan mempunyai pekerjaan yang berbayar. Mengamankan akses wanita untuk tinggal di satu tempat berarti memberikan sumber makanan yang stabil dan kekuatan untuk keluar dari siklus kemiskinan. Wanita dan perempuan yang mempunyai akses sama untuk pendidikan dan pekerjaan akan menciptakan ekonomi nasional yang lebih sejahtera dan masa depan yang lebih baik untuk semuanya.

4a277a20578ff956d393-09103f66dfecb6b1-ff456c3f37512b71

Untuk melakukan hal ini, UN Women mensponsori puluhan wanita dari Kepulauan Pasifik untuk belajar di India dan menjadi seorang insinyur. Yang tadinya seorang nenek buta huruf yang miskin dari Fiji, bisa mendapatkan penghasilan sebagai seorang pemasang panel solar dan lampu, menjadi jalan sebagai pembawa listrik ke kampungnya untuk pertama kalinya.  Kalau pembaca OZIP ada yang tertarik ingin mendonasikan pendapatannya untuk mendukung UN Women, silakan cek programnya di: http://www.mycause.com.au/events/endthecycleofpoverty

–       Reshma Saujani – Girls Who Code Founder, An Icon for Women Empowerment

reshma-saujani-fb2Reshma Saujani bukanlah seorang icon resmi yang disebutkan oleh UN Women sebagai ikon pemberdayaan wanita. Namun, untuk seorang wanita muda modern, sosoknya sangat mampu memberikan inspirasi aksi-aksi pemberdayaan perempuan.

Wanita yang berdomisili di New York dan berasal dari etnis Gujarati ini bekerja sebagai pengacara. Setelah sekian lama berkecimpung di dunia politik sebagai aktivis kampanye dan pengumpulan dana Partai Demokrat, ia mengikuti pertarungan sebagai perwakilan anggota Kongres dari kota New York dan kalah. Kekalahannya justru menuntunnya ke beberapa pencapaian-pencapaian yang membuatnya lebih luas dikenal orang.

Ia menulis buku Women Who Don’t Wait in Line: Break the Mold, Lead the Way. Ia menulis bahwa ketakutan wanita terhadap risiko dan kegagalanlah yang sebenarnya membuat wanita tidak bisa lebih mendapatkan kekuatan di arena politik dan ekonomi. Akibatnya, sedikit sekali wanita yang bisa berkembang pesat menduduki puncak kepemimpinan. Di buku itu ia mewawancarai beberapa wanita lainnya, antara lainnya Susan Lyne, Randi Zuckerberg, Mika Brzezinski, dan Anne-Marie Slaughter, yang semuanya sudah pernah menghadapi tantangan dalam kehidupan pribadi dan professional mereka, serta cara mereka untuk menyikapinya.

Mengisahkan pengalamannya saat bertarung di tingkat Kongres, ia mengaku mendapatkan banyak komentar bahwa seharusnya ia tidak langsung bertanding di tingkat Kongres melainkan mencoba dulu di tingkat yang lebih rendah atau lebih lokal.

 

“Saya pikir kita tidak akan mengatakan hal-hal seperti itu kepada kaum pria. Saya pikir jika kita benar-benar ingin membuat gebrakan, kita benar-benar ingin mengubah angka yang sangat kecil untuk wanita dalam posisi kepemimpinan, kita benar-benar harus mengatakan kepada wanita untuk mengambil lebih banyak resiko, bukannya lebih sedikit, dan untuk mereka lebih bisa menghadapi kegagalan,” ujarnya.

 

Selain buku tersebut, ia juga menelurkan inisiatif Girls Who Code, organisasi nirlaba yang bertujuan mengajarkan kepada anak-anak wanita seusia SMA keahlian-keahlian programming untuk memberikan mereka kesempatan pekerjaan di dunia teknologi yang semakin berkembang.  Mereka diajarkan dasar-dasar Ruby, HTML, Java, dan membuat proyek-proyek praktis yang memberikan kontribusi untuk masalah riil yang ada di sekitar mereka.

“Pertarungan politik untuk Kongres menunjukkan saya bahwa ada perbedaan akses teknologi yang begitu besar di kota ini. Distrik saya mempunyai beberapa high school paling kaya dan paling miskin di Amerika. Saya juga harus mengajarkan beberapa remaja yang miskin bagaimana harus menggunakan mouse komputer.”

Ia percaya bahwa teknologi bisa menjadi kunci memberantas kemiskinan dan memberikan transformasi kepada kondisi ekonomi kota New York. “Kita punya 1.4 juta pekerjaan di bidang yang berkaitan dengan komputer, dan 300,000 lowongan pekerjaan yang ada di negara bagian ini dan kita tidak mempunyai cukup kandidat untuk mengisinya,” ujarnya. Lewat Girls Who Code, ia berharap bisa menyeimbangkan jumlah pria dan wanita yang berkecimpung di bidang teknik dan ilmu komputer. “Ini adalah isu domestik yang paling penting di waktu kita,” ujarnya.

Masih banyak Reshma-Reshma lain di luar sana, berjuang bersama untuk memajukan sesama kaum wanita. Do you think you can do the same?