Gegap–gempita hari kemerdekaan Indonesia yang tahun ini sudah memasuki usia 75 tahun tentunya tidak lepas dari peran pemuda dalam memperjuangkan hal tersebut. Saat teks proklamasi dibacakan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presidennya Moh. Hatta, ada banyak sekali pemuda yang bebondong-bondong untuk berpartisipasi sebagai relawan guna membantu kelancaran proses sakral tersebut. Hal ini dilakukan atas dasar gelora kebangsaan, dikarenakan situasi yang masih rentan akan pecahnya konflik serta keinginan mempertahankan kemerdekaan agar tidak direbut Belanda atau sekutu pasca kekalahan Jepang. Selain itu, peristiwa yang cukup fenomenal dan tercatat dalam sejarah adalah peristiwa Rengasdengklok yang dilatarbelakangi adanya perbedaan pendapat anatara golongan tua dan golongan muda.
Kala itu beberapa golongan tua seperti Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebarjo memikirkan bahwa pembacaan proklamasi Indonesia hendaknya tetap mengikuti protokol PPPKI yang sudah disetujui bersama agar tidak memancing konflik dengan Jepang. Namun di lain pihak, golongan muda yang saat itu terdiri dari Sutan Syahrir, Wikana, Chaerul Saleh dan Darwis berpendapat sebaliknya. Para pemuda menginginkan agar proses proklamasi dilakukan dengan segera agar tidak dipengaruhi oleh pihak–pihak yang tidak ingin Indonesia segera berdaulat. Saat itu, bahkan Sutan Syahrir yang kemudian mendesak Soekarno maupun Hatta untuk segera membacakan naskah proklamasi.
Meskipun terkesan tergesa–gesa dalam proses pelaksanan kemerdekaan, namun dari hal ini kita dapat melihat peran pemuda–pemuda tersebut dalam berpikir jauh ke depan dan mampu memanfaatkan sebuah momentum. Saat terjadi kekosongan kekuasan, merupakan waktu emas bagi Indonesia untuk meraih hal yang sudah lama diidam–idamkan yakni merdeka dari penjajah. Jika saat itu para golongan muda tidak bersikap visioner dan oportunis, bisa jadi kita akan semakin sulit untuk melangsukan proklamasi kemerdekaan.
Sebenarnya jika melihat dari rekam sejarah, semangat para pemuda dalam memperjuangkan hak–hak kemerdekaan ini dimulai dari masa ketika penjajah dari negeri Hindia Belanda mulai bersikap semena–mena terhadap rakyat Indonesia. Awalnya memang persatuan pemuda ini terpecah–pecah koalisinya, namun pada sekitar abad ke-20 kemudian, lahirlah organisasi seperti Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatra, dan sebagainya dan lebih terkoordinasi apalagi setelah pelaksanaa kongres Sumpah Pemuda pada 27-28 Oktober 1928.
Lalu apa relevansinya di masa sekarang? Ada banyak sekali persatuan pelajar, komunitas pemuda atau bahkan organisasi mahasiswa yang mewadahi berbagai minat dari setiap individu untuk berkarya. Semangat perjuangan dari pendahulu kita bisa terus dilanjutkan dengan terus meningkatkan partisipasi aktif. Ketika kita ingin menciptakan sebuah perubahan ada baiknya bergerak bersama dan saling membantu. Tentunya, hal ini juga bisa dilakukan dengan bergerak secara masif serta terkoordinir sehingga bisa lebih banyak menjawab aspirasi khalayak ramai dalam hal kebaikan.
Penulis: Destari Puspa Pertiwi
Foto: Berbagai sumber