Social Researcher Forum: Menajamkan Akal dan Merawat Mental Para Peneliti Ilmu Sosial

Usai forum diskusi di Deakin University

Menjalani kehidupan di lingkungan akademia bisa dibilang menyenangkan, terutama jika yang dikerjakan adalah sesuatu yang memang menjadi minat. Seseorang akan melakukan penelitian, aktivitas pengajaran, dan sebagainya, dengan penuh kesenangan dan kepuasan. Namun, menjadi akademisi juga banyak tekanannya. Tekanan itu membesar ketika dijalani oleh seorang mahasiswa internasional di negeri lain dengan budaya dan standar akademik jauh berbeda. Belum lagi segala drama yang dihadapi berkaitan dengan supervisor, beasiswa, kendala dalam proyek riset, dan sebagainya. Di satu titik, akademisi ini memerlukan sebuah komunitas yang bisa menjadi salah satu support system bagi mahasiswa doktoral.

Kiri ke kanan : Ahmad Junaidi, Ade Dwi Utami, Dery Tria Agustin

Berangkat dari alasan itulah, Social Researcher Forum (SRF) dibentuk. Tahun 2013,

Edi Dwi Riyanto (PhD di bidang Indonesian music, localities in global contexts, remix, cultural fusions) dan Novi Rahayu Restuningrum (PhD di bidang second language acquisition, bilingualism, language, culture and identity) membentuk SRF untuk pertama kali. Sejak terbentuk, SRF telah beberapa kali berganti kepengurusan. Saat ini, penggerak SRF adalah Ade Dwi Utami, Dery Tria Agustin, dan Ahmad Junaidi – ketiganya kebetulan sama-sama mahasiswa PhD di Faculty of Education, Monash University.

“Saat membentuk SRF, Pak Edi dan Mbak Novi merasa memerlukan wadah bagi para mahasiswa PhD di Monash University,” ujar Dery. Secara umum, jelasnya, mahasiswa PhD itu bekerja secara soliter, mereka tidak punya teman sebanyak mahasiswa Master, namun tekanannya seringkali jauh lebih besar baik secara fisik, akademik, maupun mental. “Karena itulah diperlukan komunitas yang bisa memberikan dukungan keilmuan sekaligus psikologis,” tambah Ahmad Junaidi alias Juned.

Di awal berdiri, komunitas SRF bersifat sangat cair. Tidak ada kegiatan resmi atau semacamnya, pertemuan pun dilakukan secara tentatif. Namun, dengan semakin banyaknya anggota – yang berbanding lurus dengan banyaknya gagasan dan aspirasi yang bertumbuh, pengurus SRF terbaru kemudian menjalankan komunitas ini secara lebih terorganisir. “Sebab, SRF punya mimpi, rencana, dan program-program. SRF memiliki potensi untuk berkembang lebih jauh lagi. Nah, salah satu yang bisa membuat hal-hal itu terwujud adalah dengan adanya organisasi yang lebih tertata,” tukas Ade Dwi Utami yang biasa dipanggil Amie.

Buka Bersama SRF tahun 2017

Hingga kini, SRF memiliki beberapa kegiatan rutin seperti pisah-sambut mahasiswa baru dan mahasiswa yang sudah lulus, rehearsal bagi mahasiswa yang akan menghadapi ujian konfirmasi, serta diskusi-diskusi informal yang hadir sebagai ajang curhat para anggotanya. “Jadi kalau anggota SRF punya masalah tertentu, setidaknya dengan sharing ke sesame mahasiswa, bebannya menjadi sedikit lebih ringan,” kata Juned.

Di samping social activities di atas, ke depannya SRF juga akan membuat kegiatan yang sifatnya mendorong performa akademik, seperti Workshop Series yang dilaksanakan tiga kali setahun dan Diskusi Keilmuan yang dilakukan setiap bulan. “Topik-topik dalam workshop akan berkaitan dengan langkah-langkah penelitian sejak memulai hingga pelaporan hasil penelitian. Ada juga workshop tentang publikasi,” terang Juned. Sementara itu, kegiatan diskusi diharapkan dapat menjadi arena bertemunya orang-orang yang memiliki irisan bidang/ilmu yang akan menggunakan ilmu mereka untuk membantu mencari solusi atas permasalahan riil yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia.

Acara farewell mahasiswa yang sudah lulus

SRF juga bergerak di bidang publikasi. Tahun 2016, komunitas ini berhasil menerbitkan buku berjudul “Berlayar: Perjalanan Mahasiswa Indonesia Meraih PhD” yang berisi tentang cerita 20 mahasiswa PhD tentang suka-duka kehidupan mahasiswa doktoral di Australia. Buku dengan tema serupa akan terbit dalam waktu dekat, dengan judul “Rollercoaster Empat Musim”. Seperti buku pertama, kali ini pun anggota SRF menulis buku ini secara “keroyokan”.

Menurut Amie, SRF hadir untuk mengisi gap yang selama ini muncul dan tidak terisi oleh kegiatan-kegiatan maupun fasilitasi dari kampus. “Selama ini, kegiatan atau forum serupa dari fakultas, jurusan, atau perpustakaan, itu terlalu umum dan kurang dalam menyentuh konteks Indonesia. Selain itu, seringkali peserta kegiatan atau workshop-nya lintas jurusan atau degree,” kata Amie. Di sinilah SRF hadir sebagai jembatan, tidak hanya soal keindonesiaannya namun juga karena forum ini mempertemukan bidang-bidang yang serumpun. “Dengan begitu, anggotanya dapat terjembatani dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan pengalaman,” tambah Dery.

Bagi Anda mahasiswa riset (baik PhD maupun Master by research) dengan penelitian yang memiliki unsur sosial, misal ada perspektif sosial dalam teorinya, jangan ragu untuk bergabung dengan komunitas SRF. Silakan kunjungi Facebook fanpage “Social Researcher Forum”. Selain itu, meski berbasis di Monash University Clayton, SRF juga terbuka bagi mahasiswa dari kampus manapun. “SRF punya anggota yang kuliah di Deakin University dan Swinburne University,” tukas Amie, “saat ini kami juga ingin mengembangkan jaringan SRF ke komunitas-komunitas serupa di universitas lain dan berharap dapat berkolaborasi dengan mereka.”

Ke depan, Amie berharap SRF dapat menjadi wadah yang benar-benar bisa memfasilitasi aspirasi anggotanya. Sebab, program-program yang ada sekarang adalah kontribusi ide dari anggota. Ia berharap jika ada anggota yang menginginkan ide tertentu, SRF dapat memfasilitasinya. Sementara, Juned berharap SRF dapat menjadi referensi di kalangan akademisi sosial. “Soal social research, ya ke SRF,” tandas Juned.

Teks: Pratiwi Utami

Foto: dok. SRF