Akhir abad ke-20 menandakan permulaan abad ke-21. Seringkali kita mendengar perkembangan teknologi sebagai tolak ukur permulaan dan perkembangan zaman seiring datangnya abad ke-21 dan era informasi. Namun, selain proliferasi teknologi Internet dan digitalisasi dalam berbagai aspek kehidupan, akhir abad ke-20 juga memiliki ragam macam perubahan dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang membedakannya dari abad-abad sebelumnya. Mulai dari fenomena dotcom boom, peristiwa 9/11, munculnya sektor sharing economy hingga ketenaran musik elektronik dan rap, awal abad ke-21 penuh dengan perubahan-perubahan yang menjanjikan masa depan yang penuh warna dan kejutan. Tanpa disadari, tren pergantian zaman ini juga turut membentuk masa depan yang tidak pernah diduga sebelumnya:
Fenomena dotcom boom dan jatuhnya mimpi kaya dalam semalam
Ketika Internet pertama diperkenalkan ke khalayak ramai, banyak anggota masyarakat yang berbondong-bondong mengemban konsep informasi global. Imajinasi dan mimpi pun melambung tinggi. Masa depan yang penuh informasi seakan menjanjikan perkembangan yang tidak berbatas. Penyebaran informasi gratis dan terjangkau kepada masyarakat global membuat masyarakat optimis bahwa dunia digital akan membawa dunia menuju kedamaian dan persahabatan. Setiap perusahaan besar dan kecil yang memberikan layanan Internet dinilai sebagai bisnis besar berikutnya dan masyarakat berbondong-bondong menanamkan uang mereka membeli saham perusahaan-perusahaan tersebut. Pada ulang tahun pertama dan kedua abad ke-21 (2001 & 2002), mimpi ini pun berujung petaka ketika harga saham perusahaan dotcom jatuh secara masif dan memaksa bisnis-bisnis untuk gulung tikar. Barangkali masih dapat diambil hikmah dari peristiwa ini: tidak ada kekayaan yang akan datang dalam semalam. Hanya rasionalisme dan akal sehatlah yang akan mendatangkan kekayaan yang kekal.
Budaya yang semakin mengemban gaya hidup ghetto
Maraknya antusiasme anak-anak muda terhadap budaya rap dan ghetto melahirkan budaya sosial yang dikenal dengan ungkapan budaya gangster. Busana yang bertemakan tren ini pun menjadi semakin terkenal dan laku, terutama dengan banyaknya selebriti-selebriti mancanegara yang mengemban budaya ini. Beberapa dari mereka bahkan memiliki merk tersendiri yang kemudian dijual kepada khalayak ramai. Bersamaan dengan dampak positif ini, ada pula dampak negatif yang turut datang bersama dengan gaya hidup ini. Gaya hidup dan popularitas budaya yang mengemban konsep bad boy ini pun membuat banyak anak-anak labil yang mencontoh sisi buruk dari budaya ini. Kini, semakin marak unjuk rasa dan protes massal yang berujung kekerasan, mencontoh dari gaya hidup yang tidak kenal takut dan kurangnya konsekuensi dari perbuatan jahat mereka. Budaya yang menjunjung kebebasan berekspresi tanpa mengenal rasa malu pun dapat berujung kacau jika tidak diiringi dengan tanggung jawab dan kerendahan hati.
Munculnya konsep ekonomi massal dan sharing economy
Jika sebelumnya produk dan layanan merupakan penggerak ekonomi sebuah perusahaan, kini abad ke-21 telah menemukan penggerak ekonomi baru yang beresiko rendah – Anda. Facebook diduga menggunakan data pribadi Anda untuk dijual ke pihak perusahaan guna mempromosikan produk dan layanan mereka sejalan dengan keinginan dan algoritme penggunaan Internet Anda. Uber dan Airbnb tidak memiliki mobil maupun rumah mereka sendiri tetapi memfasilitasi jasa sewa mobil dan rumah. Selain mengurangi resiko kerusakan dan meminimalkan upah perbaikan dan depresiasi aset, konsep ini juga tidak mengharuskan penanaman dana yang besar bagi pihak perusahaan. Bahkan, Amazon sendiri yang merupakan gudang serba ada dunia tidak memiliki inventory sendiri. Sebagai sebuah konsep yang relative baru, sharing economy mungkin akan tumbuh menjadi konsep yang semakin digemari oleh perusahaan dan pegiat bisnis baru.
Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan akan terus terjadi dan kita akan melihat lebih banyak perkembangan dan konsep baru yang tidak pernah kita duga. Siapa juga yang pada tahun 1990 bisa menyangka bahwa kita akan mampu menyimpan uang kita dalam bentuk data dan algoritme digital ketika Bitcoin pertama ditemukan?
Teks: Edward Tanoto
Foto: Berbagai sumber