Perjalanan Batik Nusantara

Batik adalah salah satu warisan budaya warisan dunia dari Indonesia yang diakui UNESCO, karena memiliki kisah, filosofi, dan menjadi bagian gaya hidup masyarakat. Sejarawan batik menyebutkan, awalnya kain batik berkembang sebagai produk pengganti dari kain impor cinde/patola yang berasal dari Gujarat, India. Sepanjang waktu, ornamen batik semakin bervariasi dan berkembang. Di kerajaan Mataram (Solo dan Yogyakarta), batik bahkan menjadi alat politik identitas, yaitu untuk membedakan antara keluarga ningrat dan rakyat biasa. Tercatat dalam buku History of Java, Raffles menuliskan terdapat lebih dari 100 motif batik. Ia juga pernah membawa muatan batik tulis yang akan dibawa ke negeri Belanda. Sayangnya, salah satu kapal yang membawa batik itu karam.

Batik semakin asik untuk diulik, tatkala booming batik melanda Indonesia satu dasawarsa yang lalu. Melalui semangat primordial kedaerahan, berbagai batik dari Pulau Sumatera hingga Papua, giat ditumbuhkan sebagai identitas diri. Sementara itu, sentra-sentra batik di Jawa yang sudah ada, juga ikut mendapatkan pamor dan kembali tergali motif batik klasiknya sebagai imbas semangat waktu itu.

Proses pembuatan batik tidaklah rumit. Prinsipnya, menggunakan lilin malam sebagai penghalang masuknya warna ke dalam kain. Jadi, pada dasarnya, tahapan membatik sama saja di berbagai daerah. Hanya mungkin ada perbedaan pada beberapa istilah perbatikan. Di Tegal, misalnya. Istilah mencanting ornamen pengisi pada latar batik, disebut dengan “pacitan”. Sedangkan di daerah Pekalongan, disebut dengan istilah “tanahan”. Di daerah lain, bisa disebut dengan “isen-isen”. Selain itu, motifnya pun macam-macam. Di Tegal, misalnya, motif batik yang banyak dikenal adalah motif Ambringan, Merakan, dan Jago Mogok. Pekalongan identik dengan motif Kumpenian, Batik Belanda, Batik Jawa Hokokai, Batik Buketan ala Eliza van Zuylen, maupun Batik Peranakan. Lain lagi di Cirebon yang motif Megamendung-nya sangat terkenal hingga ke mancanegara. Sedangkan sentra batik Solo dan Jogja, dikenal dengan Batik Keraton, dengan warna sogan.

Untuk lebih mendalami benang merah jejak batik klasik di Jawa, perlu kita pahami tarikan sejarah dalam peta kekuasaan kerajaan di Pulau Jawa. Semakin dekat hubungan dengan keraton Mataram, maka motif batik dan warnanya pun semakin serupa. Di Solo dan Jogja, sering kita dengar batik legendaris, yaitu Batik Parang, Kawung, Sawat, dan Sidamukti. Ternyata, di hampir semua sentra batik di daerah lain di Jawa, dikenal juga motif itu, dengan beberapa variasi bentuk dan warna, sesuai dengan karakter daerahnya. Semakin jauh, karakternya semakin berbeda. Sebagai contoh, batik Cirebon yang memiliki warna khas cerah, yang berbeda dengan batik Solo dan Jogja yang berwarna sogan.

 

 

Seiring berjalannya waktu, batik digunakan sebagai fancy fashion dalam pergaulan di masyarakat. Motif batik dan warnanya semakin berkembang mengikuti apa yang diinginkan pasar. Motif batik menjadi lebih bervariasi dengan gambar tumbuhan, maupun hewan seperti burung, merak, bangau, kupu-kupu dan hewan lainnya. Berbagai filosofi dan makna unik yang tertoreh dalam selembar kain batik juga ikut menjadi daya tarik yang membuat sebagian orang getol mengoleksinya.

Masuknya  pewarna sintetis naptol, pada awal abad 19, membuat perkembangan motif dan warna batik semakin dinamis. Warna batik menjadi lebih berkembang lebih cerah dan bervariasi. Pewarna ini, sangat mudah dan cepat diaplikasikan, warnanya pun beragam dan mencolok dibandingkan pewarna alami. Berkembanglah saat itu batik klasik yang memilliki genre warna sogan, bangjo, dan bangbiru.

Akan tetapi, sejak digunakannya warna sintetis di hampir seluruh sentra produksi batik di Indonesia, warna batik pun cenderung sama di seluruh daerah. Apalagi, di masa sekarang, hampir semua batik menggunakan jenis obat sintetis yang sama, yaitu naptol, indigosol dan rapid, serta ada juga yang mulai menggunakan remasol-procion. Selain itu, motif batiknya seringkali bercampur, yang lalu disesuaikan dengan kebiasaan gaya ornamen membatik di masing-masing daerah. Selanjutnya, di setiap daerah, selera pasar pun tercipta dan motifnya pun sangat beragam. Keragaman motif di setiap daerah menjadi sangat banyak hingga berjumlah ratusan.

Harga berkisah antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000 untuk selembar kain batik tulis dengan bahan katun. Sementara itu, batik tulis kontemporer (batik yang dibuat dengan proses cepat dan menghasilkan 2-3 warna atau lebih) harganya berkisar antara Rp200.000-Rp300.000.

Jika Anda ingin membeli batik klasik, mintalah seseorang yang biasa mengetahui harga dan motif batik klasik agar mendapatkan harga yang layak dan motif batik yang sesuai.

Kontributor: Nur Anisa Amini, owner Apsara Batik, Tegal – Jawa Tengah

Foto: Nur Anisa Amini