Membaca Pachinko sebagai Diaspora Indonesia

Pachinko adalah sebuah serial televisi Apple TV yang mengisahkan lika-liku kehidupan empat generasi Zainichi (Generasi Korea di Jepang sebelum kemerdekaan), dimulai pada tahun 1910-an. Jalan cerita Pachinko berfokus pada perjuangan mereka menghadapi diskriminasi, identitas, dan pencarian masa depan yang lebih baik. Meskipun tidak sepenuhnya setara, narasi tentang kehidupan migran lintas generasi ini terasa sangat dekat dengan pengalaman orang Indonesia di Australia.

Cerita berpusat pada Sunja (Kim Minha), seorang wanita muda yang terjebak dalam dilema cinta dengan kehidupan penuh tantangan yang membawanya ke Jepang, serta dampak dari pilihan-pilihan yang ia ambil. Pachinko juga bercerita bagaimana generasi-generasi setelah Sunja menyikapi keputusannya, termasuk cucunya Solomon (Jin-ha) yang tetap dihukum oleh kehidupan. Meskipun perjuangan Sunja dan Solomon nampak berbeda, dasarnya mereka tetap serupa, layaknya mesin pachinko dimana keberuntungan dan kegagalan tidak berada di tangan pemainnya. 

Pada serial pertama, identitas Zainichi Solomon diperalat oleh pemegang shareholder untuk memaksa nenek Geum Ja (Park Hyejin) menjual rumahnya. Tidakkah hal ini juga terjadi terhadap diaspora Indonesia di Australia? Diversity hire selayaknya Solomon seringkali dijadikan alat tokenism dan diberikan target kerja irasional yang tidak jarang memaksa mereka mengorbankan identitas budaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di negara baru.

Tokoh antagonis “Koh Hansu” (Lee Minho), seorang Zainichi terpelajar yang memanipulasi Sunja, digambarkan sering kali “menjual” orang-orang Zainichi kepada ayah mertuanya, seorang politikus terkenal di Jepangm demi kelayakan hidupnya. Kisah ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi beberapa diaspora Indonesia; banyak migran yang terpaksa menerima pekerjaan dengan gaji rendah di Australia dan sering kali dijebak oleh oknum yang mengaku ingin membantu sesama “orang Indonesia”. Banyak juga imigran yang terjebak dalam sistem visa atau tergantung pada status ‘asylum seeker’ yang membatasi peluang mereka dan membuat mereka rentan terhadap eksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak peduli dengan perjuangan mereka.

Pada musim kedua, fokus cerita beralih pada Sunja yang harus mengorbankan mimpinya membuka restoran demi mencukupi kebutuhan hidup anak-anak dan iparnya. Kisah ini dengan telaten menggambarkan perjuangan banyak keluarga migran. Peluang mereka untuk meraih mimpi kerap dihambat oleh keterbatasan pilihan, baik karena kurangnya informasi mengenai keterampilan yang dibutuhkan maupun ketidakpastian status kependudukan/ kewarganegaraan sehingga mereka terpaksa untuk bekerja di sektor-sektor dengan gaji rendah.

Salah satu adegan yang membekas bagi saya terdapat pada season 2 episode 3 dimana Sunja yang sudah lansia (Youn Yuh-jung) bercerita kepada Kato (Jun Kunimura) mengenai bagaimana generasi muda saat ini memiliki kehidupan yang lebih mudah dan seharusnya mampu meraih kesuksesan dengan segala privilese yang dihasilkan dari pengorbanan generasi sebelumnya. Hal ini langsung ditepis sahabatnya tersebut.

Kato: “You can’t blame them for not living in a world gone mad, can you? (…) No matter the times, life is never easy – unless we are God.”

Secara keseluruhan, Pachinko bukan sekadar kisah tentang keluarga Zainichi, melainkan juga sebuah refleksi dari perjuangan migran di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menurut saya, serial ini sangat layak untuk ditonton. Meski konteksnya berbeda, baik migran Korea di Jepang maupun Indonesia di Australia, kedua kelompok diaspora sama-sama berjuang untuk kehidupan yang lebih baik dan seringkali melakukan pengorbanan yang besar.

Teks: Ivany Hanifa Rahmi

Foto: Berbagai sumber