Frida Kahlo adalah sebuah nama yang telah menjadi akrab bagi kita semua. Ketika kita mengucapkan nama Frida Kahlo, sebuah gambar akan serta-merta muncul di benak kita atau kepala teman-teman kita. Maka itu, kita melupakan siapa sebenarnya seniman Meksiko itu. Intinya, we’ve taken her for granted; beliau dan seninya.
Beberapa waktu lalu saya menonton dokumenter baru yang dipersembahkan oleh ABC, Becoming Frida Kahlo. Dokumenter itu mengilas balik kehidupan Frida Kahlo, dari masa kanak-kanaknya hingga wafatnya.
Dengan lengkap, Becoming Frida Kahlo menyoroti impian awal si perupa untuk menjadi seorang dokter, kecelakaan yang merusak badan dan impiannya, serta kisah cintanya dengan suaminya, Diego Rivera. Kecelakaan itulah yang memicu perjalanan Frida sebagai artis. Secara rinci, dokumenter itu menceritakan bagaimana suatu hari Frida terlempar dari bis, lalu ditusuk oleh sebuah tiang logam. Kenyataan ia selamat adalah sebuah keajaiban. Di rumah sakit, Frida mulai melukis dengan serius. Bukan sekadar hiburan, Frida melukis demi kepulihannya. Meski badannya tidak pernah pulih, perempuan Meksiko itu mengatasi luka-luka batinnya melalui penciptaanya.
Kisah ini sebetulnya sangat terkenal. Kisah Frida Kahlo adalah salah satu kisah yang “menginspirasi”. Tetapi, menurut saya, cerita-cerita yang “menginspirasi” cenderung digunakan atau diulang sehingga mereka kehilangan makna benarnya.
Salah satu alasannya adalah kita sering melupakan kedalaman penderitaan orang-orang yang menjadi subyek kisah itu, seperti Frida. Seni Frida telah disalin dan ditempel berulang kali di oleh-oleh, kaos, cinderamata, dan lain sebagainya. Bahkan muka Frida sering “dijual” seperti seniman terkenal lainnya termasuk Vincent Van Gogh, Claude Monet, Picasso, Andy Warhol, dan banyak lagi. Frida telah dikomodifikasikan.
Alasan lain adalah bahwa luka-luka sedalam yang dimiliki Frida tidak dapat dimengerti oleh kebanyakan orang. Gambar Frida yang paling mengesankan bagi saya adalah sebuah lukisan berjudul Birth. Saya tidak mencantumkan gambar itu pada artikel ini karena konten eksplisit. Saya akan menjelaskannya secara singkat: subyek Birth adalah kelahiran, tapi Frida melukisnya setelah mengalami keguguran. Dalam lukisan itu – menurut interpretasi saya – Frida menggambarnya bukan hanya dari sudut pandang seorang ibu yang telah kehilangan bayinya, tapi juga dari sudut pandang bayinya. Ketika memandangnya, para pengamat akan menghadapi kepala seorang bayi. Matanya tertutup. Hanya kepala dan lehernya keluar dari vagina ibunya. Darah yang menetes mengotori seprai dengan warna merah, seolah kepalanya terpotong dari badannya pada saat kelahiran.
Sangat mengesankan, mengejutkan, dan menggelisahkan.
Suatu hal yang tragis adalah bahwa perempuan gagah itu akhirnya membunuh diri, setelah kesakitannya menjadi semakin parah hingga ia tidak bisa lagi bertahan. Kendati demikian, hal itu tidak akan menghapus fakta bahwa Frida Kahlo adalah salah satu manusia yang paling kuat dalam sejarah, secara fisik dan secara mental.
Entah apa lagi yang bisa saya katakan mengenai dokumenter ini, kecuali bahwa sekarang saya merasa lebih mengapresiasi kearifan, kreatifitas, dan ketangguhan seorang sosok luar biasa yaitu Frida Kahlo.
Teks: Victoria Winata
Foto: Berbagai sumber