Kata, Lawan kata, dan Penggunaannya

Biasanya, kalau kita mendengar lawan kata atau antonim, kita terpikir pada kata-kata yang sekilas jelas artinya, umumnya kata sifat. Contohnya: ‘Baik’ lawannya ‘buruk’; ‘besar’ lawannya ‘kecil’; ‘tinggi’ lawannya ‘rendah’; ‘pandai’ lawannya ‘bodoh’, dan seterusnya.

Latihan bahasa dengan lawan kata seperti ini baik kalau kita mulai mempelajari bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia, karena kita akan diminta memasukkan kata dan lawannya masing-masing dalam kalimat, dan dengan sendirinya ini akan memperkaya kosa-kata.

Tapi sesudah membuat kalimat-kalimat seperti: Ini bangunan baik, itu bangunan buruk; Si Kiki badannya besar, si Didi badannya kecil; Rumah si Mamat di dataran tinggi, rumah si Dudung di dataran rendah; Adik saya pandai, kakak si Unyil bodoh, lalu apa kelanjutannya?

Dalam tahap landasan seperti inipun kita akan belajar, bahwa kata-kata itu tidak dapat ditempelkan begitu saja dalam kalimat-kalimat sederhana. Kalau dipaksakan, kalimat-kalimatnya akan janggal kedengarannya.

Kalimat, ‘Sebaiknya kita meneruskan perjalanan sesudah beristirahat’, kalau ingin kita utarakan dari sudut perspektif yang berlawanan, apakah kita mengatakan, ‘Seburuknya kita meneruskan perjalanan sebelum beristirahat’? Tidak, karena kedengarannya janggal. Mungkin kata ‘buruk’ kita sisihkan, dan kalimat menjadi, ‘Sebaiknya kita tidak meneruskan perjalanan sebelum beristirahat’.

Memakai kata ‘pandai’ dan lawannya ‘bodoh’, juga tidak selalu lurus. Contoh, ‘Bagaimana besok kalau kita naik perahu ke Pulau Seribu?’. Untuk menampik sambil memberikan alasannya, kita mengatakan, ‘Tidak, terima kasih. Anakmu pandai berenang, anakku tidak’, dan bukan, ‘… Anakku bodoh berenang’.

Itu baru tahap kalimat-kalimat yang menggunakan sebuah kata sifat dan lawan katanya. Kata kerjapun mestinya punya lawan kata, meskipun banyak yang bisa diperdebatkan. Kalau ‘membuka’ lawannya ‘menutup’, ‘memberi’ lawannya ‘menerima’; tapi ‘menerima’ lawannya bisa juga ‘menolak’, tergantung yang dimaksudkan arti konkret atau arti abstrak.

Sampailah kita pada lahan ide dan konsep. Mari kita melangkah masuk ke sana. Kalau kebanyakan konsep ada semacam lawannya, seru juga. Tapi kenyataannya tidak begitu, karena di sini kita sering terbentur aspek-aspek sosial budaya.

Bukankah kata ‘maju’ jelas lawannya ‘mundur’? Nah, coba simak kalimat ini:
‘Nenek saya dan teman-temannya berpikiran maju’, dan kita pajang bersama kalimat lawannya: ‘Kakek saya dan teman-temannya berpikiran mundur’. Tidak jalan, kan?

Karena kata ‘mundur’ dalam kesantunan sosial, dianggap terlalu tajam menohok, jadi sangat mungkin menyinggung perasaan. Kata ‘mundur’ biasanya digunakan polisi yang sedang mengawal pejabat yang sedang beraksi di publik, umpamanya, ‘Mundur, mundur! Jangan terlalu dekat!’ Jadi, kita mungkin mengutarakannya dengan kalimat, ‘Kakek saya dan teman-temannya belum berpikiran semaju itu’.

Dalam bahasa Indonesia, apa lawan kata ‘memanjat’? Kita memanjat pohon, dan bisa dibayangkan berbagai cara orang memanjat pohon. Lalu turunnya bagaimana? Merosot? Apakah karena ‘turun’ konotasinya tidak segagah ‘panjat’, yang pada dasarnya gerakan ke atas?

Kata kerja ‘berbuat’ dan lawannya ‘berdiam’ juga sebenarnya sama nilai intrinsiknya. Tapi dalam pemakaiannya, apalagi dalam bingkai sosial, ‘berbuat’ lebih mendapat limpahan nilai. Kebanyakan kekaguman lebih diberikan kepada yang ‘berbuat’ daripada yang ‘berdiam’. Yang membersihkan rumah, membuat perkakas tukang, membangun kota, dan lainnya, kita anggap lebih baik daripada yang tidak mengerjakan semua itu.

Dalam ‘berbuat’ pun, ada gradasinya. Ada lomba memanjat pohon, memanjat tiang, tapi apa ada lomba turun dari pohon, turun dari puncak tiang? Padahal sama sukarnya, bahkan mungkin lebih sukar. Tapi konotasi sosial lebih mengagumi gerakan naik daripada gerakan turun.

Sesungguhnya, kata ‘cepat’ dan lawannya, ‘lambat’, tidak selalu mengandung muatan positif atau negatif pada satu atau lainnya. Umpamanya, ‘Ayo cepat-cepat berpakaian, nanti ketinggalan bus!’ di sini ‘cepat’ mendapat preferensi. Tapi simak kalimat berikutnya, ‘Makan lambat-lambat, nikmati selera apa yang dimakan. Jangan asal ditelan!’ di sini ‘lambat’ mendapat preferensi.

Namun dalam konteks sosial, ‘cepat’ jauh melebihi ‘lambat’ dalam jumlah pemilih. Di mana ada bisnis yang mengiklankan ‘layanan lambat’? Dalam upaya transportasi dari titik A ke titik B, berapa yang akan memilih ‘kereta api cepat’ ketimbang ‘kereta api lambat’, kecuali dalam tur liburan yang memang dirancang untuk menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, yang nota bene biayanya tinggi (di sini ‘tinggi’ punya konotasi hanya dapat dicapai oleh yang mampu)?

Yang lebih menyakitkan lagi, konotasi dari ungkapan ‘lambat berpikir’ yang menunjuk pada kesimpulan bahwa si pemikir lambat sebenarnya agak bodoh. Padahal seringkali orang yang berpikir lambat itu karena dia mencerna dan memproses suatu konsep sebelum mengungkapkannya. Dalam imaji-imaji orang bijaksana (setidaknya dalam lingkup masa muda saya), sosok seperti itu biasanya digambarkan tidak pernah langsung ‘menembak’ jawaban kalau ditanya, tapi dipikirkan dulu, baru dijawab lambat-lambat.

Dalam bahasa, bukan dalam bahasa Indonesia semata, tidak banyak kata, maupun konsep yang dituang ke dalam kata-kata, yang bersih dari muatan nilai sosial dari budaya di mana bahasa itu tumbuh. Jadi mengungkapkan sebuah konsep dan lawannya tidak selalu lurus.

Teks: Dewi Anggraeni

Foto Ilustrasi: Vonny Patricia