High Noon in Batavia – Situasi Tegang 1 Oktober 1945 di Jakarta

Pagi hari 30 September 1945, kapal-kapal pendarat Sekutu Barat berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia, sekarang Jakarta. Kapal-kapal ini membawa 200 serdadu Inggris Skotlandia bernama Seaforth Highlanders. Mereka memakai seragam militer dan topi baret dengan pom-pom merah. Agak aneh di kondisi tropis ini, karena cuaca panas dan kelembaban tinggi. Kedatangan mereka diawasi oleh mantan musuh mereka, serdadu Jepang.

Di Pelabuhan Tanjung Priok, tentara Inggris Skotlandia mendarat dengan rasa tanpa khawatir. Para perwira tentara memeriksa peta Batavia dan terkejut dengan alam yang berbeda dari wilayah Highlands di Skotlandia, penuh dengan pohon kelapa dan rumah-rumah dari kayu bambu. Para pengamat Jepang menunjukkan jalan ke pusat kota Batavia. Disertai lagu dari alat musik bagpipe, serdadu bergerak dan berbaris. Tentara pembebasan ini mengharapkan sambutan meriah dari penduduk Batavia yang menderita di bawah penjajahan Belanda dan Jepang selama 350 tahun lebih.

Ya, ada beberapa penonton di pinggir jalan. Tetapi mereka berasa terkejut, agak bingung dan agresif, melihat tentara asing Inggris ini berbaris seperti pemenang perang dunia. Bendera penonton yang dipamerkan berwarna merah putih, bendera Indonesia Merdeka, bukan bendera Inggris. Walaupun tentara Inggris membebaskan mereka dari penjajahan Jepang, penonton mengira tentara Inggris akan merampas kemerdekaan Indonesia.

Serdadu Scottish Highlanders tiba di pusat kota. Mereka disambut dengan perkataan yang merayakan Kemerdekaan Indonesia. Ada kereta trem yang dicoret dengan perkataan “Kami Bangsa Indonesia”. Spanduk di jalanan mengatakan “We Are a Free Nation, Conceived in Liberty”. Ada juga catatan grafiti di dinding kantor dan toko dengan tulisan “MerdekaQuo Vadis???”

Perwira dan serdadu Inggris merasa bingung dan heran. Mereka seharusnya tiba di negara yang dijajah oleh Hindia Belanda Kolonial, yang dikuasai oleh Jepang, yang menyerah kepada Kekuasaan Sekutu Barat. Mereka tidak mengharapkan bahwa kekuasaan negara ini telah pindah ke masyarakat dan pemerintah Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945.

Indonesia Merdeka, berita penting ini, dirahasiakan oleh Sekutu Barat. Tetapi rahasia ini gagal karena kemerdekaan Indonesia diumumkan di surat kabar Australia pada 25 September 1945 beserta kabar tentang kapal-kapal Belanda dengan tentaranya yang ditahan di Pelabuhan Australia.

Pada saat ini, Pemerintah Indonesia dan masyarakatnya sudah mengelola layanan listrik, air dan transportasi di Batavia dan tempat lain di Jawa.

Kekuasaan Jepang dengan Angkatan Daratnya mengawasi ketertiban dan pengamanan. Ribuan tentara Jepang dengan senjata dan alat-alat perang mereka menjaga kemerdekaan baru negara ini.  Tentara Inggris Skotlandia juga mendapat perlindungan dari mantan musuh perang mereka, tentara Jepang. Di Batavia, para tentara Inggris menyadari lingkungan berbahaya penuh ancaman dari masyarakat Indonesia yang berani membela kemerdekaan mereka.

Jutaan masyarakat Indonesia berani dan sedia membela kemerdekaan, walaupun mereka tidak mempunyai senjata perang modern!

Besok harinya, pada 1 Oktober 1945, Jenderal Inggris, Philip Christison tiba di Batavia, bersama bala bantuan tentara Hindia. Beliau terkejut dengan situasi tegang di Batavia dan langsung memohon penyataan dari atasannya: Supreme Allied Commander untuk South East Asia Command (SEAC), Lord Louis Mountbatten.

Jenderal Christison mendapat mandat untuk

  1. Menerima penyerahan angkatan bersenjata Jepang dan melucuti senjata mereka sebelum mengembalikan mereka ke negara Jepang.
  2. Membebaskan ribuan tawanan perang Sekutu dari tahanan Jepang, dimana kebanyakan wanita dan anaknya menderita penyakit dan kelaparan.
  3. Menahan hukum dan ketertiban Indonesia, sebelumnya Pemerintah Belanda Kolonial, untuk kembali menguasai Indonesia.

Wakil Pemerintah Belanda Charles van der Plas juga tiba di Batavia dari Australia dan memberi laporan dari Pemerintah Belanda bahwa

  • Pemerintah Indonesia tidak diakui karena mereka meneruskan kekuasaan militer Jepang yang dianggap musuh perang Sekutu.
  • Pemerintah Indonesia bekerja sama dan dilindungi oleh Jepang oleh karena itu mereka dianggap sebagai pemerintah boneka (puppet government).
  • Belanda menolak perundingan dengan wakil Pemerintah Indonesia.

Situasi tegang ini memunculkan situasi “High Noon in Batavia” antara empat pihak: Indonesia, Jepang, Inggris dan Belanda.

  1. Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Sukarno mendapat dukungan dari masyarakat Indonesia. Mereka berani membela, walaupun tidak mempunyai tentara atau senjata perang modern.
  2. Kekuasaan Jepang didukung oleh ribuan serdadu militer, angkatan laut dan udara. Mereka menjaga kantor pemerintah, persimpangan jalan, markas militer termasuk kantor pemerintah Indonesia. Kekuasaan Jepang ini diberi tanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan keamanan.
  3. Jenderal Inggris Christison dengan pasukannya yang hanya terdiri dari 200 tentara Inggris Skotlandia dan jumlah kecil tentara Hindia. Mereka tergantung tentara Jepang dan kekuasaan pemerintah serta rakyat Indonesia. Christison menyadari tuduhan Belanda, tetapi tidak berani menangkap pemimpin Pemerintah Indonesia.
  4. Wakil Pemerintah Belanda, Charles van der Plas dan Hubertus van Mook, tidak mempunyai kekuasaan karena angkatan senjatanya ditahan oleh Buruh Dermaga Australia dan Pelaut Indonesia di pelabuhan-pelabuhan di Australia. Belanda menuduh Pemerintah Indonesia sebagai boneka Jepang yang meneruskan Kekuasaan Jepang, sehingga mereka dianggap musuh Sekutu Barat.

Menurut tuduhan Belanda, Jendral Christison memiliki kekuasaan untuk menangkap Pemimpin Indonesia, tetapi dia tidak berani.

Keadaan tegang ini seperti bom yang akan segera meledak.

Pada 3 Oktober 1945, terjadi pertempuran antara pemuda Indonesia dan tentara Jepang di Batavia. Pertempuran antara pemuda Indonesia dan tentara Jepang juga terjadi di Bandung dan Surabaya, karena pejuang Indonesia membutuhkan senjatanya.

Kekuasaan Jepang dan Inggris berusaha bersama untuk menjaga perdamaian, tetapi mereka gagal karena masyarakat Indonesia berani berjuang untuk menahankan kemerdekaan mereka.

Angkatan Bersenjata Belanda dan tentaranya ditahan oleh pelaut dan buruh dermaga Australia bersama pelaut Indonesia, China dan Hindia. Kejadian ini diberi nama Armada Hitam atau Black Armada.

“High Noon in Batavia” berakhir dengan kekerasan hebat di Pulau Jawa antara tentara Inggris-Hindia dan pejuang pemuda Indonesia.

Di Surabaya, tiga jenderal Jepang menyerahkan senjata dan alat perangnya kepada Pemuda Pejuang Indonesia. Jendral Inggris Mallaby tewas pada tanggal Oktober 30, 1945 di Surabaya. Kejadian ini memberi alasan bagi tentara Inggris-Hindia yang didukung oleh pesawat pemboman, meriam, dan tank untuk melawan pejuang Indonesia.

Pada 10 November 1945, pertempuran sengit ini di Surabaya diperingati setiap tahun–Hari Pahlawan Indonesia.

Teks: Anthony Liem

Foto: Berbagai sumber