Globesity = Global + Obesity

Tidak ayal lagi obesitas atau kegemukan yang melampaui batas telah mewabah ke segala penjuru dunia sehingga Badan Kesehatan Dunia, WHO menyebutnya sebagai globesity, obesitas yang menjagat raya.

WHO mengatakan globesity adalah gabungan perkataan global dan obesity, yang dikatakan akan menjadi krisis dunia yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat.

Ketika baru-baru ini mudik ke Tanah Air, penulis cukup gempar melihat begitu banyaknya warga Indonesia yang tubuhnya sangat gempal, bukan lagi sekadar gemuk air, sebagaimana yang dahulu suka dijadikan cemooh di kalangan bangsa Indonesia bagi seseorang yang kegemukannya tidak berguna.

Khusus di mal-mal, apalagi yang banyak pusat penjualan makanannya alias food court, begitu sering penulis melihat warga lelaki maupun perempuan yang berlalu lalang yang tubuhnya memang gemuk gedempol.

Ada yang menyimpulkan bahwa berkat kemakmuran, begitu besar kemampuan warga di Indonesia – paling tidak sebagian di antara mereka – yang sanggup membeli banyak makanan. Yang perlu ditanyakan adalah: apakah makanan yang mereka beli memang berkhasiat? Ataukah yang sanggup mereka beli adalah apa yang dalam bahasa Inggris disebut junk food? Makanan rombengan.

Baru-baru ini majalah kedokteran Inggris, Lancet memuat tulisan yang mengatakan, globesity sekarang kian pesat menjadi masalah dibanding kelaparan dan gizi buruk, dan sudah mencapai titik yang mengancam hampir seluruh umat manusia.

Kita menyadari bahwa penyebabnya adalah “mulut kamu harimau kamu”. Makan terlalu banyak, berlebihan dan jenis makanan yang kurang sehat, yang mengakibatkan globesity. Makanan rombengan, yang mengenyangkan namun tidak berkhasiat.

Mungkin juga banyak di antara mereka yang merasa rendah diri karena kurus, lalu mendengar mantan Presiden Megawati Soekarnoputri memperolok-olok Presiden ke-7 R.I. Joko Widodo, sebagai lelaki kerempeng. Pernah ada kalanya di Indonesia bahwa tubuh yang gempal merupakan pertanda kemakmuran, karena kebetulan hanya sedikit warga Indonesia yang waktu itu mampu secara ekonomis untuk menggemukkan tubuh, sedangkan yang selebihnya harus makan berpada-pada.

Apa pun penyebabnya, obesitas memang sudah merupakan mudarat hingga dikatakan tiga kali lebih banyak yang meninggal karena obesitas daripada yang meninggal akibat gizi buruk malnutrisi.

Nampak pepatah “tikus mati dalam lumbung” perlu diberi penafsiran baru. Alias terlalu banyak makankah? Atau ada makna tersirat lainnya?

Saya agak tercengang ketika membaca sebuah laporan yang hampir tidak masuk akal dalam sebuah media di Tanah Air, yang berbunyi:

“Indonesia merupakan negara dengan angka makanan yang terbuang cukup tinggi kedua di dunia. Berdasarkan data dari Economist Intellegence Unit, makanan yang terbuang sia-sia di Indonesia mendekati 300 kilogram per tahun dari setiap orang.”

Padahal ketika masih kecil orang tua suka mengingatkan bahwa makanan yang dibuang akan ‘menangis’. Meski makanan di Indonesia begitu banyak yang dibuang, namun yang disantap juga tidak kepalang tanggung jumlahnya hingga menyebabkan begitu banyak yang menjadi gemuk gedempol.

Namun bisa saja kita menuding iklim di Indonesia yang bukan saja panas sepanjang tahun melainkan juga lembap membuat makanan menjadi cepat basi, meski sekarang sudah kian banyak orang yang memiliki kulkas. Dan makanan yang basi memang tidak bisa diawetkan kembali, hingga harus dibuang. Syukur-syukur bisa dikasi kepada ayam. Tapi kalau tinggal di kota tanpa halaman bagi ayam untuk berkeliaran, bagaimana?

Ada yang mengatakan, karena sekarang kebanyakan orang masak nasi dengan rice cooker maka tidak lagi ada kerak hingga santapan kerak goreng sudah jarang ditemukan. Begitu pula dengan memasak nasi dalam microwave, niscaya tidak akan berkerak. Karenanya nasi yang tidak habis harus dibuang, apabila basi. Alhasil peribahasa “besar periuk besar pula kerak” sudah tidak lagi sesuai, karena kian berkurangnya orang yang menanak nasi dalam periuk.

Mungkin Indonesia juga tidak perlu terlalu sedih dengan kemubaziran itu, sebab menurut sebuah organisasi nirlaba, FoodWise, nilai makanan yang masih dapat disantap yang saban tahun dibuang oleh rakyat Australia (yang jumlahnya tidak sampai sepersepuluh rakyat Indonesia) bernilai 8 miliar dolar.

Alhasil segala ini memang gara-gara lidah dan mulut yang begitu cerewet sementara perut sebenarnya nrimo saja apa yang dimasukkan ke dalamnya, kecuali yang dapat menyebabkan diare, gastroenteritis dan sejenisnya.

Boleh jadi ini ada sangkut pautnya dengan ungkapan “mulut kamu harimau kamu”. Mulut memang dapat menjadi sumber bahaya – bahaya obesitas, penyakit dan fitnah. Mungkin ada benarnya peringatan seorang yang arif lagi bijaksana bahwa “manusia, sebagaimana halnya dengan ikan, niscaya akan selamat kalau saja tidak buka mulut.”

Maksudnya harus tahu kapan mesti buka mulut. Kalau terus membungkam nanti disangka orang bisu atau tidak punya pendapat. Tetapi siapa tahu sekarang ini tidak mustahil yang tidak punya pendapat akan lebih aman hidupnya.

Alhasil bagaimana caranya agar kita bisa menikmati makanan namun tetap tidak gemuk gedempol?

Seorang pembawa acara televisi mengenai kesehatan di Inggris, Dr. Michael Mosley, mengaku punya rahasia bagaimana seseorang dapat menikmati makanan yang lezat tanpa harus menjadi obesitas.

Rumusan yang ditawarkannya adalah ”5:2 Intermittent Fasting”, kasarnya makan seperti biasa selama 5 hari (2.000 kalori untuk perempuan dan 2.500 kalori untuk lelaki) dan puasa selama 2 hari dalam seminggu. Namun puasa yang dianjurkannya bukan seperti puasa Umat Islam.

Puasa ala Dr. Mosley adalah hanya makan sup cair, makan roti panggang tanpa mentega, minum teh tanpa gula selama 24 jam setiap kali (500 kalori untuk perempuan dan 600 kalori untuk lelaki). Habis itu makanlah seperti biasa.

Jelas ini mirip dengan puasa Senin-Kamis yang diamalkan banyak Muslim sesuai petuah dalam Islam. Islam mengajarkan umatnya agar bukan hanya makan yang dihalalkan, melainkan juga yang thaiyibat atau berkhasiat. (Al Qur’an II:168)

Bukan itu saja, melainkan juga umat Islam disuruh agar makanlah dan minumlah (namun) janganlah berlebihan (Al Qur’an VII-31). Ini sangat penting untuk dicamkan.

Nabi Muhammad SAW suka makan sehari dan puasa sehari, dan menasihatkan agar makan sebelum lapar, dan berhenti sebelum kenyang. Juga agar mengisi sepertiga perut dengan makanan, sepertiga dengan air dan sepertiga dilowongkan untuk udara. Ujung-ujungnya agar makan berpada-pada, bukan malah berlebihan.

Suatu penelitian di Jerman menyimpulkan bahwa baru sesudah sekitar 20 menit otak mengabarkan kepada perut bahwa makanan yang masuk sudah mengenyangkan.

Maksudnya, makanlah berpada-pada dan berhenti sebelum terasa kenyang, karena rasa kenyang itu baru terasa 20 menit setelah kita makan, kalau yang kita makan memang berpada-pada.
Dalam ajaran agama Kristen, gluttony alias makan berlebihan (kerakusan) juga termasuk dalam daftar tujuh dosa besar.

Banyak sekali ayat dalam Alkitab yang memperingatkan akan bahaya kerakusan, termasuk Amsal 25:16: Kalau engkau mendapat madu, makanlah secukupnya, jangan sampai engkau terlalu kenyang dengan itu, lalu memuntahkannya.
Ingatlah yang lebih sedikit makan, biasanya lebih panjang usianya. Wallahu a’lam.

Teks: Nuim Khaiyath
Foto Ilustrasi: Pixabay