GLOBAL CLIMATE STRIKE MELBOURNE 2019: KETIKA BUMI DIBURU WAKTU

“The Oceans are Rising, So Will We!”

Begitu tulisan salah satu spanduk yang dibawa seorang demonstran pada aksi Global Climate Strike 2019 di Melbourne. Mungkin tidak banyak yang mengetahui jika bumi sedang diujung tanduk. Tahun 2030 dinilai akan menjadi masa dimana bumi akan menyerah pada iklim yang tidak bisa diperbaiki lagi jika segala aktivitas yang membahayakan bumi tidak dihentikan mulai sekarang. Berangkat dari gagasan inilah, Global Climate Strike atau School Strike for Climate diadakan secara masif dan serentak di hampir seluruh belahan dunia. Greta Thunberg, seorang remaja asal Swedia, merupakan orang pertama yang menyuarakan aksi serupa di depan Parlemen Swedia. Setahun berselang, kini aksi untuk memukul mundur krisis iklim telah dilakukan oleh seluruh orang di dunia.

Lalu bagaimana Melbourne menyambut aksi besar ini?

Lebih dari 100.000 orang memadati Treasury Garden pada Jumat, 20 September 2019 lalu. Diklaim sebagai protes pemanasan global terbesar in Melbourne (dan bahkan di Australia), Treasury Garden sebagai titik kumpul terlihat tidak dapat menampung jumlah massa yang begitu besar. 

Pelajar, orang tua yang membawa anak-anak mereka, pekerja, hingga para lansia turut berpartisipasi dalam meramaikan aksi serentak ini. Spanduk-spanduk dari kertas dan karton dengan tulisan warna-warni memuat keresahan yang dirasakan oleh para demonstran. 

“Saya membawa mereka kesini agar mereka tahu bahwa anak-anak juga turut berani menyuarakan kekhawatiran mereka akan pemanasan global,” cerita Sara yang membawa kedua putrinya yang masih duduk di bangku SD, Emma dan Matilda, untuk ikut dalam aksi bersama. 

Pukul 14:00 sore waktu Melbourne dijadikan sebagai waktu berkumpul para demonstran. Sebelum mulai berdemo, beberapa orang orator membakar semangat para demonstran dengan membahas permasalahan-permasalahan yang dihadapi saat ini. Tidak luput dalam pembahasan, Indonesia masuk dalam orasi yang disampaikan. Orator mengecam keras adanya pembakaran lahan yang menyebabkan bencana asap dan berharap melalui aksi ini, para pemimpin-pemimpin dunia membuat kebijakan yang pro-bumi.

“What do we do?” teriak salah seorang orator.

Yang dibalas, “Stand up fight back!” oleh para demonstran dengan antusias sambil mengacungkan spanduk-spanduk yang mereka bawa.

Saat orasi selesai, massa mulai bergerak dari Treasury Garden menuju ke Old Treasury Building dan Gordon Reserve di Macarthur Street, Collins Street dan berbelok di Russel Street menuju Flinders Street yang akhirnya kembali ke titik kumpul. Sepanjang demo, teriakan-teriakan massa terus bergema membunyikan slogan seperti “Coal! Don’t dig it! Leave it on the ground, it’s time to switch it!” dan “Hey hey ho ho, Adani mine has got to go!”

Saha dan Enem, dua orang siswi sekolah menengah atas membeberkan alasan mereka untuk ikut serta dalam aksi. “Ini merupakan masa depan kami juga!” ujar Saha. 

Menjadi seseorang yang peduli lingkungan itu sangat penting!” timpal Enem yang bersama Saha berasal dari Afghanistan ini. “Sudah saatnya mereka sadar bahwa kekuatan yang mereka miliki seharusnya digunakan untuk kebaikan,” tutupnya.


Alasan lain dikemukakan Freya yang berprofesi sebagai penjaga bayi. Berangkat dari keresahan akan masa depan anak-anak, Freya yang pernah tinggal di Yogyakarta sebagai pengajar ini akhirnya memutuskan untuk ikut ambil bagian dalam aksi besar di Treasury Gardens. “Saya peduli tentang anak. Ketika saya menghabiskan waktu bersama anak-anak, saya merasa sangat sedih. Saya meragukan masa depan mereka. Saya mau masa depan mereka bagus,” kisahnya kepada OZIP. 

Bagi Michelle, salah seorang mahasiswi Monash University yang ikut turun aksi, dirinya percaya bahwa walaupun kontribusi individu terhadap pemanasan global relatif kecil apabila dibandingkan dengan industri, perubahan kecil dari diri kita sendiri akan tetap ada efeknya jika dilakukan bersama-sama. 

“Latar belakang pendidikanku di bidang kesehatan dan sebelumnya aku bekerja di lembaga yang mengangkat isu kesehatan manusia dan kesehatan alam. Aku percaya kalau keduanya berkaitan erat dan menurutku, semakin lama kita tidak mengindahkan masalah pemanasan global, semakin pasti kita mengancam kelangsungan hidup kita sendiri,” jelas mahasiswi yang berasal dari Jakarta ini. 

Pada akhirnya, mengutip salah satu tulisan peserta aksi, “How many humans does it take to change a globe?” Mungkin tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini, cukuplah kita menjadi bagian dari perubahan dimulai dari diri sendiri. Selamat berkontribusi untuk kebaikan dunia. 

Teks dan foto: Mutia Putri