Catatan dari Chinese Conference 2019: Bukan sekadar masalah rasial dan nasionalisme

Awal Oktober lalu, tepatnya tanggal 1-3 Oktober 2019, Herb Feith Indonesia Engagement Centre (HFIEC) menggelar konferensi bertajuk “Chinese Indonesians: Identities and Histories” di Kampus Clayton Monash University. Perhelatan tiga hari ini mempertemukan kalangan akademisi, seniman, jurnalis, pebisnis, hingga praktisi budaya populer dan elemen pemerintahan. Mereka datang dari tujuh negara dan empat benua; sepertiga hingga seperempatnya berasal dari Indonesia, dan lebih dari separuhnya berasal dari luar Australia.

Bertemunya Akademisi dan Praktisi

Presentasi Prof. Karen Strassler

Konferensi dibuka dengan Welcome Reception di hari Selasa (1/10) malam. Dihadiri oleh peserta konferensi, akademisi, Indonesianis, dan masyarakat umum, acara pembukaan tersebut menghadirkan Prof. Karen Strassler dari Queens College dan CUNY Graduate Center, Amerika Serikat. Dalam kesempatan ini, Prof. Strassler menyampaikan pidato tentang bagaimana fotografi membuka pandangan kita tentang komunitas Tionghoa di Indonesia. Menghadirkan sejarah fotografi sejak masa kolonial hingga paskakemerdekaan, Prof. Strassler mengungkap bahwa Indonesia Tionghoa merupakan sebagai partisipan aktif dalam proses nation building. Ia memberi contoh pada periode pasca-kolonial awal, fotografer amatir dan studio Indonesia Tionghoa bertindak sebagai perantara budaya yang memediasi arus global; fotografer etnis Tionghoa juga menghasilkan ikon yang berbeda dan menjadi elemen penting dalam budaya visual dan politik Indonesia.

Launching buku dimoderatori oleh Prof. Ien Ang

Di hari kedua dan ketiga (2-3/10), konferensi diisi dengan panel-panel diskusi bertema ilmiah maupun populer. Khusus di hari ketiga, keynote speaker kedua, Dr. Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia) menyampakan pidatonya tentang Ahok dan politisi Tionghoa-Indonesia. Sejarawan yang juga aktivis kebudayaan ini membahas dinamika politik di Indonesia setelah era Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Ia menilai, meski telah menjadi kontroversi, ‘lengser’-nya Ahok tidak lantas memukul mundur kiprah politisi Tionghoa-Indonesia. Faktanya, ujar Hilmar, Ahok bukanlah tokoh satu-satunya yang menduduki jabatan politis dalam pemerintahan. Ada sejumlah nama lain yang pernah dan masih menjabat sebagai politisi. Selain itu, nilai-nilai yang diusung Ahok dilanjutkan oleh politisi lain saat ini.

Jayanto Damanik menunjukkan cara membuat lampion
Jayanto Damanik menunjukkan cara membuat lampion
Sajian lengkap Lontong Chap Go Meh

Di luar kegiatan akademik, peserta dan pengunjung konferensi juga menikmati berbagai kegiatan tambahan seperti pameran batik dan benda antik khas peranakan Cina-Indonesia, workshop membuat lampion, hingga demo masak Lontong Chap Go Meh. Dalam Chinese lantern workshop, seniman Jayanto Damanik Tan mengajak para peserta membuat sendiri instalansi lampian Tionghoa dari kertas origasmi. Sementara di kegiatan demo masak, Vivian Sutanto, ahli dan praktisi kuliner peranakan, mempraktikkan cara memasak Lontong Chap Go Meh, salah satu menu wajib di setiap perayaan Imlek. Pada kegiatan ini, peserta yang hadir memenuhi MPavilion Monash University berkesempatan mencicipi telur pindang berkuah lodeh hasil masakan Vivian. Di ajang pameran, Irwan Julianto dan Lily Wibisono memajang koleksi batik peranakan Tionghoa-Indonesia milik mereka masing-masing.

Vivian Sutanto tengah bertopi pink bersama sebagian pengunjung Cooking Demo

Membuka Diskusi

Menurut Direktur HFIEC sekaligus Covenor konferensi, Prof. Ariel Heryanto, konferensi mencoba untuk mengatasi dua masalah terbesar masyarakat Indonesia dalam membahas topik-topik yang berkaitan dengan Tionghoa. “Pertama, cara berpikir biner masih kuat dalam berbagai wacana soal Tionghoa di tanahair,” ujar Prof. Ariel. Ia mencontohkan adanya dua narasi stereotip yang amat biner tentang kelompok Tionghoa: tidak patriotic versus sangat nasionalis. “Seakan-akan ada satu komunitas etnis yang kurang-lebih homogen; seolah ada kaitan esensial antara sebuah kelompok etnis dengan bobot nasionalisme,” tambahnya.

Masalah kedua adalah banyak orang masih trauma dengan berbagai kekerasan rasis terhadap kelompok minoritas ini yang terjadi berulang kali, salah satunya adalah konflik 1998. Dampak trauma itu tidak hanya dirasakan warga etnis itu sendiri, tetapi juga mereka yang di luar kelompok etnis tersebut. Karenanya, diskusi tentang Tionghoa di tanahair menanggung beban mental yang berat. Rasa sedih, amarah, malu, kecewa, atau bahkan putus-asa seringkali mendominasi diskusi. “Ini bisa dimaklumi,” ujar Prof. Ariel. “Tapi, mau sampai kapan? Suatu saat perlu kita tengok duduk persoalan tersebut sebagai bagian dari masalah lebih besar, dengan wawasan kesejarahan lebih luas.”

Menurut Irwan Julianto, salah satu exhibitor sekaligus presenter, konferensi ini amat bagus sebagai ajang pembahasan peran dan identitas warga Tionghoa dalam sebuah bangsa bernama Indonesia. “Salah satunya adalah rekomendasi dari Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid untuk merevisi buku Sejarah Modern Indonesia,” katanya. “Ini hal yang sangat positif karena buku-buku sejarah yang ada saat ini menghapus nama-nama dan peran wakil/tokoh Tionghoa dalam pembentukan Republik Indonesia,” ujarnya lagi.

Rekomendasi dari Dr. Hilmar Farid tersebut menghasilkan rumusan petisi yang disusun oleh peserta konferensi. Petisi tersebut meminta Presiden RI Joko Widodo untuk “meluruskan” sejarah dan merevisi buku-buku sejarah kemerdekaan Indonesia yang beredar agar memasukkan peran tokoh-tokoh Tionghoa dalam masa pembentukan bangsa Indonesia. 

“Petisi tersebut disusun oleh peserta, menanggapi undangan Pak Dirjen untuk memberi masukan tertulis untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Prosesnya sudah sampai mana, saya kurang tahu. Tapi, jika memang bisa kami bantu, tentu kami senang mendukung, sesuai dengan ajakan Pak Dirjen,” kata Prof. Ariel.

Ke depannya, menurut Irwan, agar topik-topik sensitif seperti masalah etnis Tionghoa ini bisa didiskusikan lebih terbuka, perlu ada cara yang lebih soft misalnya diskusi buku, pameran batik dan artefak-artefak budaya Peranakan. “Komunitas Lintas-Budaya Indonesia (KLBI) sudah pernah melakukan kegiatan seperti ini dan pesertanya membludak. Beberapa organisasi lain juga sudah pernah,” katanya. Artinya, terdapat alternatif kegiatan yang bisa dilakukan untuk membawa topik sensitif ke masyarakat awam.

Prof. Ariel sendiri menyatakan bahwa konferensi kemarin bukanlah yang terakhir. Ke depan, institusi ini akan terus menyelenggarakan kegiatan-kegiatan bertema serupa, sesuai dengan isu-isu lain yang juga menjadi perhatian institusi ini, misalnya yang berkaitan dengan Islam, atau pendidikan dan gender.

Teks: Pratiwi Utami

Foto: Pratiwi Utami/Anita Dewi