Bahasa Indonesia Masih Ada di Australia

Berapakah jumlah warga Indonesia yang sebenarnya di Australia? Sejauh penelusuran Ozip, jumlahnya hanya perkiraan saja, yakni sekitar 100.000 orang. Jika merujuk data sensus Australia 2011, terdapat 63.160 orang yang lahir di Indonesia yang tinggal di Australia. Sementara jumlah pelajar pada 2012 berdasarkan visa yang masuk ke departemen pendidikan Australia adalah 17.514. Ditambah pendatang Indonesia lainnya, maka dicapailah angka perkiraan itu. Jumlah tersebut sangat signifikan jika dijadikan modal diplomasi bahasa dan budaya.

Bayangkan, apabila 100.000 pendatang asal Indonesia itu menjadi duta budaya Nusantara di Australia. Sungguh akan menjadi kekuatan promosi yang luar biasa. Keragaman asal-usul para pendatang itu akan menjadi modal besar dalam memperkenalkan keragaman Nusantara. Akan menjadi satu orkestrasi yang rancak dan menarik. Tinggal menunggu kehadiran para penggerak dan lembaga yang mampu menjadi dirijen agar keragaman itu menjadi simfoni yang indah.

 

Dari mana hendak kita mulai? Dari kemampuan berbahasa. Setiap pendatang asal Indonesia yang mengais rejeki dalam berbagai profesi dan tengah menempuh studi di Australia, pasti bisa berbahasa Indonesia. Kemampuan itulah yang bisa jadi titik pijak pertama. Jika satu orang bisa mengajarkan bahasa Indonesia kepada satu warga Australia, hasilnya sungguh akan mengejutkan di kemudian hari.

 

Bukankah mengajarkan Bahasa Indonesia perlu keahlian dan sertifikat tertentu? Untuk menjadi guru atau dosen di dalam kelas, tentu saja harus memenuhi kualifikasi. Akan tetapi untuk menjadi mitra atau partner dalam praktik berbahasa Indonesia, siapa pun, dengan profesi apa pun, bisa melakukannya. Pengalaman Nicholas Jackson membuktikan hal itu. Nick, demikian alumni Monash University itu biasa disapa, kini tengah mengikuti program mengajar di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di Yogyakarta. Hampir setiap malam, Nick nongkrong di warung angkringan. Dengan telaten ia memungut berbagai kosa kata baru dari pembeli dan penjual yang tak ditemukannya saat belajar di kampus. Dengan bertemu warga biasa itulah kemampuannya berbahasa Indonesia semakin terasah. Ia bahkan kini fasih pula berbahasa Jawa.

 

“Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa di dunia yang memiliki kedalaman konteks yang sangat tinggi,” ujar pakar komunikasi interkultural Wieke Gur. “Setiap kata dalam Bahasa Indonesia memiliki sejarah panjang dan mengandung unsur kebudayaan yang sangat dalam dari tempat di mana kata itu lahir dan berkembang,” sambungnya.

 

Dari paparan Wieke itu, bisa dipahami jika tidaklah mudah bagi seseorang yang hanya mengenal bahasa Inggris dalam hidupnya, tiba-tiba harus mempelajari sebuah bahasa yang lahir dari masyarakat pemilik ratusan bahasa daerah yang sangat multi kultural. Tak heran jika salah satu kendala dalam belajar bahasa Indonesia di kalangan orang Australia ialah rasa malu untuk praktik berbicara.

 

Pengalaman empat aktivis AIYA juga memperkuat hal itu. Untuk sampai fasih seperti mereka saat ini, harus melalui proses pembelajaran yang cukup panjang, rata-rata 10 tahun. Memang, sekali jatuh hati pada Indonesia, biasanya seorang pelajar Australia tak akan jatuh ke lain hati. Jumlah mereka di dalam kelas-kelas bahasa Indonesia mungkin tak sebanyak yang studi bahasa lain, tetapi mereka lebih “setia” dan mau belajar hingga tahap tertinggi. Dari alur itulah selalu lahir para ahli Indonesia dari kalangan akademisi Australia. Dan merekalah yang selama ini sangat gigih membela tetap hadirnya pengajaran bahasa Indoensia di Australia.

 

Jadi, ayo kita bersama-sama ikut andil dalam mempromosikan bahasa dan budaya Indonesia di negeri Kangguru ini. Mantan Menteri Menteri Multikultural dan Kewarganegaraan Victoria Nicholas Kotsiras mengingatkan, “Kewajiban mempromosikan Bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada guru atau lembaga bahasa saja, tetapi juga merupakan beban moril bagi seluruh masyarakat Indonesia di Australia.” Dengan upaya bersama itulah Bahasa Indonesia selamanya akan tetap ada di Australia.

Nicholas Kotsiras

Mantan Menteri Menteri Multikultural dan Kewarganegaraan Victoria

Nicholas Kotsiras
Nicholas Kotsiras

“Komunitas Indonesia Harus Ikut Promosikan Bahasanya”

 

Tahun 2014 menandai berakhirnya masa bakti Hon. Nicholas Kotsiras untuk pemerintah Victoria. Setelah 14 tahun lamanya mewakili daerah pemilihan Bulleen, pria berdarah Yunani ini menyatakan pensiun dari dunia politik pada Januari lalu. Hampir tiga setengah tahun Kotsiras menjabat sebagai Menteri Multikultural dan Kewarganegaraan (Minister for Multicultural Affairs and Citizenship) untuk Victoria dan satu tahun lamanya beliau menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya (Minister for Energy and Resources). Ia mengakhiri masa jabatannya terkait masalah kesehatan serta keinginannya untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk keluarganya.

 

Beberapa waktu yang lalu OZIP sangat beruntung mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan tokoh yang sangat memahami perihal multikulturalisme ini. Pria yang tegap dengan sorot mata ramahnya ini, tampak siap menyambut setiap warga yang datang dan menjunjung tinggi hak setiap komunitas di Victoria. “Merupakan sebuah fakta bahwa identitas kita [Victoria] terdiri dari beragam budaya,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa komunitas Indonesia adalah bagian dari Victoria. Tidak ada suatu komunitas yang hanya “tambahan” atau lebih penting dari komunitas lainnya. Kebanyakan orang sering terjebak dalam debat mengenai keuntungan apa yang bisa dihasilkan dengan adanya kehadiran suatu komunitas. Menurut Kotsiras, aneka ragam budaya sudah sepatutnya untuk diterima dengan tangan terbuka.

Apa yang tampak di mata pria ini bukanlah sejumlah kelompok yang ekslusif, melainkan individu-individu dengan beragam latar belakang, agama, dan tradisi. Itulah identitas sebenarnya dari Victoria, bahkan Australia. Negeri ini bukanlah tanah dengan kelompok budaya yang terpecah-pecah. “Sudah tidak ada lagi kami dan mereka. Sekarang semuanya adalah kami,” kata Kotsiras. Dalam beberapa generasi ke depan, pria yang akrab disapa Nick ini sangat yakin bahwa tidak akan ada lagi keunikan budaya di Australia. Negeri Kangguru akan menjadi sama seperti negara lain yang menganggap keanekaragaman itu wajar, seperti halnya dengan Amerika Serikat. Namun, untuk mencapai hal ini, hendaknya warga Australia memelihara bahasa dan tradisi yang mereka pegang, serta menghargai budaya individu lain. “Hal inilah yang akan memperkuat Victoria,” imbuhnya.

 

Akan tetapi, apakah penghargaan yang diberikan oleh warga Victoria terhadap ragam bahasa dan budaya sudah cukup? Buktinya, kita melihat penurunan drastis terhadap minat warga Australia untuk mempelajari Bahasa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun sekarang jumlahnya perlahan sudah mulai meningkat lagi, tetap saja jumlahnya masih tergolong rendah dibandingkan dengan jumlah pelajar bahasa lain.

 

Menanggapi ini, Kotsiras menjelaskan bahwa ini bukan saja tanggung jawab pemerintah tapi juga kewajiban komunitas Indonesia. “Mereka, para guru Bahasa Indonesia, harus meyakinkan murid-muridnya mengapa mempelajari Bahasa Indonesia itu penting. Mengapa mereka harus belajar Bahasa Indonesia. Dan apa saja keuntungan mempelajari Bahasa Indonesia,” ucapnya.

 

Menurut Kotsiras, harus ada kerja sama antara pemerintah Australia dan komunitas Indonesia di Victoria. Di satu sisi, pemerintah Australia menyediakan sumber daya seperti membuka kelas dan mempekerjakan guru-guru Bahasa Indonesia. Di sisi lainnya, komunitas Indonesia punya kewajiban untuk mengajak masyarakat luas mempelajari bahasanya. “Beri tahu anak-anak muda Victoria, apa sih keuntungannya belajar Bahasa Indonesia?” kata Kotsiras. Kebanyakan anak-anak muda tertarik belajar suatu bahasa karena bahasa itu sedang trend. Nah, warga Indonesia juga harus pintar-pintar memanfaatkan budaya modern untuk menarik lebih banyak murid asing untuk belajar Bahasa Indonesia.

 

Pemerintah Indonesia juga wajib terlibat dalam strategi ini. Kotsiras memberikan contoh dimana pemerintah Yunani mensubsidi guru-guru Australia untuk mempelajari bahasa Yunani. Dengan cara ini, otomatis taraf pendidikan bahasa Yunani di Australia semakin maju. Nah, bagaimana dengan Bahasa Indonesia? Kewajiban mempromosikan Bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada guru atau lembaga bahasa saja, tetapi juga merupakan beban moril bagi seluruh masyarakat Indonesia di Australia.

(Pingkan Palilingan/Foto: John Purba)

Nyoman Riasa

Ketua Umum Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (APBIPA) 

“Penutur Asli Bahasa Indonesia Sangat Diperlukan”

Nyoman Riasa
Nyoman Riasa

 

Bahasa Indonesia itu terus berkembang dinamis baik dalam penambahan kosa kata maupun penggunaannya. Kecepatan perkembangan ini tidak selamanya bisa diikuti oleh guru Bahasa Indonesia di Australia apalagi bagi mereka yang bukan penutur asli.  Sementara murid-murid sekarang dengan mudah mendapatkan contoh praktik berbahasa Indonesia dari internet. Maka ketidaksiapan guru dalam menjawab rasa penasaran murid itu cukup menghambat. Anak-anak muda Indonesia harus melihat hal ini sebagai peluang kerja yang cukup terbuka. APBIPA siap membantu dan memandu siapa saja yang berminat untuk menjadi guru Bahasa Indonesia di manapun.

 

Jika dibandingkan dengan tahun 90-an, di tingkat universitas memang terjadi penurunan. Tetapi sampai tingkat menengah, masih bertahan, khususnya di tiga negara bagian: Victoria, New South Wales, dan Australia Barat. Di Victoria merupakan yang terkuat dan menjadi pilihan kedua setelah Bahasa Italia.

Perkembangan menarik justru diperlihatkan dari tanah air dimana minat pada studi Bahasa Indonesia di tingkat universitas semakin menguat. Para mahasiswa dating dari kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan China. Fakta ini menunjukkan bahwa sesama warga Asia melihat masa depan ekonomi Indonesia yang cerah. Jika tidak berbenah dan mengejar, maka Australia akan semakin ketinggalan dari negara-negara tetangga yang lain. Salah satu masalah di Australia ialah publikasi mengenai Indonesia yang belum kondusif.  Terutama belum adanya  dukungan dari kalangan media. Mungkin tidak akan pulih seperti sebelumnya karena ada riak politik masa lalu yang susah dihilangkan.

Dalam kondisi semacam ini, justru saat yang tepat bagi kita untuk memperkuat diplomasi bahasa dan budaya, sebelum diplomasi ekonomi  berjalan. Memang, jika ekonomi Indonesia menyediakan banyak lapangan pekerjaan bagi warga Australia, persepsi positif dengan sendirinya akan tumbuh. Hal itu bisa dibandingkan dengan hubungan Australia dan China yang sangat erat begitu ekonomi negeri Tirai Bambu itu menguat.

 

Saat ini kita harus bersama-sama mendukung pendidikan dan pengajaran bahasa Indonesia di Australia. Sebab Australia adalah satu-satunya negara di dunia yang memasukkan Bahasa Indonesia dalam kurikulum nasional yang harus diajarkan dari mulai tingkat Prep hingga kelas 11. Sekalipun harus bersaing dengan bahasa-bahasa lain, kebijakan ini sangat strategis dan harus didukung oleh semua komponen bangsa. Terus terang sampai saat ini dukungan baik secara formal (pemerintah) maupun informal (lembaga profesi/masyarakat) belum maksimal. Setidaknya kita bisa meniru Jepang yang mendukung pengajaran bahasanya melalui JICA (Japan Internasional Cooperation Agency) atau Bahasa Mandarin yang didukung funding internasional mereka. Secara kelembagaan kita sudah memiliki perangkat pendukungnya seperti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) dan Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (APBIPA). Sudah saatnya kedua lembaga ini bersinergi untuk memanfaatkan celah yang terbuka seperti di Australia. Tetapi juga tidak melupakan pembinaan ke dalam. Jika dalam pariwisata dikenal istilah Sadar Wisata, maka sudah waktunya kita kembangkan Sadar BIPA. Bahasa Indonesia dapat menjadi alat perekat budaya dengan negara-negara tetangga termasuk Australia. Keahlian mengajar untuk penutur asing ini juga menjadi lapangan kerja yang sangat terbuka. Sebagaimana diketahui, mayoritas pengajar Bahasa Indonesia di Australia bukan orang Indonesia.

 

Saat ini, para penggerak BIPA di Autralia dari wilayah Timur hingga ke Barat, sebagian besar adalah orang lokal atau bule. Saya berharap di masa depan, warga Indonesia yang sudah menetap di sini bahkan menjadi warga negara Australia, bisa menjadi motor pengembangan BIPA. Penutur asli itu akan sangat membantu para siswa dalam memahami bahasa Indonesia. Dengan tampilnya para guru asal Indonesia sebagai penggerak BIPA di seluruh Australia, diharapkan bisa menciptakan satu standard yang sama di setiap negara bagian. Penutur asli juga akan cepat beradaptasi dengan dinamika dan perkembangan Bahasa Indonesia.

 

(Foto: Ineke)