Yang Muda Yang Merdeka

“Beri aku 1.000 orang tua,

Niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya.

Beri aku 10 pemuda,

Niscaya akan kuguncang dunia!”

Ir. Soekarno

Kemerdekaan adalah gelora dan semangat muda. Gairah para pemuda yang menggelombang pada era revolusi itu, telah memberikan andil pada lahirnya proklamasi 17 Agustus 1945. Gelombang yang sama menggelora di ujung Orde Lama dan Orde Baru, menumbangkan pemimpin yang dianggap tiran. Sajian teater Soe Hok Gie Lensa Kecil Seorang Pejuang dari PPIA Victoria, dengan cerdas memperlihatkan suasana sosial-politik kejatuhan Soekarno. Sementara suguhan Chinese Whispers dari Rani Pramesti, memperlihatkan babak pembuka dari gerakan reformasi 1998, menjelang kejatuhan Soeharto.  Semangat muda memang tak bisa dibendung. Pembatasan, pemenjaraan, ancaman, hanya menunggu waktu untuk diterabas dan diterjang.

Dalam gerak waktu, pemuda mengambil peran. Penuh gairah, ngotot, gigih, kompak-serempak, itulah ciri mandiri kaum muda. Memang, karena luapan semangat itu, kadang mereka jadi kurang perhitungan, usil, dan abai pada detail. Seusai perjuangan, kerap kali perjuangan kaum muda ini dikangkangi kelompok “tua” yang tujuannya hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan.

Siapa sih yang muda yang merdeka itu? Muda sebenarnya tak melulu soal usia dan tampilan ragawi, melainkan semangat perjuangan. Semangat yang tak kenal usia. Jadi, bisa siapa saja yang tetap gelisah melihat ketimpangan di tanah airnya dan mau bergerak. Berbuat nyata dengan talenta yang dimilikinya.

Yang muda yang merdeka adalah mereka yang terpanggil untuk menjadi pasukan pengibar bendera (Paskibra), yang rela berlatih malam hari di tengah cuaca dingin. Mereka yang terus menelurkan karya seperti meluncurkan album hip hop Jiwa Merdeka. Mereka yang mengadakan 17-an yang tak biasa, dengan mengibarkan merah-putih di “puncak salju” Victoria di Mt. Buller.  Juga mereka yang mengumpulkan 69 orang untuk membuat konfigurasi tari Saman di pusat keramaian kota Melbourne. Begitu pula aneka permainan atau perlombaan khas 17-an seperti makan kerupuk, balap karung, dan poco-poco adalah luapan kegembiraan sebagai tanda mensyukuri nikmat kemerdekaan.

Tentu saja, ini bukan melulu soal-soal yang serius. Yang muda yang merdeka adalah mereka yang bisa memandang kemerdekaan dengan tertawa. Mengevalusi capaian kemerdekaan yang sudah diraih yang menurut Panji Pragiwaksono, bintang pagelaran Pandawa 2014 kolaborasi PPIA Deakin dan Swinburne University, masih menyisakan diskriminasi pada kelompok minoritas. Justru dengan tertawa selama empat jam itulah, satu kesimpulan lahir: Mesakke Bangsaku, kasihan bangsaku. Itulah kaum muda, kelihatannya ketawa-ketiwi saja, ternyata mereka memikirkan bangsanya dengan amat serius.

Bonus demografi penduduk Indonesia pada 10-15 tahun mendatang, seharusnya dapat disyukuri dan disambut gembira. Akan tiba saat dimana anak-anak muda Indonesia menentukan arah bangsanya. Tinggal bagaimana anak-anak muda ini tetap mendapatkan kemerdekaannya untuk berkreasi. Sebaliknya bagaimana kaum muda ini bisa mempertahankan kemerdekaannya untuk berkarya. Inilah saatnya bersinergi, menyatukan potensi dan mengurangi faktor-faktor yang melahirkan gesekan dan resistensi. Kita menerima dinamika, tetapi menolak anarki. Kita menerima perbedaan, tetapi menolak pemaksaan kehendak.

Anak-anak muda Indonesia telah ikut berjuang di setiap lintasan zaman. Jangan kotori lagi ketulusan mereka dengan perilaku diktator. Mereka sudah memberikan sumbangsih sesuai talenta yang diberikan Tuhan. Jangan khianati lagi kesungguhannya dengan warisan budaya korupsi. Mereka berdiaspora dengan nama besar Indonesia yang melekat di dadanya. Jangan sekali-kali rusak kecintaannya pada pertiwi itu dengan mengkhianati kepercayaan amanat rakyat.

Yang muda yang merdeka. Merekalah harapan masa depan Indonesia.