WISATA HALAL

“Kami, masyarakat Kristen Nasrani, menolak wisata halal!” demikian kata seorang tokoh dari kawasan Toba, Sumatera Utara.

Wacana yang digulirkan Gubernur Sumatera Utara (GUBSU) Letjen. Edy Rahmayadi ditanggapi dengan kian sengit oleh para penentang.

Sejatinya, Pak GUBSU hanya sekadar ingin lebih menyemarakkan dan menggiurkan destinasi Danau Toba agar lebih menarik bagi para pengunjung mancanegara yang beragama Islam, seperti dari Malaysia dan Brunei. Dengan wisata halal, destinasi Danau Toba juga mungkin juga akan menjadi kian menarik bagi para wisatawan Timur Tengah.

Memang di kawasan Toba sudah ramai rumah makan yang menghidangkan sajian halal, termasuk restoran Padang. Fasilitas juga telah dibangun untuk memudahkan pelaksanaan salat, berupa masjid, musala, alas salat bersih di setiap ruang hotel dan tanda panah yang menunjukkan arah kiblat.

Alhasil, Pak GUBSU harus mengklarifikasikan makna dan tujuan dibangunnya wisata halal untuk meredakan sentimen masyarakat yang menentang konsep wisata halal.

Diantara mereka, termasuk pula mantan calon wakil gubernur Sumatera Utara Sihar Sitorus yang dikalahkan oleh pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah dalam PILKADA GUBSU 2018. Namun, Sihar kemudian terpilih sebagai anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam Pemilu serentak yang diselenggarakan di bulan April 2019 lalu. Latar belakang beliau adalah sebagai seorang penerus usaha kelapa sawit yang dirintis oleh mendiang ayahnya D.L. Sitorus. 

Apa hendak dikata, wacana wisata halal ini pun dengan cepat dibicarakan, dikecam, diejek, dicemooh dan disindir oleh pihak masyarakat.

Mungkin masyarakat juga sekilas berburuk sangka dan menyimpulkan bahwa hakikat tantangan terhadap niat sang GUBSU juga dikarenakan ucapan yang suka disuarakan Pak GUBSU ketika masih menjabat sebagai Panglima Kostrad.

Ketika itu, Letjen. Edy Rahmayadi sering mengingatkan peranan besar dan jasa para syuhada dalam memerdekakan Indonesia. Ucapan sejenis juga suka disampaikan oleh Panglima TNI Jen. (P) Gatot Nurmantyo. Hal ini mungkin menjadi katalis dari kekhawatiran masyarakat akan wacana wisata halal tersebut.

Halal sendiri tidak selalu berujung dan bermakna Islamisasi, meskipun banyak masyarakat Indonesia yang senang menyamakan halal dengan Arabisasi. Namun, statistik menunjukkan bahwa saat ini pengunjung/wisatawan terbanyak di Indonesia adalah wisatawan Malaysia yang mencakup 55% dari seluruh persentase wisatawan mancanegara di Indonesia.

Wisata halal juga dapat membantu meningkatkan minat turis asal Malaysia yang ingin mengunjungi Indonesia dengan memudahkan kebutuhan mereka dalam salat dan mencari ragam makanan halal.

Berdasarkan data Global Muslim Travel Index 2019, pada tahun 2026 angka jumlah wisatawan muslim yang melancong ke mancanegara diprediksi akan mencapai 230 juta. Pemasukan dari wisatawan Muslim turut diperkirakan mencapai angka US$ 300 juta dalam skala ekonomi global.

Pada tahun 2019, Indonesia berada di posisi pertama sebagai negara muslim tujuan wisata halal dunia dengan skor 78. Untuk negara non-muslim, Singapura berada di peringkat pertama, yang kemudian disusul oleh Thailand, Inggris, dan Jepang.

“Orang Batak, penduduk asli setempat, memperlakukan pendatang sebagai “Tondong” (saudara) ataupun “Dongan” (sahabat). Di sana-sini, berkeliaran ternak babi dan anjing,” sebut seorang pemuka masyarakat Batak di kawasan Toba.

Dalam agama Islam, babi memang dinilai haramdan anjing dianggap najis.

Dalam kitab suci Umat Islam, Al Qur’an, ada juga firman yang menyuruh “sekalian manusia” agar memakan bukan saja yang halal, melainkan juga berkhasiat.” (QS II: 168).

Daging disebut halal apabila daging tersebut disembelih atas nama Allah. Dari segi kesehatan, setidaknya di Australia, daging dianggap aman untuk dimakan manusia apabila telah disembelih dan darahnya telah dialirkan keluar.

Ketika masih bertugas di Radio Australia, penulis sempat beberapa kali meliput rumah pemotongan hewan. Biasanya, pihak rumah sembelih akan menjelaskan bahwa apabila seekor sapi mati sebelum sempat disembelih maka dagingnya dianggap tidak layak untuk dimakan manusia. Dan daging dari sapi atau domba yang mati sebelum disembelih (darahnya tidak sempat dialirkan) akan dijadikan bahan untuk makanan binatang peliharaan seperti anjing dan kucing.

Harus diakui, di Australia, Inggris dan sejumlah negara mayoritas non-Muslim, memang terkesan adanya rasa “alergi” terhadap kata “halal”.

Otoritas Serfifikasi Halal Australia, Mohamed El-Mouelhy mengatakan pasar ekspor halal Australia bernilai lebih dari AUD 10 miliar (sepertiga dari ekspor bahan makanan Australia ke negara-negara Muslim) dan merupakan industry yang bertumbuh pesat.

Berbagai perusahaan bahan makanan di Australia telah melakukan “penghalalan” dari produk mereka.

Perusahaan keju Bega, misalnya, harus menambah anggota pekerjanya yang dari sebelumnya hanya berjumlah 100 orang menjadi 500 orang karena besarnya permintaan akan keju halal. Jelas yang diuntungkan dalam “penghalalan” itu bukan saja para pekerja melainkan juga pemilik usaha.

Meski kampanye anti halal memang cukup menggebu, namun, Mohamed El-Mouelhy menuturkan bahwa pihaknya tidak perlu menjajakan sertifikat halal kepada para pengelola bisnis di Australia. “Mereka yang mendatangi kami,” katanya.

Dirinya juga sempat berkelakar ketika salah seorang pimpinan kampanye anti makanan halal di Australia menentang ekspor coklat halal. Katanya “Sekadar makan yang halal tidak akan menjadikan Anda Muslim.”

Pihak pabrik coklat mengatakan tidak ingin membatalkan sertifikat halalnya karena usahanya itu menyangkut kesejahteraan hidup cukup banyak karyawan dan karyawatinya, yang umumnya adalah umat non-Muslim.

Ketika kegemparan terjadi di Inggris karena sejumlah warung siap saji menghidangkan makanan halal (KFC, Pizza dan Subway), seorang dokter hewan non-muslim negara itu menyarankan kepada para penentang agar mengalihkan perhatian dan perjuangan mereka untuk menyelamatkan babi betina di negara itu.

Kenapa babi betina di Inggris perlu diselamatkan?

Sebagaimana dilaporkan berbagai media di Inggris,”Kehidupan babi-babi betina yang dijadikan induk di Inggris, dan 90 persen negara Eropa, sungguh berat dan teruk.”

Babi-babi betina ini harus menyara hidup dalam kandang yang sempit dan berulang-ulang dihamilkan secara artifisial mulai dari usia enam sampai dengan delapan bulan. Akibatnya, seekor babi betina seperti akan melahirkan sampai 10 ekor anak babi, bukan empat atau lima seperti di habitat alamiahnya.

Seminggu sebelum melahirkan, babi betina akan dikerangkeng dalam kandang sempit dan akan menetap di dalam kandang selama sebulan. Anak-anaknya kemudian akan menyusu dari kandang lain yang ditempatkan dekat dengan induknya. Anak-anak babi itu dipisahkan karena khawatir akan terinjak oleh sang induk.

Meskipun masa sapih babi biasanya terjadi setelah dua atau tiga bulan, pabrik-pabrik babi di Inggris dan Eropa memisahkan anak-anak babi itu setelah tiga atau empat minggu agar induknya dapat dihamili lagi. 

Tidak lama, anak-anak babi itu akan turut menjadi santapan manusia pula.

Sungguh sedih hati mendengar penderitaan yang harus dialami oleh babi-babi tersebut. Mungkin ada baiknya juga jika wisata halal diterapkan dalam jejak turisme dunia.

Wallahu a’lam