Wajah Begitu Manis, Kok, Kata-Katanya Begitu Pedas?

Beberapa tahun lalu, ketika sedang melancong di sebuah negeri di Eropa yang alamnya bukan main cantiknya, belum lagi lanskap geografis, warisan bangunan dan sistem sarana publiknya yang membuat iri, saya beberapa kali menjumpai perilaku yang tidak terlalu menyenangkan di toko-tokonya. Suatu pagi, dengan rasa agak sebal, saya tergesa-gesa melangkah keluar, dan suami saya, yang tidak melihat apa yang terjadi, menyusul saya dan bertanya apa masalahnya.

“Kamu tidak lihat,” jawab saya. “Wajah dan perilaku si pelayan toko? Orang mau jualan, kok, sarapannya minum cuka!”

Lalu saya menambahkan, “Ini bukan pertama kali saya menjumpai kejudesan di negeri ini. Saya tidak mengerti, tinggal di sebuah negeri yang tampil sempurna ini, kok, menyimpan muka begitu asam?”

Beberapa waktu kemudian, saya berpikir, kenapa saya menggunakan kata ‘asam’ dalam menggambarkan wajah menyebalkan si pelayan/pemilik toko.

Dalam tiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, kata-kata sering diberi muatan nilai tambahan oleh penggunanya. Dan kalau jumlah pengguna banyak, lama-lama arti itu menjadi baku. Lalu dalam penggunaannya nilai tambahan dan arti intrinsik kata itu sendiri sering berevolusi dalam perkembangan sosial dalam laju yang berbeda-beda. Coba kita simak kata-kata bahasa Indonesia yang mengemban nilai tambahan ini. Kita ambil dari dunia rasa dan selera.

Dalam dunia selera kata ‘manis’ digunakan untuk makanan maupun minuman yang menjadi kesukaan umum, seperti kolak, kue tart, dan lain-lain, dan minuman limun-limunan, cendol, es tarik, es krim, bandrek, dan lainnya.

Kita masih mengatakan, ‘anak manis’ waktu menggambarkan seorang anak muda yang rupawan dan santun, ‘semuanya disajikan dengan manis’ waktu melukiskan hidangan yang enak dipandang, ‘dia selalu menyambut dengan kata-kata manis,’ waktu menyampaikan rasa senang pada penyambutan seseorang.

Padahal kata ‘manis’ dalam arti orisinalnya sudah mulai turun taraf positifnya. Dalam era sadar-kesehatan sekarang, sering kita mendengar komentar-komentar seperti, ‘Saya tidak suka yang manis-manis. Saya mesti menjaga taraf kolesterol saya’, ‘Jangan khawatir, kolak ini saya bikin tidak manis. Saya juga sedang menjaga taraf kolesterol saya’, ‘Anak-anak jangan dibiasakan makan yang manis-manis, tidak sehat,’ dan seterusnya. Bahkan, seorang teman muda saya begitu serius dengan kesehatan anak-anaknya, mereka tidak diperkenankan sama sekali makan atau minum apa-apa yang bergula! Nah, jelas manis mulai pupus daya pikatnya. Tapi dalam penggunaan yang bermuatan nilai tambahan, ‘manis’ tetap positif.

Kalau kita menyeberang ke sisi yang dianggap negatif, bagaimana dengan penggunaan kata ‘pedas’?

Meskipun pengalaman kepedasan menyantap sesuatu yang terlalu banyak cabainya, jelas tidak menyenangkan, setidaknya di Indonesia, santapan pedas sangat disukai, apalagi oleh ibu-ibu yang sedang hamil muda. Kendati kita selalu berhati-hati dengan elemen pedas dalam menyiapkan makanan untuk anak-anak kita, tapi pada umumnya daya apresiasi pedas seseorang merayap naik seimbang dengan usianya (setidaknya itu yang dialami para anggota keluarga saya).

Bagaimana dengan pemakaian kata ‘pedas’ yang bermuatan nilai tambahannya? Kita memakai kata itu dalam kalimat-kalimat seperti, ‘Alangkah pedas kata-katanya!’ waktu mengungkapkan rasa terkejut dan tersinggung setelah mendengar kata-kata si pengucap, atau ‘Pernyataan dalam surat itu terlalu pedas. Apa kamu memang berniat membuat dia marah dan tersinggung?’

Jadi dalam wujud nilai tambahannya, kata ‘pedas’ bersifat lebih agresif daripada arti intrinsiknya. Dan tidak ada tanda-tanda bahwa dalam arti dengan nilai tambahannya, kata ‘pedas’ bergerak seiring dengan arti orisinalnya. Apresiasi kita pada kata-kata atau pernyataan pedas tidak naik bersama usia. Pada usia setinggi apapun kita tidak merasa nyaman dengan kata-kata maupun pernyataan pedas dari siapapun.

Lalu ada juga kata-kata yang arti sesungguhnya selalu bergerak bersama nilai tambahannya. Umpamanya kata ‘dingin’.

Dalam arti intrinsiknya, dingin berkaitan dengan temperatur. Rasa dingin bisa menyamankan, bisa juga mengganggu, tergantung pada situasi, juga preferensi pribadi kita. Umpamanya, semasa muda, dan dalam masa-masa sehat, saya suka pada cuaca dingin. Waktu tinggal di Jakarta, kepinginnya bolak-balik ke daerah pegunungan melulu, apalagi ke Puncak, yang waktu itu dingin, nyaman dan hijau. Kalau sedang sakit, tentunya siapapun lebih suka menjauhi udara dingin. Sekarang tinggal di negeri yang bermusim dingin, saya sadar betul betapa tidak enaknya rasa dingin.

Dalam penggunaannya, kata ini dengan nilai tambahannya juga bisa positif, bisa negatif.

Dalam kalimat-kalimat seperti, ‘Mari kita melihat masalah ini dengan kepala dingin, jangan cepat-cepat panik dulu. Dengan begitu kita bisa mencari solusinya’, ‘Sesudah Ibu Lurah datang mendinginkan kemarahan massa, suasana mulai tenang’, nilainya positif.

Dalam kalimat-kalimat seperti, ‘Aku sudah mencoba menjelaskan kepadanya, tapi reaksinya dingin-dingin saja’, ‘Mereka hidup sendiri-sendiri sekarang, karena perasaan mereka kepada satu sama lain sudah dingin’, kata ‘dingin’ menggugah rasa kecewa.

Kata ‘tajam’ dalam arti orisinalnya boleh dikatakan netral. Pisau, alat-alat atau senjata tajam tidak memiliki nilai intrinsik yang positif maupun negatif. Tapi dalam arti dengan nilai tambahannya bisa bergerak ke kedua arah.

Seperti kata-kata pedas, kata-kata yang tajam, juga bisa menyakitkan, tapi mata dan observasi yang tajam adalah sesuatu yang didambakan banyak orang, karena implikasinya ialah tidak banyak yang luput dari si pemilik mata maupun pelaku observasi ini.

Tentunya masih ada lagi kata-kata yang dimuati nilai tambahan dalam bahasa Indonesia, tapi apa daya, saya sudah sampai pada batas jumlah kata.

Teks: Dewi Anggraeni

Foto Ilustrasi: Pixabay