Suka Duka Oktober

Bagi Bangsa Indonesia bulan Oktober menyimpan paling tidak dua peristiwa penting- “lahirnya” bahasa Indonesia, yang tentu saja sangat menggembirakan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928?), dan terjadinya peristiwa mengerikan dan menyedihkan yang dikenal dengan singkatan Gestapu alias G30S (Gerakan Tiga Puluh September?).

Meski kini ada sejarawan yang dengan tegas meralat tanggal kejadian Sumpah Pemuda yang dikatakannya pada hakikatnya terjadi dalam tahun 1959, namun umumnya bangsa Indonesia telah terlanjur jatuh hati pada 28 Oktober 1928.

Menurut sejarawan/penulis Batara Richard Hutagalung, sebagaimana disiarkan oleh sejumlah media di Indonesia:

“Itu (28 Oktober 1928) memang bukan kegiatan sumpah-menyumpah. Resmi disebut sebagai ‘Hari Sumpah Pemuda’ baru tahun 1959, melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959, tanggal 16 Desember 1959,” ucap Batara.

Tidak apa-apa. Hari Natal yang dirayakan Umat Kristen untuk memperingati hari lahir Yesus Kristus pada tanggal 25 Desember setiap tahun, sejak tahun 366 Masehi, secara kesejarahan/historis juga tidak tepat, namun tidak menjadi soal. 25 Desember sudah resmi dianggap sebagai hari lahir Yesus Kristus dan dirayakan sebagai Hari Natal oleh hampir semua umat Kristen. Gereja Orthodox, misalnya, merayakan dan memperingati hari kelahiran Yesus sekitar 7 Januari.

Alhasil yang penting adalah “buah” dari peringatan tersebut – dalam hal Sumpah atau Soempah Pemuda alias Pemoeda – adalah adanya bahasa Indonesia, bahasa persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia. 

Inilah yang merupakan salah satu “suka” dari bulan Oktober.

Dukanya?

Itu tadi, seperti yang disebutkan pada awal tulisan ini. Peristiwa pembunuhan kejam atas diri 6 orang jenderal TNI Angkatan Darat dan seorang kapten. Meski disebut Peristiwa 30 September (1965), namun kejadian yang sebenarnya adalah pada tanggal 1 Oktober 1965, sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Dalam bukunya “Demokrasi” (Indonesia in the 21st Century) wartawan senior Australia, Hamish McDonald, pada halaman 43, antara lain, menulis:

“Sekitar pukul 03:15 pagi (dini hari) tanggal 1 Oktober, truk-truk yang membawa tujuh tim tentara berangkat dari Lubang Buaya menuju Jakarta, dan kemudian menyerbu kediaman-kediaman para jenderal yang masih tidur, dan membantai enam orang jenderal dan seorang kapten.”

Jadi, kalau catatan wartawan senior Australia Hamish McDonald, yang sudah kenyang makan asam garam jurnalistik sebagai koresponden luar negeri di 5 negara itu sesuai dengan kejadian pembantaian ke-6 jenderal dan seorang kapten TNI itu, maka Bung Karno tidak keliru ketika menyebut nama suatu gerakan sebagai GESTOK – Gerakan Satu Oktober.

Hanya di kala itu dan pada masa-masa setelahnya banyak yang menyayangkan ucapan Bung Karno itu, karena dianggap seakan mencela tindakan perlawanan oleh TNI, khususnya oleh Mayor-Jenderal Suharto (alm), untuk melibas PKI serta simpatisannya.

Barangkali saja Bung Karno pun tidak nyana secara pasti kapan dan apa yang terjadi pada sekitar waktu itu.

Sementara itu, menurut seorang cendikiawan Amerika yang sudah banyak menulis tentang Indonesia, termasuk kasus G30S, John Roosa, sejatinya dan awalnya tidak ada maksud oleh PKI untuk menghabisi ke-6 jenderal itu.

Tujuan PKI waktu itu, kata John Roosa, adalah untuk menangkap ke-7 jenderal yang kemudian akan diarak dan dilecehkan di depan Bung Karno, meniru apa yang disebut Roosa sebagai “penculikan patriotis” Sukarno dan Hatta serta para pemimpin lainnya dalam bulan Agustus 1945 yang ditengarai oleh “para pemuda”  kurang bertekad untuk menghantam penjajah Belanda.  

Patut diingat bahwa pada waktu itu (1965) Indonesia tidak hanya sedang melancarkan konfrontasi terhadap “Malaysia”, melainkan juga melancarkan revolusi dalam artian yang menggebu-gebu.  Siapa saja yang dianggap kurang  revolusioner, niscaya akan berhadapan dengan kekuatan yang revolusioner. Nah, para jenderal tersebut dianggap kurang revolusioner, makanya perlu dipermalukan. Ironis sejarah, mereka akhirnya menjadi pahlawan di mata sebagian terbesar rakyat Indonesia, bukan pribadi-pribadi yang kurang revolusioner yang pantas dipermalukan.

Menurut Hamish McDonald, ketika akhirnya “isi” Lubang Buaya terungkap, Mayjen Suharto sebagai Panglima Kostrad waktu itu, bersama sejumlah perwira tinggi lainnya, termasuk Kolonel Sarwo Edhie, punya alasan yang cukup kuat untuk meluluh-lantakkan atau menghancur-leburkan PKI, tindakan yang dikatakan Hamish McDonald sangat “melegakan” kepala Dinas Intelijen Pusat Amerika di Jakarta, Hugh Tovar, yang sempat cemas bahwa jangan-jangan TNI akan melewatkan kesempatan untuk menghantam PKI pada waktu itu.

Operasi anti komunis yang kemudian bergulir dan menggelinding dengan cepat, “dikeploki” oleh Barat yang dikatakan tidak berminat untuk angkat suara. Pada hakikatnya, kata Hamish McDonald, justru itulah yang mereka dambakan, laksana suatu kabar gembira, atau peristiwa melegakan. Sebagaimana disebut oleh majalah Amerika, Time, “itulah kabar terbaik” yang telah ditunggu-tunggu sejak lama. Dan pertengahan Oktober 1965 TNI menerima pesan dari Inggris bahwa negara itu, sebagai sponsor pembentukan Malaysia,  tidak akan menyerang Indonesia di tengah-tengah tindakan TNI menghancurkan PKI. 

Tanggal 4 November 1965 Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Marshall Green, mengirim laporan ke Departemen Luar Negeri di Washington, “bahkan kader-kader PKI seukuran ikan teri pun tidak luput dari peringkusan dan penahanan atau eksekusi secara sistematis”.  Dan kepada TNI Dubes Green dikatakan Hamish McDonald, meyakinkan bahwa “Amerika umumnya bersimpati dan mengagumi tindakan TNI tersebut”.

Para petugas intel Inggris di Singapura tidak menyia-nyiakan peluang yang terbuka, dan ikut “melepas” propaganda hitam ke tengah-tengah masyarakat dengan menyebut bahwa banyak senjata yang telah diselundupkan dari Cina ke PKI. Kedutaan Besar Amerika juga menyerahkan kepada TNI daftar berisi nama-nama ribuan kader PKI. Bukan itu saja, pihak intel Amerika bergegas menyerahkan peralatan jaringan komunikasi radio untuk “membantu” TNI. Dan dengan perangkat itu intel Amerika dapat dengan mudah “ikut nguping” segala perintah yang disampaikan pihak TNI di bawah Mayjen Suharto tentang kader-kader PKI mana yang harus dieksekusi di tempat dan mana yang harus ditangkap hidup-hidup.

Tidak ada angka pasti tentang jumlah yang akhirnya melayang nyawanya sebagai akibat dari peristiwa Gestapu/Gestok itu.

Ratusan ribu, mungkin! Satu juta, tidak mustahil!

Apa pun, yang pasti sangat banyak.

Bagaimana sesama bangsa bisa begitu beringas?

Ada yang berteori, dalam perang saudara (kalau itu hendak diumpakan demikian) memang korban yang jatuh sering lebih banyak ketimbang dalam peperangan dengan pihak asing. Sebagai contoh, perang saudara Amerika, menelan lebih banyak korban jiwa ketimbang dalam peperangan-peperangan  lain yang pernah dilakoni Amerika.

Selama ini umumnya bagi rakyat Indonesia ada tiga tokoh yang diakui sangat berperan dalam menghancurkan PKI, terutama Jenderal Suharto (alm) yang waktu itu menjadi Pangkostrad, hingga akhirnya dibuatkan patung Jenderal Suharto, Jenderal Sarwo Edhie dan Jenderal Abdul Haris Nasution. 

Namun menjelang peringatan ke-56 peristiwa tragis itu, timbul kegemparan, karena patung ketiga “pahlawan” tersebut dibongkar, hingga menimbulkan sangkaan dan dugaan yang tidak-tidak.

Cendikiawan Romawi, Cicero, pernah mengatakan, “Lebih baik orang bertanya kenapa tidak ada patung aku daripada kenapa ada patung aku.” 

Kata orang kita, budi yang baik akan tetap terus dikenang baik melalui patung maupun melalui kenyataan sejarah.. 

Wallahu a’lam.