Street Life: Memungut Hikmah dari Jalanan – Gaining Wisdom from the Street

Keindahan dalam tong sampah-OZIP
"Keindahan" dalam tong sampah.

Jalanan adalah bagian dari keseharian kita. Selalu kita lalui entah dengan sadar ataupun tidak. Pemandangan sepanjang kaki melangkah lama-lama terasa monoton. Ibarat robot, kita melintasi jalanan yang sama setiap hari untuk memenuhi ruitinitas hidup. Membuat apa saja yang tampak menjadi biasa, tak lagi memiliki daya kejut. Lumrah dan lazim.

Roda sepeda itu potret kehidupan-OZIP
Roda sepeda itu potret kehidupan, kadang di bawah kadang di atas.

 

Mencoba keluar dari rutinitas dan memberi “nyawa” baru bagi apa yang biasa ditemukan di jalanan, itulah yang menjadi tema pameran seni instalasi Street Life. Juga memberi makna dengan meminjam mitologi yang masih dipercaya masyarakat seperti kepercayaan pada kekuatan gaib.

Kolaborasi seniman dua negara yang dipertemukan oleh Multicultural Arts Victoria, itu menghasilkan karya yang berasal dari benda-benda keseharian di jalanan. Sebut saja gerobak, kios bensin, kotak kayu, tong sampah, sepeda, dan lain-lain. Altiyanto Henryawan RM (sutradara, penulis, sejarawan),  Bimo Suryojati (seniman audiovisual), keduanya dari Jogjakarta berkolaborasi dengan Jesse Stevens dan  Dean Petersen (seniman media) dari Cake Industries Melbourne. Mereka mengangkat keseharaian jalanan di dua kota Jogjakarta dan Melbourne.

Mereka berkolaborasi membuat workshop dan berpameran sebanyak tiga kali. Pertama di Jogjakarta (10 Desember 2014 – 4 Januari 2015), kedua di Melbourne (6 – 19 Maret 2015), dan ketiga akan kembali ke Jogjakarta (Juni 2015).

Jill Morgan-OZIP
Jill Morgan dari Multicultural Arts Victoria.

Ada tong sampah yang tiba-tiba terbelah bagian tengahnya lalu terbuka dan memperlihatkan bunga mawar merah dengan iringan musik. Ada kotak kayu yang berjalan ke sana kemari di tengah kesibukan Pasar Bringharjo di Jogjakarta. Atau kios bensin eceran botol-botolnya mengeluarkan nyanyian Gundul-gundul Pacul.

“Keberhasilan pameran ini adalah kemampuan para seniman untuk mengokupasi pikiran penonton. Ketika penonton terkejut dan mendapatkan makna baru dari benda-benda yang biasa mereka lihat di jalanan, maka tujuan para seniman itu tercapai.” Demikian dituturkan Simon Williams, pengajar Bahasa Indonesia dan penyiar radio, saat menghadiri pameran Street Life di Melbourne.

Lesehan a la Street Life -OZIP
Lesehan a la Street Life bersama Jill Morgan (MAV) dan Konjen Melbourne Dewi Savitri Wahab.

Elaborasi atas kehidupan jalanan di dua kota itu juga memberikan pengalaman baru bagi para seniman yang terlibat. Melihat hard rubbish yang dibuang di depan rumah di seputar Melbourne, Altiyanto dan Bimo bisa membayangkan dari kelas sosial mana si pemilik rumah berasal. Sementara bagi Jesse dan Dean, tinggal di Jogjakarta membuat mereka bisa belajar banyak tentang filosofi hidup orang Jawa.

Gaining Wisdom from the Street

The street is part of our daily life. We are always passing through it either knowingly or unknowingly. The scenery along the long foothills feels monotonous. Like a robot, we traverse the same road everyday to meet the needs of our lives. Make what appears to be normal, no longer shocking. Commonplace and prevalent.

Trying to get out of the routine and give “life” to what is commonly found on the streets, that is the theme of the installation art exhibition Street Life. Also, giving meaning to the borrowed mythology that trusted members of society still hold supernatural powers.

Presentasi Street Life.-OZIP
Presentasi Street Life.

The arts collaboration between the two countries (Australia and Indonesia) was brought together by Multicultural Arts Victoria, it produces works that come from everyday objects in the street. Call it a wagon, petrol stand, wooden box, rubbish bin, bicycle and others.  Altiyanto Henryawan RM (director, writer, historian), Ben Suryojati (audiovisual artist), both of Jogjakarta collaborated with Jesse Stevens and Dean Petersen (media artists) of Cake Industries Melbourne. They explored the streets daily in the two cities of Jogjakarta and Melbourne.

They are collaborating on a workshop and exhibition three times. First in Jogjakarta (December 10, 2014 – January 4, 2015), second in Melbourne (6 – March 19, 2015), and the third will return to Jogjakarta (June 2015).

There is a rubbish bin that suddenly splits in the middle and then opens to show a red rose with musical accompaniment. There are wooden boxes that run to and fro in the midst of Bringharjo Market (Pasar Beringharjo) in Jogjakarta. Or the bottles in petrol stands include the singing of Gundul-gundul Pacul.

“The success of the exhibition is the artist’s ability to occupy the minds of the viewers. The audience is surprised to see a new meaning for ordinary objects they see on the street, therefore the goals of the artists were achieved.” As explained by Simon Williams, Indonesian teacher and broadcaster, while attending the exhibition Street Life in Melbourne.

Elaboration on the street life in the two cities provides new experiences for the artists involved. Seeing the hard rubbish dumped in front of the house around Melbourne, Altiyanto and Ben could imagine from what social class the owner comes from. As for Jesse and Dean, living in Jogjakarta allowed them to learn a lot about the philosophy of the Javanese.

Photo: Steven Tandijaya