Siang Bersama Mira Lesmana

Indonesian Film Festival kali ini menghadirkan seorang produser ternama dari Indonesia, Mira Lesmana, dengan karya film terbarunya, “Athirah” yang ditayangkan di ACMI tanggal 8 April 2017 yang lalu. Film biografi Indonesia ini meraup perhatian yang luar biasa – pasalnya, bukan hanya karena garapan Miles Production yang selalu berkualitas, namun juga cerita yang kental menggambarkan kehidupan masyarakat Bugis ini menyajikan sebuah kisah nyata Athirah dan Jusuf Kalla ketika muda. Ditemui OZIP di Konsulat Jenderal Victoria siang (8/4) itu, Mira Lesmana menjawab setiap pertanyaan dengan sangat komunikatif. Yuk simak hasil bincang-bincang OZIP bersma Mira Lesmana!

IMG_4635Proses Pengolahan Ide Film Athirah?

Tahun 2013 akhir, Riri Riza diminta membaca manuskrip dari novel Athirah dan memberikan komentarnya sebelum manuskrip tersebut dibuat jadi buku. Bagus sekali tulisannya, dan ternyata manuskrip itu memang mau difilmkan, cuma kami nggak tahu siapa yang akan memfilmkan film tersebut, jadi ya sudah kami ikhlaskan saja. Tiba-tiba awal tahun 2014, Imelda Yusuf, putrid bapak JK minta bertemu kami. Memang rejeki tak kemana. Riri kan orang Bugis, jadi supaya filmnya lebih hidup, dia minta Miles Production untuk menggarap filmnya.

Buat saya dan Riri, cerita ini perfect. Cerita perempuan Bugis Makassar yang harus hidup di tengah patriarki, yang juga seorang Ibu dari Jusuf Kalla. Selain itu, kami pun belum pernah menyentuh tanah dan kultur Bugis.

Challenge yang Dihadapi Sepanjang Pembuatan Film Athirah?

Ini adalah sebuahcerita di masa lalu – kota Makassar di era 50-an. Dimana kami bisa cari lokasi untuk cerita ini? Makassar sudah jauh berubah, kota tuanya sudah hamper nggak ada. Akhirnya, kami keliling Sulawesi Selatan dan mencari kota yang masih serupa, yang bisa merepresentasikan Makassar di kota tua. Setelah puas menelusuri Sulawesi, kami memutuskan memilih Sengkang dan Pare Pare untuk jadi lokasi pengambilan gambar. Padahal pembuatan filmnya satu bulan saja, tapi persiapannya, dari mulai pencarian lokasi dan sebagainya, berlangsung selama sembilan bulan!

Selainitu, untuk masalah modal produksi – kami bukan perusahaan besar seperti MD Production atau Star Vision – jadi setiap akan memproduksi film baru, kami harus mencari investor. Paling sulit adalah ketika kita mau produksi cerita yang tidak populer, karena di sini kita harus mengeluarkan tenaga ekstra meyakinkan orang kalau film ini harus ada dan harus kita yang buat. So far, setiap kami mau memproduksi film, rejeki selalu ada.

5DM39672Mira VS Riri: Rahasia Di Balik Kehebatan Miles Production?

Saya bertemu Riri tahun 1994, saat itu saya baru lulus dari IKJ, sedangkan Riri murid baru. Tapi karena saat itu industry perfilman sedang jatuh, sayapun memilih untuk kerja di perusahaan advertising. Lagi lagi, rejeki nggak kemana – satu hari saya mendapatkan tawaran untuk membuat film yang disutradarai oleh orang Amerika. Saya lantas mencari asisten sutradara di kampus saya (IKJ) dan Riri di kala itu, direkomendasikan oleh teman saya. Rupanya kami langsung cocok, dan seiring berjalannya waktu, we grew up together di industry perfilman ini, banyak suka duka dan perjalanan yang udah kami lewati, jadi semakin mudah untuk mengerti satu sama lain.

Mira VS Riri: Siapa yang Lebih Emosional?

Hahahaha. Riri sangat emosional kadang, bahkan drama banget. Tapi kami punya porsinya masing-masing. Karena dia laki-laki dan saya perempuan, perspektif emosi kami berbeda sehingga selalu bisa melihat dari dua sisi, dan hasilnya, drama kami proporsinya pas.

PojokAspirasi: Support Pemerintah Terhadap Industri Film Indonesia di Mata Mira Lesmana

Saya rasanya ingin bicara panjang kalau membahas tentang dukungan pemerintah terhadap perfilman Indonesia. Tapi singkat cerita, saya melihat perkembangan dukungan pemerintah di dunia kreatif semenjak pemerintahan Pak Jokowi, meskipun secara praktek, birokrasi dan persoalan masa lalu memang masih mengganggu. Belum ada plan yang konkrit yang bisa membantu mengembangkan industry perfilman kita secara signifikan. Pak Jokowi sudah membangun BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) itu langkah yang baik, dan sudah sempat saya sampaikan harapan saya ke Pak Jokowi – untuk memperkaya pendidikan film, serta memperluas kerjasama dengan investor.

Syafira Amadea

Photo: Windu Kuntoro