Seputar Jakarta

Bagi sang penulis, kereta api merupakan bagian dari masa kecil yang tidak dapat dilupakan. 

Oleh karena itu, ketika hendak berangkat dari Jakarta ke Bandung, penulis memilih untuk menggunakan jasa angkutan umum kereta api Argo Parahyangan. Ternyata, perjalanan dalam kereta api tidak hanya nyaman dan menyenangkan, melainkan juga mengesankan. Waktu tempuh kereta api Argo Parahyangan dari Jakarta ke Bandung hanya sekitar tiga jam. Namun, perjalanan yang singkat tersebut turut didampingi oleh pengalaman yang tidak terlupakan

Kedua kelas eksekutif dan ekonomi pun sangat bersih, nyaman dan memuaskan.

Dari segi ketepatan jam keberangkatan, kereta api hanya meleset beberapa menit dari jadwal yang telah ditentukan sebelumnya. Pada awal kedatangan, banyak penumpang yang tampak berjalan menuju ke tempat nomor tempat duduk yang tertera di tiket kereta api. Meskipun nomor tempat duduk telah ditentukan untuk setiap penumpang, tetap saja ada penumpang yang masih terdorong untuk berlomba naik ke gerbong kereta api yang mereka tentukan sendiri. Hal ini turut menarik perhatian penulis namun tidak lama kemudian para penumpang pun duduk di tempat dan kereta api mulai bergerak meninggalkan terminal.

Di sepanjang perjalanan, tampak sejumlah karyawan yang berdiri tertib dan tersenyum ramah sembari melayani penumpang. Kualitas pelayanan kereta api sungguh telah meningkat pesat.

Setelah kereta api meninggalkan Jakarta, hamparan pemandangan luar kota dari kawasan penduduk dengan rumah-rumah yang sederhana pun mulai terlihat. Sekitar satu setengah jam setelah beranjak dari Stasiun Gambir Jakarta, pemandangan di sisi rel yang dilalui kereta api Argo Parahyangan mulai berubah. Pohon-pohon tinggi pun berubah menjadi sawah-sawah hijau yang ditanami padi. Kadang kala, tampak juga pohon pisang dan singkong yang tumbuh liar di antara semak-semak kebun karet. Pemandangan hijau daerah pedesaan turut diindahkan oleh aliran air sungai yang bermuara langsung ke lautan luas. Tidak jauh dari sungai, ada pula tambak-tambak ikan yang menghijau, menandakan musim kemarau yang berkepanjangan di bulan Agustus yang kering. Kadang kala, tampak juga jamban sederhana yang dibuat dan digunakan bersama oleh penduduk setempat. Banyak diantara jamban-jamban ini yang juga tidak memiliki atap tersendiri.

Semua pemandangan yang indah ini dapat Anda nikmati sepanjang perjalanan Jakarta-Bandung karena keindahan alam Indonesia yang masih terlestarikan. Namun, pemandangan ini tentu tidak akan bertahan selamanya. Oleh karena itu, sebelum keindahan ini berubah, ada baiknya Anda turut menikmati perjalanan melintas alam ini ketika bertamasya dari Jakarta ke Bandung. Terutamanya ketika lintas kereta api bullet train kerjasama Tiongkok-Indonesia telah selesai dibangun, akan semakin sulit bagi Anda untuk perlahan menikmati lintas alam sepanjang perjalanan Anda ke Bandung. Dengan kecepatan yang melebihi 300 km/jam, akan sulit bagi Anda untuk dapat melihat detail-detail kecil di sepanjang perjalanan, setidaknya demikian pengalaman penulis ketika menaiki kereta api bullet train di negara lain.

Observasi menarik lainnya adalah adanya kepala stasiun dan petugas stasiun yang selalu bersiap di peron kereta api meskipun kereta api tidak berhenti di stasiun tersebut. Hal ini juga merupakan sebuah bentuk penghormatan staf stasiun terhadap penumpang yang melintasi peron. Dengan berbusana seragam putih-hitam dan topi, sekilas kepala stasiun tampak menyerupai seorang kadet akademi militer yang bersiap menunggu perintah. 

Tanpa disadari, perjalanan yang memakan watu tiga jam lebih tersebut pun kemudian berlalu. 

Suara ramah pelayan perempuan yang mengucapkan selamat datang dalam bahasa Indonesia dan Inggris yang fasih melalui alat pengeras suara kepada penumpang kemudian dilanjutkan dengan peringatan  larangan merokok di dalam kereta api. Setelah pengumuman selesai, penumpang pun perlahan-lahan meninggalkan gerbong dan stasiun.

Bagi para pembaca yang belum pernah mencoba perjalanan dari Jakarta menuju Bandung dengan kereta api Argo Parahyangan, jangan lewatkan kesempatan menyenangkan ini untuk menikmati perjalanan dengan KAI (Kereta Api Indonesia). Selamat kepada pengelola KAI!

Sebelum beranjak dari kota Jakarta menuju ke Bandung, penulis juga sempat melakukan pengamatan yang menarik seputar ibukota Jakarta.

Beberapa hari sebelum keberangkatan penulis ke Bandung, sebuah laporan menyatakan bahwa kota Jakarta memiliki salah satu indeks polusi tertinggi di dunia. Hal ini menyebabkan nama kota DKI Jakarta dipelesetkan sebagai kategori kota “metropolutan”. 

Laporan yang diterbitkan beberapa hari setelahnya kemudian menyimpulkan bahwa harapan hidup penduduk Jakarta akan berkurang dua hingga tiga tahun dikarenakan tingkat polusi yang tinggi.  Namun, hingga sekarang, kota Jakarta tetap dinilai menarik oleh pengunjung mancanegara maupun penduduk sekitar.

Sejak beberapa tahun silam (bahkan ketika Basuki Tjahja Purnama/Ahok masih menjabat sebagai gubernur kota Jakarta), PBB sempat mengimbaukan bahwa penduduk Jakarta sebaiknya menggunakan masker untuk mengurangi dampak bahaya polusi di kota Jakarta. Masker yang disarankan pun bukanlah sembarang masker. Pihak PBB menyarankan penggunaan surgical mask yang dinilai lebih efektif dalam menyaring partikel-partikel kecil. Sejak itu, banyak daripada penduduk Jakarta yang kini tampil di depan umum dengan memakai masker.

Maksud dan tujuan dari masker adalah untuk menyaring udara polutif yang masuk ke dalam paru-paru ketika pengguna bernafas sehingga udara yang dihirup menjadi lebih bersih. Namun, tidak sedikit pengguna masker yang berdiri di pinggir jalan dan merokok. Bahkan, ada juga seorang lelaki bermasker yang mengangkat bagian bawah maskernya untuk merokok. Hal ini dilakukan berulang kali sampai dirinya selesai dan rokok sudah dipadamkan atau dibuang. Dalam hal ini, apa manfaatnya menggunakan masker jika dirinya tetap merokok dan merusak paru-parunya sendiri?

Dalam perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta, supir taksi sempat membawa penulis melewati Pasar Ikan. Disana, penulis sangat kagum ketika melihat begitu banyaknya bebek yang berjejer di tepi kanal dan minum bersama untuk menghilangkan dahaga. Namun, lucunya bebek-bebek yang berjejeran tidak dapat mengurungkan pengamatan penulis terhadap air kanal yang kotor dan tercemar. Bayangkan saja jika kita menyantap daging bebek yang telah meminum air tercemar tersebut. Tentu menjijikkan, bukan? Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk menjaga kelestarian lingkungan tempat tinggal kita sendiri, dimulai dari kota Jakarta.

Demikian sebahagian dari sekian banyaknya catatan tentang ibukota Jakarta yang telah ditulis oleh penulis. Bagi para pembaca OZIP yang penasaran dengan kota Jakarta, penulis berharap agar catatan ini dapat menjadi jendela kecil yang menunjukkan sisi baik dan buruk ibukota negara Indonesia tercinta. 

Wallahua’lam.