Sepintas Sejarah Kelam Perbudakan di Australia

Tanggal 2 Desember merupakan Hari Penghapusan Perbudakan Internasional yang diperingati sejak tahun 1986 oleh PBB. Bila berbicara mengenai perbudakan, hal pertama yang muncul dalam benak OZIPmates pastinya adalah perbudakan di Amerika Serikat yang kerap terjadi pada abad ke-18 dan 19. Padahal, praktik perbudakan juga pernah terjadi di Australia, bahkan sejak benua Australia dikolonisasi oleh Inggris pada tahun 1788. 

Perbudakan di Australia hadir dalam berbagai bentuk dan dilakukan terhadap bermacam-macam suku bangsa, bukan hanya penduduk asli Aborigin

Berhubungan dengan fungsi tanah Australia sebagai tempat penal colonies atau koloni hukuman dari 1788 sampai 1868, banyak tahanan penjara dari Britania atau Irlandia yang dipindahkan ke Australia untuk dijadikan budak. Ketika mereka sampai di Australia, para tahanan dimasukkan ke dalam sistem “assigned service” dimana mereka disewakan ke penduduk kaya setempat. Sistem “assigned service” ini terus berlanjut sampai tahun 1850-an. 

Beralih ke negara bagian New South Wales, berkurangnya kedatangan tahanan di akhir tahun 1830-an memaksa para penjajah Inggris untuk mencari sumber tenaga kerja murah yang baru: pekerja kasar dari India dan China yang disebut dengan istilah coolies. Kapal berisi pekerja coolies pertama tiba di Australia pada tanggal 24 Desember 1837 berisi 42 coolies dari India. 

Selanjutnya, coolies terus berdatangan ke negara bagian lain di Australia: Melbourne tahun 1847 serta Perth dan New South Wales tahun 1848. Sama halnya dengan praktik perbudakan pada umumnya, para coolies diperlakukan secara tidak manusiawi dan kerap kali tidak dibayar. Pada tahun 1855, praktik pengiriman coolies ke Australia berhenti. 

Salah satu titik terkelam dalam sejarah perbudakan di Australia adalah praktik blackbirding atau penculikan warga negara lain untuk dijadikan budak di suatu negara. Blackbirding lebih sering dipakai ketika berbicara mengenai sejarah perbudakan di Australia pada abad ke-19, umumnya melibatkan penculikan atau penjemputan paksa warga negara di daerah Pasifik seperti Kepulauan Solomon, Vanuatu, Niue, Kepulauan Gilbert, Tuvalu, dan masih banyak lagi. 

Sejarah mencatat praktik blackbirding pertama di Australia adalah pada tahun 1847 ketika kapal Velocity mengangkut 65 pekerja kasar asal Melanesia tiba di Boydtown, New South Wales. Sempat surut karena perlakuan tidak pantas terhadap para warga Melanesia tersebut, praktik blackbirding muncul lagi pada tahun 1863 ketika persediaan kapas turun akibat Perang Saudara di Amerika Serikat. Sebanyak 73 penduduk asli daerah Pasifik dibawa ke Brisbane untuk dipekerjakan dalam produksi kapas. Blackbirding terus dilakukan oleh berbagai pemilik usaha di Australia hingga tahun 1885, ketika pemerintahan Queensland menyimpulkan (melalui sebuah Royal Commission) bahwa blackbirding tidak ada bedanya dengan perbudakan. 

Sementara itu, perlakuan terhadap penduduk Aborigin di Australia masih mengundang kontroversi hingga sekarang; para pekerja Aborigin tidak selalu disebut sebagai “budak”.  Namun jika melihat perlakuan yang diterima para penduduk Aborigin pada tahun 1860 hingga 1970, terdapat banyak kesamaan dengan praktik perbudakan. 

Pada waktu itu, orang Aborigin dari berbagai usia diambil dari rumah mereka untuk dijadikan gembala sapi dan domba di penjuru Australia. Misalnya, hukum di WA pada tahun 1874 memperbolehkan anak-anak Aborigin untuk dipekerjakan sejak umur 12 tahun. “Penculikan” penduduk Aborigin dari daerah asal mereka merupakan bagian dari inisiatif pemerintah untuk “melindungi orang Aborigin dari penganiayaan”. 

Tentu saja, perlakuan tidak manusiawi kerap terjadi: tidak ada batasan jam kerja, tidak ada batasan dalam bobot pekerjaan, dan tidak ada penyediaan makanan atau tempat tinggal. Para pekerja Aborigin juga sering diancam dengan kekerasan dan diperlakukan secara kasar oleh majikan mereka. 

Umumnya, pekerja yang diperlakukan sebagai budak tidak dibayar. Meskipun pekerja Aborigin secara teknis mendapatkan upah untuk pekerjaan mereka, distribusi upah ke para pekerja Aborigin sering dikorupsi sehingga para pekerja sering tidak mendapat upah sama sekali. Tidak hanya itu, upah yang mereka terima dari pekerja kulit putih Australia jauh lebih rendah—hanya 3% dari upah yang diterima dari pekerja Australia pada awal tahun 1900-an di Queensland. 

Proses pengambilan upah untuk orang Aborigin juga sering dihadang oleh birokrasi yang merugikan mereka. Upah yang seringkali disimpan oleh seorang pejabat pemerintah sulit untuk diakses oleh pekerja Aborigin, dimana mereka harus memperoleh ijin untuk melakukan penarikan uang. Dalam beberapa kasus, orang Aborigin yang bertanya mengenai upah mereka dipenjara. 

Perbudakan merupakan titik sejarah yang kelam dalam negara macam manapun, tanpa terkecuali Australia. Dan sama halnya dengan negara yang memiliki sejarah perbudakan, Australia sudah mengambil langkah untuk memperbaiki kerusakan yang timbul akibat perbudakan serta mencegah perbudakan di dunia modern; salah satu contohnya adalah undang-undang Modern Slavery Act 2018 (Cth) yang mengatur pencegahan perbudakan modern. 

Meskipun begitu, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Bagaimanapun juga, cara mencegah agar sejarah tidak terulang adalah dengan mempelajari sejarah tersebut, betapapun menyakitkannya. “Banyak warga Australia non-pribumi yang tidak sadar akan hutang besar mereka terhadap warga Aborigin yang kerja kerasnya membangun negara ini,” ujar Dr. Rosalind Kidd, seorang sejarawan dari Griffith University, Brisbane.  

Teks: Jason Ngagianto 

Foto: Berbagai sumber