Resensi Buku Filosopi Teras Karangan Henry Manampiring: Membangun Karakter Mental Yang Tangguh di Tengah Situasi Pandemi

Judul Buku                              : Filosofi Teras

Penulis                                    : Henry Manampiring

Penerbit                                   : Penerbit Buku Kompas

Tempat dan Tahun Terbit        : Jakarta, 2019

Jumlah Halaman                      : xxiv + 320 halaman

ISBN                                       : 978-602-412-518-9

Membaca buku yang berkaitan dengan filsafat ini rasanya seperti oase bagi pemikiran saya di tengah situasi pandemi wabah corona akhir-akhir ini. Walaupun bahasan buku ini banyak mengajak kita berpikir, namun ini bukan seperti buku filsafat yang terkesan njelimet dan penuh hal-hal yang abstrak.  Justru sebagai pembaca saya disuguhkan informasi yang lebih praktikal dan dapat berguna untuk siapa saja yang membacanya dari generasi baby boomers, milenial atau bahkan generasi Z.  Buku ini pun masuk dalam kategori best seller yang diterbitkan tahun 2019 yang terdiri dari 12 bab dan 320 halaman. Menurut saya pribadi, pesan-pesan yang coba penulis sampaikan disertai beberapa wawacara dengan public figures, psikiater maupun psikolog ini tidak bersifat dogmatis dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai sebuah laku hidup. Henry Manampiring membantu para pembacanya untuk menerjemahkan arti dari “Stoisisme” yang merupakan ajaran filsafat Romawi-Yunani kuno sebagai sebuah kebijakan universal dan pelengkap dari berbagai kepercayaan tanpa adanya batasan agama tertentu. Buku ini juga mengubah cara berpikir saya untuk lebih selaras dengan alam dengan menggunakan rasionalitas dan nalar dalam bertindak.

Alam memberikan manusia rasionalitas sebagai fitur unik yang membedakannya dengan binatang. Ketika kita tidak menggunakan nalar kita, selain kita menjadi sama dengan binatang, kita akan rentan merasa tidak bahagia, karena kita telah tidak selaras dengan Alam”. (hlm 37)

Jika kita melihat kembali kutipan di atas dan dihubungkan dengan peritiwa yang saat ini terjadi di bumi rasanya kita harus memulai beradaptasi dengan ketidakpastian. COVID-19 sudah mendisrupsi banyak sektor termasuk bagaiamana kita bergaul dan bercengkrama dengan orang lain. Sehingga cepat atau lambat kita harus menyesuaikan dengan perubahan ini. Topik lain yang juga dibahas dalam buku ini adalah tentang kuasa kita atas hal-hal yang berada dalam jangkauan kita yang dijelaskan dengan makna “dikotomi kendali”. Ada banyak kejadian yang kerap membuat kita stress karena tidak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan sehingga kita perlu melihat ada 4 hal ini yakni “pertimbangan atau persepsi, keinginan, tujuan dan segala sesuatu yang merupakan tujuan dan pikiran kita sendiri” (hlm 48). Sedangkan faktor-faktor lain yang tanpa sadar mempengaruhi kita seperti opini orang lain, reputasi kita, kekayaan kita, kondisi kita saat lahir dan kondisi yang terjadi di luar seperti wabah corona ini yang memang bukan kuasa kita.

Menjalani hari-hari dengan isolasi mandiri di rumah saja merupakan realita yang harus kita jalani dan tidak jarang menyebabkan emosi negatif seperti kebosanan, marah dengan keadaan dan merasa sendirian. Penulis pun menganjurkan metode S-T-A-R (Stop, Think & Asses, and Respond) yang diterjemahkan kurang lebih begini:

  1. “STOP (berhenti). Saat kita mulai merasakan emosi negatif seperti khawatir, kebosanan dan marah kita tidak boleh larut dalam keadaan kita terlalu dalam. Walaupun terkesan aneh tapi semakin sering dilakukan kita bisa lebih efektif melakukannya.
  2. THINK and ASSES (dipikirkan dan dinilai). Memaksakan diri untuk berpikir secara rasional saja sudah membantu mengalihkan kita untuk tidak larut dalam emosi lalu mulailah untuk menganalisa apakah perasaan saya akan emosi-emosi tersebut bisa dibenarkan atau tidak berada dalam kendali saya?
  3. RESPOND. Kemudian respon bisa didapat setelah kita telah memikirkan hal tersebut dengan matang yang diharapkan sudah menggunakan nalar pikiran kita atas reaksi emosi negatif tersebut”. (hlm 104 – 105)

Melalui buku ini, pembaca bisa kemudian mengenali ada hal-hal yang harus dilakukan sebelum bertindak agar tidak memiliki dampak yang merugikan, tidak hanya bagi orang lain, namun juga terhadap diri sendiri. Penulis juga mengingatkan bahwa mengelola pikiran agar lebih tenang (stoic), ibarat sedang latihan mengangkat barbel agar memiliki otot yang kuat dan tidak bisa didapat dalam waktu yang singkat. Sehingga harus terus menerus untuk dilakukan agar kita memperoleh kebahagiaan dari dalam diri kita. Lebih lanjut, bahasan buku ini pun cukup ringan dan banyak informasi pengantar bagi yang ingin mendalami dan belajar mengenai Stoisisme.

Penulis: Destari Puspa Pertiwi