Rapth in Cloth, Ragam Tenun Nusantara

Yang lalu batik, kali ini tenun. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Melbourne kembali mengadakan webinar seputar tekstil Indonesia bertajuk “Rapt in Cloth: Tenun and Its Varieties” pada hari Sabtu (31/10/2020) via Zoom. 

Webinar ini merupakan lanjutan dari webinar bertemakan batik yang juga diselenggarakan oleh KJRI Melbourne pada awal bulan Oktober silam. Untuk webinar kali ini, KJRI Melbourne bekerja sama dengan pihak Museum of Indonesian Arts Inc. yang diwakili oleh direktur Halina Nowicka. Tidak jauh beda dengan talkshow batik, tujuan utama dari webinar ini adalah untuk memperkenalkan berbagai macam motif tenun di Indonesia.

Untuk webinar kali ini, pihak KJRI mengundang dua pembicara: Irma Wisnandar, pakar dan kolektor tekstil asal Indonesia yang juga aktif di Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), dan Dr Guy Churchman, dokter umum asal Melbourne yang juga seorang penggemar tekstil Indonesia. 

Sesi presentasi webinar dimulai dengan Irma dan pemaparannya mengenai Kain Sabu dan Songket Pandai Sikek. Sama halnya dengan batik, Irma merasa kerajinan tenun Indonesia sudah mulai dikenal di kalangan internasional. 

“Indonesia memproduksi berbagai macam kain tenun,” katanya. 

Dalam presentasinya, Irma memperkenalkan berbagai jenis teknik yang digunakan dalam produksi kain tenun tradisional Indonesia seperti warp-based threads dan weft-based threads. Pola warp-based threads sendiri dapat ditemukan di kain tenun Ulos Batak asal Sumatera Utara dan kain Toraja asal Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk weft-based threads atau yang juga disebut ikat pakan, dapat ditemukan di kain tenun Songket asal Palembang dan kain Geringsing asal Bali. 

Mengenai tenun Songket, Irma mengatakan bahwa motif dalam kain tenun Songket memiliki makna tersendiri. “Motif menggambarkan filosofi dari orang-orang yang memproduksi kain tersebut, diwakili oleh bentuk-bentuk geometris dalam kain.” 

Lalu ada teknik tenun khusus yang dianggap Irma sudah hampir hilang keberadaannya di Indonesia. Kain tenun yang mengikuti teknik ini di antara lain adalah kain Sekomandi asal Sulawesi Barat, kain Bentenan dari Sulawesi Utara, kain tenun Sabu dari Nusa Tenggara Timur, dan kain tenun Songket Minangkabau dari Sumatera Barat. 

Sesuai dengan jenisnya, kain tenun Sabu dan Songket Minangkabau memiliki keunikan tersendiri. Kain Sabu misalnya, terdiri dari dua jenis kain berdasarkan jenis kelamin pemakainya: El untuk wanita, dan Hi’i untuk pria. Sementara itu kain tenun Songket Minangkabau adalah bentuk penerapan dari pepatah Minang “alam takambang jadi guru”, yang artinya berpikir yang mendorong kehidupan alami dan sadar lingkungan. 

Tentunya tidak hanya Irma yang menambah wawasan mengenai kerajinan tenun Indonesia. Ada juga Dr Guy Churchman yang menjelaskan berbagai motif dan pola dari kain tenun koleksi pribadinya, seperti misalnya Patola Jilamprang, Cepuk, Geringsing Wayang Putri, dan Poleng. Semua kain tenun tersebut berasal dari Bali. 

Menurut pria yang bernama lengkap James Guy Churchman tersebut, motif dari setiap kain tenun memiliki makna tersendiri, tidak jauh beda dari penjelasan Irma. Patola Jilamprang dan Cepuk misalnya, dianggap memiliki khasiat melindungi orang dari roh jahat. Selain itu ada juga Geringsing Wayang Putri yang dipercaya memiliki kekuatan penyembuhan. Dan terakhir ada Poleng, kain kotak-kotak hitam putih yang sering terlihat diikatkan di patung, pura, pohon, dan berbagai objek lainnya di Bali. 

“Pola tersebut mewakili suatu keseimbangan antara keteraturan dan kekacauan, antara baik dan buruk,” ujar Guy. 

Sama seperti batik, seni tenun Indonesia merupakan sebuah warisan budaya yang harus dilestarikan. Namun berbeda dengan batik yang sudah sangat dikenal di kalangan luas masyarakat, tenun dapat dibilang masih tertinggal dari segi minat warga Indonesia. Hal ini disadari betul oleh Irma. 

“Dewasa ini sulit untuk menemukan [pengrajin] tenun Songket,” jelas Irma. “Anak muda jaman sekarang tidak mewarisi keahlian menenun dari generasi sebelumnya, mereka memilih untuk mengambil jalur pekerjaan yang lain.” 

Namun, pelestarian seni tenun bukanlah hal yang mustahil menurut Irma. “Pemerintah setempat harus mendukung gerakan revitalisasi ini,” ujarnya. “Tidak hanya itu, saya percaya bahwa LSM dan para penggemar tekstil juga bisa membantu.” 

Teks: Jason Ngagianto

Foto: Berbagai sumber