PON ke-20 di Tengah-tengah Ancaman KKB dan COVID-19

Nampaknya Pekan Olahraga Nasional ke-20 yang akan diselenggarakan di Papua antara tanggal 2-15 Oktober 2021 sudah laksana pepatah “sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai.”

Rasanya tidak akan ada yang berani membantah bahwa PON ke-20 mendatang adalah pesta olahraga nasional terberat yang bakal dihadapi pemerintah Indonesia.

Bukan saja karena bakalan ada kemungkinan ancaman dari Kelompok Kriminal Bersenjata (dulu Organisasi Papua Merdeka/OPM), yang dapat memanfaatkan perhelatan olahraga nasional terbesar di Indonesia itu untuk kepentingan propaganda mereka, melainkan juga bayang-bayang pandemik COVID-19 juga tidak kalah mencemaskan.

Kita baru saja menyaksikan bagaimana ketatnya penyelenggaraan Olimpiade 2020 di Tokyo dikarenakan COVID-19, dan tidak ayal lagi itu akan menjadi pelajaran yang sangat berguna bagi pihak penyelenggara PON ke-20 di Papua.

Apabila PON ke-20 terlaksana dengan baik, maka harus diakui itu akan menjadi suatu prestasi yang luar biasa bagi pihak penyelenggara.

Pertama kali Pekan Olahraga Nasional diselenggarakan adalah dalam tahun 1948 di kota Surakarta dan umumnya diikuti oleh atlet dari Pulau Jawa.

Sebagaimana tercatat dalam, Wikipedia Bahasa Indonesia:

PON I adalah PON pertama Indonesia yang diadakan di Kota Praja Surakarta pada 9–12 September 1948. Tanggal pembukaannya, 9 September, kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Olahraga Nasional.

Pekan Olahraga Nasional I ini diikuti oleh sekitar 600 atlet yang bertanding pada 9 cabang olahraga yang memperebutkan sebanyak 108 medali. Pesertanya bukan pada tingkat provinsi melainkan pada tingkat Kota dan Karesidenan, sebanyak 13 partisipan ikut serta. Juaranya adalah Karesidenan Surakarta dengan total medali sebanyak 36 medali.

Harus diakui bahwa penyelenggaraan PON yang pertama kali di kota Surakarta itu memang luar biasa.

Pada waktu itu Indonesia belum merdeka, dan ibukota republik cita-cita bangsa waktu itu adalah Yogyakarta, karena Jakarta yang waktu itu masih Batavia dikuasai Belanda.

Namun para petarung olahraga yang menjadi peserta PON I itu tidak patah semangat.

Bukan itu saja, ternyata dalam perihal olahraga bangsa Indonesia juga luar biasa semangatnya, meski dalam hal ini kita harus jujur dan mengakui “hasrat hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai.”

Bahkan ketika Indonesia belum merdeka, Komite Olahraga Indonesia tidak segan-segan melayangkan permohonan agar diberi kesempatan untuk ikut serta meramaikan Olimpiade London 1948.

Permohonan itu ditolak karena Indonesia belum menjadi anggota Komite Olimpiade Internasional, dan kontingen Indonesia tidak dapat berangkat ke London karena paspor Republik Indonesia masih belum diakui.

Namun begitu terbuka kesempatan, Indonesia tidak menyia-nyiakannya.

Dalam Olimpiade berikutnya tahun 1952 di Helsinki, Indonesia “menugaskan” tiga atletnnya untuk bertarung di gelanggang internasional itu, masing-masing dalam cabang olahraga “menaikkan besi” (begitu cabang olahraga angkat besi dulu disebut), renang gaya dada, dan lompat tinggi.

Indonesia tidak memenangkan medali, namun itu memang bukan tujuan utama. Yang penting, Indonesia tercatat ikut dalam Olimpiade yang dikenal membersilkan nama atlet lomba lari jarak jauh Cekoslowakia, Emile Zatopek.

Stadion Ikada di Jakarta dibangun khusus untuk PON berikutnya sementara stadion Teladan di Medan, merupakan hasil dari diselenggarakannya PON III tahun 1953 di Medan.

Tidak masuk akal memang, tapi nyatanya Stadion Teladan yang berkapasitas 25 ribu penonton di tribun (yang dilengkapi tempat duduk dan atap) dan di seberangnya tempat 10 ribu penonton yang bukan saja harus rela berdiri melainkan juga menerima terik sinar mata hari, dibangun dalam jangka waktu 9 bulan. Biayanya pada waktu itu? 6 juta Rupiah.

Begitu kuat dan hebatnya semangat bangsa Indonesia apabila sudah sampai pada perihal olahraga.

Kalau kita membandingkan prestasi para olahragawan/wati kita waktu itu dengan kemampuan para atlet di Barat, maka kita akan menyadari betapa kita masih jauh tertinggal, bukan semata-mata karena Barat memang lebih hebat, melainkan karena nutrisi atlet kita masih jauh dari memadai. Sekarang pun soal stunting memang masih sering jadi persoalan. Terutama dalam cabang-cabang olahraga yang membutuhkan kekuatan tenaga, bukan hanya kekuatan stamina–seperti lomba lari.

Suatu catatan prestasi atlet Indonesia yang dibandingkan dengan catatan prestasi atlet yang sama dari Amerika, misalnya, menunjukkan bahwa jarak lemparan lembing atlet dari Indonesia dalam tahun 1953 dengan jarak lemparan lembing seorang atlet terkemuka Amerika di cabang olahraga yang sama bisa berbeda sekitar 30 meter.

Begitu juga dalam cabang-cabang olahraga yang mengandalkan kekuatan tenaga lainnya, seperti tolak peluru, lempar cakram dan sejenisnya.

Syukur bahwa sekarang kemampuan para atlet Indonesia sudah lebih maju, meski masih belum sehebat prestasi negara-negara Barat.

Indonesia pertama kali berhasil meraih medali Olimpiade adalah di Seoul, Korea Selatan, tahun 1988, dalam bidang panahan beregu putri. Kebetulan penulis adalah satu-satunya wartawan berbahasa Indonesia yang meliput peristiwa itu, karena rekan-rekan wartawan dari Indonesia waktu itu tidak menaruh minat akibat pesimis Indonesia akan berjaya.

Apa yang terjadi memang benar-benar diluar dugaan.

Selesai pertandingan Korea Selatan merebut medali emas, sementara Indonesia dan Amerika Serikat mendapat angka yang berimbang hingga harus dilakukan pertandingan lagi antara kedua regu ini, yang menang akan menggondol medali perak, sementara yang kalah harus puas dengan perunggu.

Sekiranya pun waktu itu regu putri Indonesia dikalahkan Amerika, maka mereka tetap akan mencatat sejarah, karena itu berarti untuk pertama kalinya ada atlet Indonesia yang meraih medali di Olimpiade.

Ternyata regu Indonesia mampu mengalahkan lawannya dari Amerika – dan medali perak menggantung di leher para Srikandi Indonesia tersebut.

Kegembiraan mereka memang meluap-luap, karena mereka mampu mencatat sejarah. Air mata kebahagiaan bercucuran laksana Air Terjun Niagara, hingga ketika penulis mewawancarai mereka, mikrofon alat perekam penulis sempat basah kuyup.

Padahal, medali pertama untuk Indonesia sudah bisa diraih dalam Olimpiade Los Angeles 1984.

Olimpiade tersebut diboikot oleh Uni Sovyet dan sekutu-sekutunya, sebagai pembalasan terhadap pemboikotan Olimpiade Moskow 1980 oleh Amerika dan sejumlah sekutunya, sebagai protes terhadap masuknya bala tentara Uni Soviet ke Afghanistan.

Di pundak lifter Mamam Suryaman terletak harapan Indonesia untuk meraih perunggu.

Namun apa hendak dikata, Maman Suryaman terlambat naik ke panggung untuk melakukan pengangkatan karena disibukkan oleh “penataran P-4 di tempat” oleh seorang pejabat tinggi dari Indonesia, yang dimaksudkan untuk menyemangati Maman, namun ternyata malahan itu laksana “tongkat membawa rebah.”

Ketika penulis mewawancarainya, Maman terisak dan tersedu sedan, seraya meminta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia.

Namun dalam Olimpiade Barcelona 1992, dua medali emas tergantung di dada pebulutangkis putri dan putra Indonesia–Susi Susanti dan Alan Budi Kesuma. 

Bravo untuk para kontingen Indonesia.