Peresmian Monash Arts Herb Feith Indonesian Engagement Centre

Pada Kamis (25/10) lalu, Faculty of Arts Monash University (atau disebut Monash Arts) menghelat acara peresmian lembaga Herb Feith Indonesian Engagement Centre (HFIEC). Acara yang dihadiri oleh akademisi Indonesia di Australia, Indonesianis, mahasiswa Indonesian Studies dan perwakilan media ini bertujuan untuk memperkenalkan pusat studi Indonesia dan Asia yang mengusung semangat dan pengabdian Herb Feith, seorang aktivis, akademisi, serta Indonesianis kental yang pernah menjadi profesor kajian politik di Monash University.

Herb Feith yang memiliki nama asli Herbert Feith, lahir di Wina, Austria, tahun 1930. Di tanah kelahirannya, ia menyaksikan bagaimana warga Yahudi hidup dalam tekanan. Ia dan keluarganya kemudian pindah ke Australia saat ia berusia sekitar 9 tahun. Di Australia, ia menyelesaikan pendidikan sarjana bidang ilmu politik di University of Melbourne. Tertarik dengan Asia, ia pun pindah ke Indonesia dan mendapat pekerjaan di Departemen Penerangan RI sekitar tahun 1951-1952 dengan gaji lokal. Dari sini, ikatannya dengan Indonesia tak pernah terputus. Disertasinya yang dikerjakan di Cornell University dipublikasikan dalam bentuk buku berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1961). Ia sempat mengajar di Monash University dan menjadi tokoh penting dalam pembentukan Monash Centre of Southeast Asian Studies. Tahun 1990 ia mengambil pensiun dini dan mengabdikan diri mengajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Universitas Andalas, lagi-lagi dengan gaji lokal. Ia meninggal karena kecelakaan di usia 71 tahun.

Profesor Ariel Heryanto, Direktur HFIEC menjelaskan dalam sambutannya, Herb Feith dikenang atas jasanya dalam meletakkan arah kajian tentang Asia dan Indonesia di Australia. Sebagai aktivis, akademisi, sekaligus seseorang yang sangat humanis, Herb sangat dekat dengan warga Indonesia di manapun ia tinggal. “Herb selalu memiliki belas kasih dan kepedulian terhadap sesama,” ujar Ariel. Karena itulah, berdirinya HFIEC diharapkan dapat menjadi representasi atas semangat dan nilai-nilai yang diusung Herb, salah satunya dengan memfokuskan diri pada kajian resolusi konflik dan hak asasi manusia.

Dalam acara yang dihadiri sekitar seratus orang tersebut, Konsul Jenderal RI untuk Victoria dan Tasmania, Spica A Tutuhatunewa menyampaikan pentingnya HFIEC bagi hubungan kedua negara. Sementara itu, Dekan Faculty of Arts, Sharon Pickering yang membuka acara malam itu menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasihnya kepada keluarga Feith yang juga hadir dalam kesempatan tersebut.

Acara kemudian diakhiri dengan penampilan Nina Lim dan Betsy, cucu Herb Feith, yang menyanyikan lagu ciptaan Nina, yang berkisah tentang kerinduan akan rumah dan keinginan untuk pulang. Denting gitar akustik membuat lagu terasa semakin syahdu. Lagu kedua yang mereka nyanyikan adalah Anging Mamiri, lagu daerah asal Makassar.

Teks dan foto: Pratiwi Utami