Pancasila

Entah kenapa, seakan mendadak ideologi bangsa Indonesia, Pancasila, yang sudah diakui keampuhannya, antara lain dalam menyelamatkan nusa dan bangsa dari keganasan PKI, kembali ramai diperbincangkan.

Pancasila seolah telah terancam kelangsungan hidupnya, hingga atas restu penguasa dimunculkanlah semboyan:

“Aku Indonesia!”

“Aku Pancasila!”

Ternyata semboyan ini pun mendapat kecaman karena dianggap kurang pas atau berlebihan.

Kemudian timbul kehebohan lain, masih bertalian dan ada sangkut-pautnya dengan Pancasila, yakni pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Sebenarnya sampai di sini keadaan masih tetap tenang-tenang saja, namun meletus kegegeran ketika pemerintah mengumumkan gaji para anggota BPIP yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri. Sebagai pucuk pimpinan BPIP, Megawati akan mengantongi lebih dari Rp112 juta setiap bulan – yang lain-lain juga dapat santunan sangat lumayan.

Sebagai seorang manusia Indonesia yang telah melewati dan mengikuti berbagai tahapan dalam kehidupan bangsa ini (harap maklum saya sudah mendekati usia 80 tahun), saya jadi teringat akan perjalanan ideologi bangsa Indonesia. Jika Orde Lama pimpinan Bung Karno lebih mengutamakan “indoktrinasi” Manipol USDEK (Manifestasi Politik Undang-Undang Dasar ’45 Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin Kepribadian Indonesia) dan NASAKOM bagi para mahasiswa, maka Orde Baru pimpinan Suharto tidak mau ketinggalan, dan menerapkan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dalam daftar mata kuliah sebagaimana yang termaktub dalam ijazah kesarjanaan saya, butir “Manipol Usdek” terdapat di sana, yang artinya saya sudah mengikuti dan lulus indoktrinasi.

Sementara itu, Penataran P4 punya macam-macam pola: dari 10 jam sampai dengan 100 jam. Salah seorang kawan yang pernah mengikuti Penataran P4 pernah berkata, “Semasa Pemerintahan Orde Baru, Penataran P4 itu menjadi kurikulum pendidikan yang wajib diikuti para pelajar sampai mahasiswa. Bahkan pejabat dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang baru luluspun harus masuk kelas Penataran P4 terlebih dahulu sebelum bertugas.”

Siapapun yang telah menyelesaikannya mendapat sertifikat yang ternyata memang sangat “sakti”. Di zaman jaya-jayanya P4, jangan harap bisa masuk perguruan tinggi atau berdinas di pemerintahan tanpa dibekali ijazah sebagai tanda bukti telah selesai mengikuti penataran P4 pola tertentu, sebagaimana yang ditatarkan pada tingkat SMA. Kesaktian P4 lebih berlipat ketika seseorang ingin melamar menjadi pegawai negeri. Bahkan, ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang ditugaskan untuk meneruskan pendidikan di luar negeri atau untuk melakukan penelitian bersama di luar negeri tidak akan dapat “exit permit” alias izin bertolak ke luar negeri tanpa ada sertifikat telah selesai mengikuti penataran.

Tujuan penataran di zaman Orba adalah untuk menyamakan “visi dan misi”, dus Pancasila kemudian menjadi asas tunggal. Penataran pun bukan hanya diselenggarakan di Indonesia, melainkan juga di luar negeri, termasuk Australia. Penataran pertama diselenggarakan di kota Melbourne, mengambil tempat di sebuah hotel yang telah disewa oleh pihak penyelenggara. Para peserta seperti sedang dikarantina. Selama mengikuti penataran, peserta melakukan aktivitas makan, minum, tidur, bahkan mencuci pakaian pun di hotel tersebut.

Tim penyelenggara P4 di Melbourne waktu itu dipimpin langsung oleh Jenderal Sarwo Edhie (alm.) yang dinilai paling ampuh dalam memusnahkan PKI, disertai para manggalanya, alias petugas penataran. Saya sendiri tidak sempat ikut penataran itu karena kebetulan mendapat tugas liputan ke luar negeri (ketika itu saya masih bekerja sebagai broadcaster di Radio Australia); begitu pula ketika penataran diselenggarakan di Sydney maupun di Perth.

Dari cerita kawan-kawan yang sempat ikut, saya mendapat bisikan bahwa ketika mengikuti penataran, mereka mendengarkan penjabaran Pancasila, meski mereka juga diingatkan agar jangan sekali-kali (maaf saya rishi menggunakan ungkapan “jangan pernah!”) membicarakan materi penataran dengan orang di luar kelompok yang mengikuti penataran.

Di Indonesia sendiri waktu itu seseorang yang sedang mengikuti P4 sama sekali tidak dibenarkan “bolos” biar sebentar pun. Harus dikarantina. Konon kabarnya, selama penataran dilaksanakan, tiap-tiap sila dikupas dan diperjelas, hingga sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa kemudian diperinci lagi ke dalam tujuh butir:

1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Begitu pula dengan sila-sila berikutnya.

Selama ini, luas anggapan bahwa “bidan” Pancasila adalah Presiden pertama RI (Bung Karno). Namun, tidak sedikit pula pakar yang menjelaskan bahwa sebenarnya Pancasila adalah hasil keroyokan sejumlah pemimpin bangsa. Pakar hukum tatanegara Refly Harun, misalnya, menyebutkan bahwa sila pertama “Ketuhanan Maha Esa” adalah sumbangan buah pikiran Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama RI yang kemudian “pecah kongsi” dengan Bung Karno. Nama-nama lain yang juga berjasa dalam merumuskan Pancasila  adalah AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim (yang luas dikabarkan menguasai 17 bahasa asing), Achmad Subarjo, KH Wachid Hasjim dan Muhammad Yasin, yang semuanya banting tulang, peras keringat, dan menyingsing lengan baju tanpa gaji, upah, bonus, honor atau pamrih.

Selain itu, Refly Harun juga mengingatkan bahwa hari lahir Pancasila sebenarnya bukanlah 1 Juni melainkan 18 Agustus 1945. Mungkin BPIP nantinya akan menguraikan segala kesimpangsiuran ini.

Tentu saja yang sering membuat kita bertanya-tanya adalah bagaimana PKI yang notabene adalah komunis yang menganggap agama (percaya kepada Tuhan) sebagai “opiate of the people” – candu bagi rakyat – dapat hidup bersemarak di Indonesia yang waktu itu dipimpin tokoh yang dianggap sebagai “Bapak/Bidan Pancasila”, yakni Ir. Soekarno (alm.), yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Apakah PKI (komunis Indonesia) munafik? Pura-pura percaya Pancasila meski ajaran dasarnya menista agama? Ataukah Bung Karno sempat dikecohkan oleh DN Aidit (pimpinan PKI)? Wallahu a’lam.

Telah banyak kesan-kesan yang dituliskan oleh mereka yang pernah mengikuti penataran P4. Mereka mengakui bahwa tujuan utamanya memang bagus, namun di samping itu ada tujuan-tujuan udang di balik batu, antaranya sangkaan bahwa penyelenggaraan penataran P4 dimaksudkan untuk memastikan kesetiaan/kepatuhan sebanyak-banyak rakyat Indonesia kepada Suharto/ORBA. Sudah begitu, biaya yang dihabiskan untuk keperluan satu penataran P4 diperkirakan sangat besar.

Namun, semua itu akhirnya ternyata gagal untuk mencegah bukan saja dijungkalkannya (dilengserkannya) Jenderal Suharto. MPR bahkan menuding dan mencela habis-habisan sang arsitek ORBA/P4 karena telah memakmurkan KKN sewaktu berkuasa selama 32 tahun.

Kita doakan saja BPIP mampu mencetak hasil terbaik dan tidak mengulangi kesia-siaan Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7), yang pada gilirannya menjadi atasan P4. Bagaimanapun, Pancasila adalah penangkal radikalisme, fanatisme, fundamentalisme dan intoleransi. Akan tetapi, Sultan Yogya Hamengkubuwono pernah mengingatkan rakyat Indonesia agar jangan memuja Pancasila laksana azimat.

Beliau berkata:

“Pancasila, janganlah kau puja layaknya azimat kemarat, tapi jadikanlah ia khidmat yang bermanfaat.

Pancasila, janganlah kau simpan sebagai monumen di keranda mati, tapi gunakanlah ia momentum gumregahnya aksi.

Pancasila, janganlah kau teriakkan dengan bahasa basa-basi, tapi gemakan suara bak genta revolusi satukan negeri.”     

Karenanya Umat Islam khususnya harus tetap dan selamanya mengacu pada status mereka sebagaimana yang telah diatur dalam Al Qur’an: “Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (yang berada di tengah) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu .…” (QS Al-Baqarah [2]: 143).

Maksud “di tengah” dalam ayat di atas berarti tidak ekstrim kiri maupun ekstrim kanan, dan inilah yang sesungguhnya menjadi tujuan Pancasila. In sha Allah. Wallahu a’lam.