OZIP dari Masa ke Masa

Sejak Juli 2009 hingga edisi yang kali ini berada di tangan Anda, OZIP genap mencapai edisi ke-100. Bukan angka yang kecil dan bisa dianggap sepele, namun bukan pula berarti bahwa perjalanan OZIP telah selesai.

Langkah Tim OZIP menyediakan informasi terbaru dan berkualitas bagi komunitas Indonesia di Australia dan khususnya Melbourne telah dimulai sejak tahun 2002. Menurut Ferlina Taslim, salah satu perintis OZIP, ketika itu OZIP didirikan oleh tiga orang, yaitu Hengky, Joseph Zheng, dan dirinya sendiri. “Kami berpikir alangkah baiknya kalau di Melbourne ada majalah untuk komunitas orang Indonesia, tempat kita bisa saling bertukar informasi, pengetahuan, dan banyak ide,” terang Ferlina saat diwawancara Tim OZIP. “Pada masa itu hanya ada dua majalah berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Australia, namun berbasis di Sydney sehingga lebih banyak memuat isi berita dan iklan yang sesuai untuk mereka yang tinggal di Sydney,” tambahnya.

Langkah Awal OZIP

Saat pertama kali membentuk Ozip, prosesnya tidak semudah yang dibayangkan. Ketika itu, Ferlina dan Hengky masih muda dan sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang penerbitan media. “Tetapi kami tidak putus asa dan penuh semangat untuk mewujudkan impian. Kami berdua merasa beruntung dengan adanya Joseph sebagai mentor dan penasihat yang selalu siap sedia membantu,” ujarnya. Sebagai anggota generasi pertama OZIP (periode 2002-2005), Ferlina memiliki tugas sebagai penanggung jawab di bidang pemasaran dan keseluruhan manajemen OZIP mulai dari perencanaan sampai distribusi majalah ke komunitas Indonesia.

Selain Ferlina dan kedua perintis lainnya, bergabung pula Sylvia Rustandi yang lebih dikenal dengan panggilan Cipitz. Ia bergabung dengan OZIP selama sekitar satu tahun, yaitu dari Oktober 2002 hingga Desember 2003. Kala itu, tugasnya terbilang serabutan. Ia bertugas sebagai jurnalis, lalu sales and marketing, distribution planning, hingga akhirnya ia menjadi Editor pertama di OZIP. “Basically, dulu saya mengerjakan hampir semuanya,” jelasnya.

Cipitz bercerita, di masa-masa awal OZIP berdiri, cukup banyak yang dihadapi oleh tim. Salah satunya, saat itu OZIP belum sepopuler sekarang. Untuk membangun awareness komunitas Indonesia terhadap eksistensi majalah ini, tim banyak bekerja lembur memantapkan brand OZIP, menyiapkan konten yang berkualitas, dan pada saat yang sama juga harus berkomunikasi intens dengan para pengiklan. “Meski begitu, banyak unforgettable memories selama membangun OZIP,” kenang Cipitz. “Kami kerja keras bareng-bareng, melakukan door to door promotion, tidur menjelang subuh sebelum ke percetakan, ketawa-ketiwi bersama, dan ikut meliput berita yang menarik.”

Pengalaman yang sama tak terlupakannya juga dialami oleh Ferlina. Suatu ketika, OZIP sedang mencari orang baru untuk membantu saya di bagian pemasaran. “Eh, ternyata saya enggak cuma menemukan partner kerja tapi juga partner hidup, karena staf pemasaran yang baru itu sekarang menjadi suami saya,” selorohnya.

Lain cerita Ferlina dan Cipitz, lain pula cerita Dian Clayton. Dian bergabung dengan OZIP pada Februari 2002. “Waktu itu saya sedang mencari peluang kerja di bidang yang  saya geluti yaitu marketing. Kebetulan, ketika saya pergi ke supermarket Laguna di Hawthorn, saya liat majalah OZIP yang ternyata sedang membutuhkan seorang marketer untuk periklanan,” kisah Dian. Dari situlah, pengalamannya bersama OZIP bermula. Ia mengaku senang bergabung di OZIP karena sebagai pendatang baru di Melbourne, ia bisa berkenalan dengan beberapa mahasiswa dan pebisnis Indonesia di Melbourne. Selain itu, budaya kerja OZIP yang dilandasi kerja sama dan saling support satu sama lain membuat perjalanannya bersama OZIP menjadi lebih berkesan.

OZIP Masa Kini

Sejak 2005 hingga sekarang, Tim OZIP generasi berikutnya terdiri atas orang-orang muda yang penuh energi dan ide. Ada Cindy Chandra (Jurnalis periode 2005-2008, Co-Editor periode 2008-2009), Dina Budiarto (Editor periode 2009-2012), Yogi Oeyono (Designer periode 2009-2013), dan Iip Yahya (Editor periode April 2014-Juli 2015). Jajaran redaksinya sendiri umumnya diisi oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tengah berkuliah di Melbourne.

Banyak pengalaman menarik yang dialami oleh Tim Ozip generasi kedua (2005-2009) dan ketiga (2009-sekarang) ini. Dina Budiarto, misalnya, pernah harus mengungsi ke rumah teman gara-gara harus mengerjakan draft terbitan OZIP, tapi tiba-tiba internet dan listrik di rumahnya mati total, padahal deadline sudah menunggu keesokan harinya. Bagi Dina, jika pengalaman itu diingat-ingat kembali rasanya merana sekali, namun lucu juga.

Pada tahun 2009, OZIP berganti kepemilikan. Majalah ini berpindah tangan, dari Helene Johan ke Lydia Purnamasari yang hingga kini menjadi owner majalah ini. Lydia mengaku, alasannya membeli kepemilikan majalah OZIP pada awalnya adalah karena ingin menyalurkan hobi membaca. Selain itu, majalah OZIP juga menjadi wadah baginya untuk bekerja part time serta sebagai sarana untuk membangun jaringan dengan komunitas Indonesia.

Dalam 100 edisi (sejak 2009), OZIP tak putus-putus memberikan informasi menarik kepada pembaca. Menurut Lydia, ada tiga aspek pendukung yang membuat OZIP bisa eksis hingga hari ini. “Pertama adalah OZIP supporters, yaitu para pemasang iklan sekaligus pendukung setia OZIP agar dapat selalu hadir ke tangan pembaca,” jelas Lydia. “Kedua, adalah family and friends, yaitu para contributor dan penulis yang secara tetap menyumbangkan tulisan yang bermanfaat bagi pembaca OZIP.”

Aspek terakhir adalah peran OZIP sebagai media partner bagi berbagai event yang diadakah oleh komunitas Indonesia baik dari kelompok mahasiswa, organisasi diaspora Indonesia, maupun komunitas lokal.

Harapan untuk OZIP

Sebagai salah satu pendiri OZIP, Ferlina mengaku ada suatu kebanggaan tersendiri yang ia rasakan karena bisa menyaksikan OZIP tumbuh dan terus berkembang sampai saat ini. Ia berharap OZIP dapat terus eksis dan semakin maju di masa yang akan datang, bisa menjadi “The X-Factor” untuk komunitas Indonesia di Melbourne dan menjadi sumber informasi bagi seluruh anggota komunitas.

Senada dengannya, Dina Budiarto, melalui wawancara lewat email menyatakan harapannya agar OZIP selalu menjadi ‘muda’ dan menyajikan The Best of Indonesia (and Indonesian). Cipitz menambahkan agar ke depannya OZIP bukan hanya menjadi wadah informasi dan interaksi untuk komunitas Indonesia di Melbourne saja, tapi – sesuai namanya, OZ Indo Post – media ini harus bisa menjadi majalah bermutu tinggi di seluruh Australia.

Sementara itu, Dian Clayton justru memberikan pesan menarik berdasarkan pengalamannya ikut membangun OZIP di masa-masa awal. Terutama kepada pembaca, ia berpesan agar jangan pernah mengeluh untuk memulai suatu usaha dari bawah. “Sebab, pada saat itulah kita akan menjadi kaya dengan pengalaman berharga,” tambahnya.

Teks: Rachel Melisa/Pratiwi utami

Foto: Dok. istimewa