No country is better. They are just different

Kaget dengan perbedaan budaya, tidak ada family support dan harus rela menurunkan standar, itu hanya beberapa dari sekian banyak tantangan yang dihadapi para orangtua Indonesia di Melbourne. Namun Melbourne, kota yang berstatus sebagai kota ternyaman di dunia tentu menawarkan berbagai hal yang bisa dinikmati penduduknya, termasuk para Ayah dan Ibu muda responden OZIP kali ini.

Pricila Pangesti (39), 7 tahun di Melbourne.

Ibu dua anak (8 dan 4 tahun) ini sempat tinggal di Kahl, Jerman selama tiga tahun sebelum akhirnya pindah ke Melbourne. Satu hal yang ia soroti adalah perbedaan musim di mana cuaca dan musim di Jerman lebih mudah diprediksi ketimbang di Melbourne. Namun demikian, Melbourne lebih bisa dinikmati karena suhu pada umumnya tidak pernah bersifat ekstrim dan matahari lebih berlimpah sehingga anak-anak bisa beraktivitas di alam terbuka. Fasilitas umum di Melbourne pun lebih ramah anak, seperti tersedianya parents room, ramp untuk pram/stroller, tram baru dan platform kereta yang modern dan memudahkan pram/stroller untuk keluar masuk.

Ditanya mengenai hal terberat menjadi orangtua, Pricila menjawab

“Tidak ada family support hahaha… Jadi terpaksa deh memasak, bersih-bersih rumah, babysitting, jadi supir antar jemput dan lain-lain. Lelah fisik dan mental terutama saat mereka masih kecil.”

Namun ia menambahkan bahwa di sinilah faktor kesadaran diri berperan. Orangtua harus rela untuk reshuffle prioritas dan menurunkan standar, misalnya saja rela kurang memperhatikan penampilan dan keteraturan rumah. Hal yang terpenting adalah mengubah perspektif. Sesungguhnya membesarkan anak tanpa bantuan adalah berkah luar biasa karena orangtua bisa menikmati banyak waktu dan terlibat mengasuh anak secara langsung.

 

 

Okhi Oktanio (35), 8 tahun di Melbourne.

Ayah dua anak (8 tahun dan 8 bulan) ini menghabiskan masa mudanya di Surabaya dan Jakarta. Terkait dengan pendidikan akademis putrinya, Okhi merespon.

“Kualitas akademis di sekolah anak saya itu bagus. Fun fact: penerima award di sekolah ini banyak yang anak Indonesia lho!”

Diakui Okhi, perbedaan budaya memang terasa saat mudik, contohnya saat di tempat bermain. Sang anak sudah mengantri dengan tertib namun kemudian selalu disela oleh anak-anak lain yang berebut. Di sinilah Okhi dan istri harus mengerahkan upaya bagaimana agar sang putri bisa tertib namun juga tetap survive.

Selain itu, ada kalanya sang putri mengutarakan pendapatnya namun keluarga tidak benar- benar mendengarkan opininya karena dianggap masih kecil. Namun dengan bijak Okhi menutup berkomentar

“Saya selalu mengusahakan agar tetap mudik setahun sekali untuk menunjukkan ini lho Indonesia, lengkap dengan persamaan dan perbedaan budaya kita. No country is better. They are just different.”

 

 

Hesti Dwi Listyorini (38), 1.5 tahun di Melbourne.

Berperan sebagai spouse dari PhD student, Hesti, ibu dari dua anak (10 dan 7 tahun) ini berbagi cerita mengenai kesehariannya. Hesti sengaja memilih Moreland Primary School selain karena kualitasnya yang baik juga karena sekolah ini sering berhubungan dengan orang tua dari Indonesia.

“Anak saya itu punya hobi music dan berenang, dan kebetulan di sekolah ada ekstrakurikuler tersebut jadi mereka punya kesempatan untuk mengembangkan hobinya. Selain itu juga ada hal baru yang mungkin tidak ada di Indonesia, yaitu ekstrakurikuler coding. Kami sebagai orangtua ya senang sekali karena ini akan bermanfaat ke depannya.”

Namun Hesti pun mengakui bahwa tantangan terbesarnya adalah bagaimana membiasakan anak-anak belajar di rumah. Berbeda dengan pendidikan di tanah air, sekolah di Melbourne tidak ada pekerjaan rumah (PR). Di sinilah, kata Hesti, orangtua harus tetap bisa membimbing dan menjaga anak supaya nanti saatnya kembali ke Indonesia tidak terkaget-kaget.

 

Teks: Putri Utaminingtyas

Foto: Koleksi Pribadi