My Pain My Country dari Dewi Anggraeni, Mengungkap yang Tak Terungkap di Balik Tragedi Mei 1998

Berbincang dengan sosok penulis yang telah menelurkan banyak karya, Dewi Anggraeni, rasanya tidak pernah membosankan. Tutur kata yang halus, dengan gesture yang anggun, membawa obrolan di penghujung bulan November ini mengalir hangat dan sarat pesan.

Dua belas karya tulis fiksi dan non fiksi telah dihasilkannya, diantaranya Snake, The Root of All Evil, Mereka Bilang Aku China, Who Did This to Our Bali, hingga Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan. Karya terbaru Dewi, My Pain, My Country, yang dipublikasikan oleh penerbit Austin Macauley Publishers, telah diluncurkan di Melbourne pada 26 November 2017.

My Pain My Country dihadirkan dengan tidak mudah oleh Dewi. Beberapa tantangan harus dihadapi. Tak hanya masalah waktu dan kesehatan, tapi juga adanya suatu dorongan emosi yang kuat untuk menghasilkan karya yang mengangkat kisah berlatar belakang tragedi Mei 1998. Dewi ingin menghadirkkannya dengan sangat hati-hati, untuk menghindari ketersinggungan pihak manapun ataupun salah persepsi.

“Rasa sakit yang saya rasakan waktu menulis Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan merundung saya sekali lagi, bahkan berkali-kali. Saya merasa harus berhati-hati mengisahkannya, karena pada dasarnya ini kepingan sejarah milik para korban. Pada satu sisi, saya tidak mau dianggap dismissive, dan pada sisi lain, tidak mau tampil voyeuristic,” tutur Dewi di siang yang dihiasi gerimis sambil ditemani secangkir teh hangat aroma melati.

Buku ini merupakan pembauran antara fakta dan fiksi yang mengisahkan tentang kehidupan tiga generasi dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa di Indonesia. Pembaca akan diajak berhadapan dengan tokoh Irina, seorang perempuan muda, korban kekerasan seks keji pada peristiwa Mei 1998.

Irina terlahir dari keluarga peranakan Tionghoa yang nasionalis. Bahkan Kakek Irina turut berjuang dalam merebut kemerdekaan, aktif menjadi pengacara dan kolomnis, yang hal tersebut menimbulkan ketidaksenangan beberapa politisi yang memanfaatkan ke-Tionghoa-annya untuk menyisihkannya dari arena publik. Perjalanan kehidupan keluarga tersebut yang jauh dari mudah, berujung pada sejarah yang hingga kini masih samar kejelasannya, yakni peristiwa Mei 1998.

Ditanya tentang pesan apa yang ingin disampikan melalui karya ini, Dewi menjawab, “Saya ingin memberi gambaran kepada orang-orang yang belum tahu, bahwa ada banyak etnis Tionghoa yang cinta Tanah Air seperti ini. Bukan seperti stereotype yang beredar kebanyakan, yang sering menganggap bahwa mereka tidak pernah berakar. Saya ingin menuturkan apa yang saya tahu secara intimate, yang mungkin belum diketahui oleh orang banyak. Begitupun sebaliknya, tidak semua rakyat Indonesia yang bukan-etnis-Tionghoa tidak peduli pada apa yang terjadi pada saudara-saudara etnis Tionghoanya.”

Keadaan bangsa yang saat ini sedang diuji rasa kesatuannya, adalah sebuah tantangan baru. “Bersamaan dengan umur, saya telah melewati banyak fase yang telah dihadapi Indonesia. Maka dari itu, walaupun sering geregetan bahkan sedih mendengar berita-berita dari negeri kita, tapi saya tetap optimis. Kita semua tidak ingin peristiwa tragis tersebut berulang, dan kita bisa mulai bersuara.”

Di usianya yang tidak lagi muda, semangat Dewi untuk terus berkarya patut menjadi tauladan. Sekalipun telah cukup lama memilih menetap di Australia, tidak sedikitpun kecintaannya akan Indonesia terkikis. ”Makin tua kecintaan saya makin dalam. Kalau di sana orang menderita, saya di sini ikut menderita, dan saya tidak berpihak pada satu kelompokpun.”

Di ujung perjumpaan, Dewi menyampaikan harapannya untuk My Pain My Country, buku yang telah disiapkan selama setahun lebih dengan observasi yang panjang, “Saya harap orang bisa membaca dengan hati terbuka. Kisah ini tidak mengancam, karena kisah ini saya ambil dari perasaan-perasaan orang-orang yang berbicara pada saya, dan perasaan itu benar adanya, real, dengan orang-orang yang juga real. Karenanya di buku ini saya menuliskan ‘I dedicated this book to the people who have lived in it.’”

Teks & Foto: Katrini Nathisarasia